x

Abdul Rahim Gani, 32 tahun, saat bekerja di perkebunan kelapa sawit di Felda Bukit Cerakah, distrik Klang, Kuala Lumpur, 16/4. Reuters/Samsul Said

Iklan

Taufik AAS P

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Akibat Sawit bagi Masyarakat Mamuju Utara

Catatan Tetang Sawit di Kab. Mamuju Utara

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Unik memang, Kab. Mamuju Utara (Matra), Sulawesi Barat, kabupaten yang luas, sawah dan kebun banyak, tanahnya subur, namun setiap hari ribuan kilogram beras masih dari Kab. Pinrang, Sidrap, Wajo dan hampir semua kabupaten penghasil beras di Sulawesi Selatan, berasnya di makan di Matra. Belum lagi beras yang didatangkan dari kabupaten yang seprovinsi, Kab. Polewali Mandar.

Begitu juga sayuran dan keperluan dapur sehari-hari lainnya, Kab. Mamuju Utara, masih disuplai dari kabupaten tetangga. Hingga harga keperluan dapur di Mamuju Utara harus dibayar lebih mahal. Ini tentunya membuat masyarakat masyarakat ekonomi lemah, semakin hari semaki kekurangan gizi.

Apakah masyarakat Mamuju Utara sudah malas untuk menanam padi dan sayuran untuk dapur. Jawabnya, ya, karena mereka tidak peduli lagi tanaman jangka pendek. Ada anggapan yang berkembang bahwa nilai ekonomi dari bertani padi dan berkebun sayur memang sedikit dibandingkan berkebun jangka panjang, khususnya sawit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lagi-lagi pertanyaan muncul, apa yang membuat masyarakat Mamuju Utara yang dulunya sangat agraris, mengandalkan sawah dan kebun bisa berubah drastis. Pada perubahan pola pikir masyarakat petani Mamuju Utara inilah, untuk kurun waktu 15 tahun ke depan, bisa menjadi bumerang yang menakutkan. Bahkan membuat anak cucu menjadi menyesal.

Menggadaikan Masa Depan Dengan Sawit

Datangnya perkebunan besar sawit dari PT Astra Agro Lestari (AAL) dan PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL) pada era tahun 1990-an telah merubah pola pikir masyarakat Mamuju Utara untuk meninggalkan pola pertanian dan perkebunan mereka. Sawah-sawah dan kebun-kebun mereka disulap menjadi tempat menanam sawit. Akibatnya, sawit telah menjadi impian dalam petani dan pekebun di daerah ini.

Bila dilihat secara pintas, "booming" sawit di Mamuju Utara memang mampu mengangkat pendapatan masyarakat bahkan ada yang menjadi kaya karena itu. Sayangnya, sebahagian besar masyarakat tidak mampu kaya dan sukses dengan sawit. Sementara untuk kembali ke pola bertani padi dan sayuran tidak mampu lagi akibat pola berpikir ke sawit semata. Pemerintah daerah juga tidak memberi dorongan kuat ke arah itu, termasuk kebijakan untuk ke kembali pola lama hingga mampu berswasembada pangan. Dan tidak dapat dipungkiri, Mamuju Utara dalam ketahanan pangan sangat sangat rapuh. Walaupun memiliki potensi kuat di masa lalu.

Tidak adanya pikiran untuk kembali memperkuat sistem pertanian yang mendukung ketahanan pangan masyarakat sudah bakal menyengsarakan masa depan daerah. Apalagi setelah para konglemerat sawit -- para swasta pemilik perkebunan besar -- habis masa HGU-nya. Masyarakat yang telah terlanjur berkebun sawit tentu akan kewalahan dalam sistem pemasaran. Kemudian tanah-tanah bekas HGU tersebut akan kembali pada negara. Ini tentunya bakal melahirkan persoalan agraria yang serius, biasa antara masyarakat dan negera, masyarakat dengan pemerintah daerah atau masyarakat dengan masyarakat sendiri.

Efek-Efek Yang Timbul Dari Perkebunan Besar Sawit Di Mamuju Utara

Perkebunan Besar Sawit yang dikelola oleh dua korporasi -- PT UWTL dan PT AAL -- di Mamuju Utara. Secara lansung dapat mengkatrol laju pertumbuhan ekonomi daerah ini. Untuk tahun 2013 silam saja mencapai angka yang super, 14,6%. Namun sangat tidak berimpit dengan situasi ekonomi masyarakat Matra, khususnya yang berada di daerah pedalaman (lihat: Potret Dusun Saluraya di Kabupaten Mamuju Utara).

Selain memberi potret perekonomian daerah yang terbalik dari fakta. Monopoli perkebunan sawit oleh perusahaan-perusahan pemilik modal besar, tentunya pada penguasaan yang luas seperti data yang dihimpun penulis luas HGU yang dimiliki perusahaan perkebunan besar sawit tersebut cukup mencengankan karena menurut sumber pada Dinas Kehutanan Mamuju Utara, dari total luas Kabupaten Mamuju Utara 304. 375 Ha, sebanyak 37% telah dibebaskan untuk HGU, tanah milik masyarakat dan tanah milik pemerintah, dari 37% tersebut, 90% adalah HGU yang dikelolah oleh perkebunan besar sawit.

Situasi ini mendorong masyarakat yang mulai kehabisan lahan untuk melakukan perlawanan terhadapa pemilik modal. Terjadilan sengketa lahan di lokasi HGU antara perusahaan besar sawit dengan masyarakat, ini terjadi sepanjang adanya perkebunan. Semakin hari semaki menyala, seperti bara dalam sekam. Contoh kasusnya terjadi pada masyarakat Desa Sipakaingan dan PT. UWTL (lihat: HGU PT Unggul Widya Teknologi Lestari Perlu Ditinjau Ulang).

Dengan mopoli penguasaan are tersebut perkebunan besar juga telah memberi andil besar pada tidak stabilnya lingkungan dan ekologi di Kab. Mamuju Utara. Karena selain membuka perkebunan besar sawit, perusahaan-perusahaan ini mendirikan pabrik Crude Palm Oil (CPO). Pabrik-pabrik CPO ini memiliki buangan limbah B3, seperti oli bekas dan limbah padat dan cair dari sisa pengolahan pabrik. Limbah-limbah buangan tersebut secara terus menerus mempengaruhi kondisi tanah, air dan udara di sekitar pabrik.

Meskipun pihak perusahaan sawit memberi jaminan dengan sistem pengolahan limbah yang mutakhir, namun yang nampak pada sungai-sungai di seputar pabrik CPO, seperti di Sungai Bayu, Sungai Pedanda, Sungai Moi dan Sungai Pasangkayu, berbagai jenis ikan lokal seperti ikan Mas dan Sidat/Moa, masyarakat setempat menyebutnya dengan “Massapi” telah menghilang. Sungai-sungai ini juga sepanjang tahun berair keruh dan coklat.

Dan bukan itu saja, Sungai Lariang – sungai legendaris, terbesar dan dan terpanjang Pulau Sulawesi, dimana melintas di areal HGU perkebunan besar. Dulunya adalah sungai yang bermanfaat bagi masyarakat, untuk jalur trasnportasi, pengairan dan sumber air untuk keperluan mandi dan cuci. Kini sungai yang bermuara di Napu, Kab. Poso, Provinsi Sulteng, setiap tahunnya adalah ancaman bagi masyarakat di Kecamatan Lariang, Tikke Raya, Pedongga dan Kecamatan Pasangkayu. Ada ratusan hektar lahan masyarakat yang sudah tergerus oleh ganasnya arus Sungai Lariang kala musim hujan.

Menurut masyarakat yang ada di Desa Bambakoro dan Desa Kulu, Kec. Lariang, sudah ratusan hektar lahan mereka hilang oleh banjir bandang akibat meluapnya Sungai Lariang. Walaupun tidak menuding adanya perkebunan sawit sejak tahun 1990-an, namun masyarakat heran. Jauh-jauh sebelum adanya kebun-kebun sawit yang berada di seputaran aliran Sungai Lariang, mereka tidak mengenal yang namanya banjir bandang. Aktivitas sungai Lariang sebelum tahun 1990-an normal-normal saja dan tidak membahayakan.

Kondisi alam Mamuju Utara yang sudah mulai “marah” dan tidak bersahabat pada manusianya, seyogyanya lebih banyak dipengaruhi oleh perbuatan manusia yang tidak memperhatikan keseimbangan alam. Apakah itu karena perbuatan masyarakat Mamuju Utara atau ulah dari pemilik modal yang membuka perkebunan besar. Patut dicatat, bahwa masyarakat juga kadang merusak alam dengan merambah hutan lindung, berladang di bantaran sungai, tapi itu dalam ukuran yang lebih kecil.

Menurut, Panggo, pemuka adat Patado dan Inde di Ngovi, bahwa alam sudah kehilangan berbagai jenis kayu lokal yang berkualitas sperti Kayu Uru dan Palapi. Begitu juga berbagai jenis hewan hutan seperti rusa, anoa, monyet dan babi, semua hilang karena habitatnya telah menjadi kebun sawit. Sungai Ngovi, Sungai Bayu dan Sungai Moi yang menjadi muara sejumlah sungai-sungai kecil juga setiap hari semakin dangkal dan mengering, berbagai jenis ikan di dalamnya mengilang seperti, gabus, ikan mas, sidat/moa.

Selain Sungai Ngovi, Sungai Bayu dan Sungai Moi yang dulunya merupakan jalur transportasi masyarakat lokal untuk mengambil hasil-hasil hutan berupa umbi-umbian dan buah, mengalami kondisi yang memperihatinkan. Kondisi sungai-sungai ini semakin dangkal dan mengecil, bantaran kiri kanan sungai tidak terpelihara kelestariannya.

Tanpa mengabaikan sisi positifnya yang bisa mendongkrak laju pertumbuhan ekomomi Kab. Mamuju Utara. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah ini pada kesimpulannya secara ekologis sistem monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem hutan, hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta plsama nutfah, sejumlah spesies tumbuhan dan hewan. Selain itu juga mengakibatkan hilangnya sejumlah sumber air, sehingga memicu kekeringan dan banjir pada musim hujan, peningkatan suhu, dan gas rumah kaca yang mendorong terjadinya bencana alam.

Masyarakat Lokal Bunggu Yang Semakin Jelata

Masyarakat lokal Binggi yang tersebar di batas Sulteng dan Sulbar, sebahagian besar warga Mamuju Utara ini menurut Kepala Desa Ngovi, Petrus Saliku, mencapai 7000 jiwa. Mayoritas dari orang-orang Binggi ini memiliki keyakinan Balai Keselamatan (BK) – salah satu aliran dalam Agama Kristen — mendiami kaki-kaki gunung dan berbatasan langsung dengan kebun sawit milik PT. Pasangkayu (Group PT. AAL). Kehidupan mereka masih sangat sederhana, berkebun ketela pohon biasa dijadikan makanan pokok utama kalau beras tidak ada, serta masih ada juga yang gemar mengunyah pinang-kapur.

Karena berada diantara kawasan hutan lindung (HL) dan areal Hak Guna Usaha (HGU) PT. Pasangkayu, masyarakat lokal Binggi sangat rentang dituding merambah HL dan rentang pula tanah-tanah ulayat atau ocupasi mereka ditanami sawit oleh pihak perusahaan sawit. Hingga sekarang, cerita tentang tanah-tanah ulayat orang Binggi yang semula adalah rimbunan pohon sagu, kakao, pisang, kelapa dalam, jeruk, juga bangunan-bangunan seperti rumah ibadah, rumah warga, telah menjadi kebun sawit milik PT. Pasangkayu.

Ikuti tulisan menarik Taufik AAS P lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu