x

Iklan

renal rinoza

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bonus Demografi dan Ledakan Migrasi Sosial

Pada tulisan ini saya menyoroti soal bonus demografi dan ledakan migrasi sosial dengan segala persoalan dan hal-hal yang menyangkut perubahan demografi di Indonesia. Pada tulisan ini juga dimuat mengenai pola-pola dalam migrasi seperti urbanisasi, transmi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia dilimpahi bonus demografi dalam kurun waktu 2020-2030. Tentunya bonus demografi ini adalah modal dasar bagi pembangunan. Perhitungan pemerintah yang tercatat dalam data proyeksi penduduk Indonesia dijadikan patokan dalam menyusun dan memformulasikan pembangunan ekonomi dan mengukur interval usia produktif. Badan Pusat Statistik (BPS) mematok interval proyeksi penduduk Indonesia (2010-2035) pada hasil sensus penduduk tahun 2010. Proyeksi ini dibuat dengan metode komponen berdasarkan asumsi tentang kecenderungan kelahiran, kematian, serta perpindahan penduduk antar provinsi yang paling mungkin terjadi selama periode 25 tahun akan datang. Mengacu pada data BAPPENAS diproyeksikan pertambahan penduduk Indonesia sebesar 237.7 juta di tahun 2010 menuju 271 juta penduduk pada tahun 2020 dan secara fantastis jumlah penduduk Indonesia ditahun 2035 sebesar 305 juta. Mayoritas penduduk Indonesia yang dicatat BAPPENAS diatas adalah mereka yang tergolong usia produktif dan interval usia produktif sebagian besar diisi oleh usia muda. Dalam studi demografi ada pengertian tentang dependency burden (beban ketergantungan) dimana kualitas penduduk (baik tingkat pendidikan, skill, profesionalitas dan kreativitasan) mampu menekan beban ketergantungan sampai tingkat terendah yang berguna untuk mendongkrak pembangunan ekonomi. Namun bukan berarti kelompok usia produktif ini dapat memberikan andil yang positif justru sebaliknya dapat menjadi beban negara seperti permasalahan pengangguran dan minimnya kesempatan kerja akibat proporsi yang tidak seimbang antara jumlah angkatan kerja dengan tingkat partisipasi angkatan kerja. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan yang programatik dalam memproyeksikan dan mempersiapkan segala ekses dari perubahan demografi. Ditambahkan bagaimana formula kebijakan tersebut tidak hanya mampu memberikan perluasan kesempatan kerja melainkan juga mampu meminimalisir ketimpangan dalam pembagian pendapatan.

Letak persoalan perubahan demografi bukanlah pada perhitungan angka-angka statistik yang kerap kali gampang dimanipulasi untuk agenda politik elit dalam memperoleh kekuasaan dan bahkan tumpang tindihnya antar sektoral menjadi semakin rumit dengan bercampurnya urusan politik yang sempit dalam agenda perubahan demografi—pada kasus ini kita dapat melihat pada persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu yang seringkali bermasalah dan dikait-kaitkan dengan politik elektoral (tambahan dari saya). Hasilnya, agenda perencanaan laju pertumbuhan penduduk yang secara jelas terintegrasi kedalam strategi pembangunan jangka panjang biasanya lemah (Tirtosudarmo, 2013).

Dalam hal perubahan demografi, sektor pendidikan dan ketenagakerjaan adalah sektor paling strategis dalam mengamankan masa depan sumber daya manusia yang sangat rentan, seringkali ditemui para perancang pembangunan gagal dalam memformulasikan secara komprehensif kebijakan perencanaan pembangunan yang tepat terlebih di sektor ketenagakerjaan. Belum lagi dampak dari Pemilu 2014 yang belum lama ini kita ikuti bersama dimana polarisasi—terutama pada pemilihan presiden sangat berdampak signifikan bagi perubahan demografis dalam pembentukan pembangunan sosial dan politik masyarakat Indonesia. Tingkat literasi politik pada usia produktif masyarakat Indonesia kini terbilang cukup tinggi dan tuntutan ekonomi bila tidak diatasi dengan strategi perencanaan yang komprehensif dipastikan berdampak fatal seperti tuntutan lapangan pekerjaan, kesehatan dan pendidikan, belum lagi persoalan bagaimana mengendalikan tingkat kelahiran (fertility), mendesain kebijakan pro pengarusutamaan gender, dan memastikan titik equilibrium laju pertumbuhan penduduk Indonesia. Ditambahkan, dalam konteks ini dilihat juga sejauh mana pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) mempengaruhi desain kebijakan kependudukan dan sebentar lagi memasuki tahun 2015, tahun dimana implementasi program MDGs akan berakhir dan untuk mengevaluasi implementasi program MDGs, maka diperlukan sebuah agenda pasca penerapan MDGs dan Post-2015 adalah agenda pembangunan pasca penerapan MDGs yang dijadikan kerangka acuan dalam memetakan mana-mana saja target MDGs yang belum tercapai dan tentunya agenda tersebut memberikan nota rekomendasi masa depan pembangunan pasca 2015. Bagaimanapun, kegagalan dalam mendesain kebijakan proyeksi penduduk dan mengelola bonus demografi berakibat pada ketidakseimbangan penduduk yang mengancam disintegrasi, krisis ekonomi, kekacauan sosial (chaos), dan memperlebar ketimpangan sosial. Tak berhenti disitu saja, konflik komunal, konflik antar etnis, migrasi besar-besaran penduduk, ketimpangan dalam akses pendidikan dan kesehatan, dan pertarungan dalam memperebutkan akses dan sumber ekonomi seringkali menjadi ekses negatif dari perubahan demografi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perihal migrasi sosial ini sangat terkait dengan perubahan demografi disuatu negara atau wilayah. Bonus demografi yang diperoleh suatu negara meniscayakan adanya gerak penduduk untuk mendapatkan akses dan sumber-sumber ekonomi, pendidikan, dan berbagai motivasi lainnya yang mendasari laju migrasi sosial. Shryock dan Siegel sebagaimana dikutip oleh Rusli (2012) mengartikan gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara khusus territorial mobility yang biasanya mengandung makna gerak spasial, fisik dan geografis. Migrasi dalam hal ini adalah suatu bentuk gerak penduduk geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari tempat asal ke tempat tujuan (Rusli, 2012). Dalam teori klasik migrasi disebut bahwa titik tekan migrasi adalah motif ekonomi sebagai penyebab terjadinya migrasi. Ada begitu banyak teori yang menjelaskan migrasi dan utamanya adalah teori yang menjelaskan perilaku migrasi. Pada prinsipnya perilaku migrasi didasari oleh pertimbangan rasional dalam memutuskan yang terbaik bagi seorang individu untuk bermigrasi dan adanya investasi sosial yang melatar-belakangi keputusan seseorang bermigrasi seperti usaha dalam memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik dan income yang lebih tinggi. Migrasi dianggap sebagai suatu bentuk investasi individu, yang diputuskan setelah yang bersangkutan terlibat dalam kalkulasi biaya dan manfaat (Yeremias T. Keban, 1994).

Mobilitas penduduk yang melakukan migrasi sudah barang tentu menghasilkan berbagai varian gerak penduduk semisal urbanisasi, transmigrasi, dan hubungan antara kota dengan desa (rural-urban migration) yang menjadi problem utama di negara dunia ketiga, khusus untuk Indonesia problem migrasi (baca: urbanisasi dan hubungan kota-desa) adalah ekses pembangunan yang terpusat dan tidak merata. Sudah begitu banyak studi yang menggambarkan ketidakberesan dalam mengelola politik kependudukan. Studi Asep Djadja Saefullah yang dipublikasikan tahun 1994 lalu menggambarkan secara terang benderang ketidakberesan dalam pengelolaan kebijakan kependudukan. Hematnya, Saefullah (1994) menulis bahwa pada hakekatnya mobilitas penduduk merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain. Orang-orang dari daerah yang fasilitas pembangunannya kurang akan bergerak menuju ke daerah yang mempunyai fasilitas pembangunan lebih baik. Demikian juga terjadinya gerak mobilitas penduduk antara desa masih ketinggalan daripada pertumbuhan kota. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa fasilitas pembangunan kota jauh lebih lengkap daripada fasilitas pembangunan desa. Studi yang dilakukan tersebut hingga kini masih relevan untuk menggambarkan migrasi di Indonesia dimana ketimpangan pendapatan antar wilayah menjadi momok meskipun dalam perjalanan era reformasi telah menghasilkan otonomi daerah dan tetap saja politik pembangunan masih tersentralisasi di Pulau Jawa.

Koreksi terhadap persoalan ini sudah diagendakan oleh pemerintah namun butuh perbaikan-perbaikan mengenai pemerataan pembangunan. Peraturan perundang-undangan secara substansial mencoba mengatasi problem ketimpangan distribusi pembangunan misalnya melalui UU Desa yang belum lama ini disahkan (meskipun UU Desa masih banyak persoalan jika diimplementasikan semisal menyoal anggaran desa dan perebutan sumber-sumber kekuasaan ekonomi di perdesaan—dan beberapa polemik tentang ini sudah banyak ditemui karena banyak perilaku elit desa kurang sesuai dengan amanat UU Desa itu sendiri dan dalam prosesnya UU Desa ini masih perlu diuji sejauh mana implementasinya sesuai dengan yang diamanatkan-selebihnya untuk penjelasan ini mungkin saya bahas di tulisan terpisah) dan adanya re-orientasi pembangunan dewasa ini mencoba mengurai kemacetan pembangunan ekonomi. Alih-alih pemerataan pembangunan dengan membangun simpul-simpul ekonomi (baca megaproyek MP3EI) di daerah ternyata paradigma pembangunan yang diselenggarakan hanya menguntungkan kelompok elit yang membangun jejaring konglomerasi tanpa memperhatikan aspek-aspek pembangunan yang integral dan inklusif yang dirasakan semua masyarakat Indonesia. Alhasil, berbagai konflik terus saja mewarnai implementasi pembangunan dan rasa ketidakpuasaan semakin besar. Pembangunan di era reformasi menyajikan fenomena yang kontras dengan laju pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kelas menengah di satu sisi dengan ketimpangan pendapatan dan kesempatan kerja di sisi lain. Artinya antara pertumbuhan ekonomi tidak linear dengan pertumbuhan lapangan kerja, belum lagi tingkat daya saing penduduk Indonesia dalam hal produktifitas yang menjadi problem ketika dihadapkan pada perbedaan indeks pembangunan manusia (IPM) antar negara. Faktanya, saat ini Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia menempati urutan ke-111 dari 182 negara dan urutan ke-6 dari sepuluh negara ASEAN.

Dalam studi mobilitas penduduk, McGee (1977) memperkenalkan istilah involusi kota sebagai model dalam menerangkan pola migrasi desa ke kota; paradigma dualisme yang diajukan McGee mengacu pada ko-eksistensi ekonomi antara sektor ekonomi formal dengan sektor ekonomi informal. Sutomo (1995) mengacu McGee melanjutkan bahwa involusi kota terjadi terus-menerus dimana kota mengalami peningkatan dalam menyerap tenaga kerja dari desa sekalipun hasil akhirnya sering berupa situasi pembagian kemiskinan (shared poverty). Ada pula yang mengamati bahwa sekalipun sesampainya di kota kebanyakan dari mereka yang hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan, tetapi proses mobilitas desa-kota tetap terus berlangsung. Dualisme yang diajukan McGee soal involusi kota mengingatkan kita pada term involusi pertanian (agricultural involution)-nya Geertz. Hanya bedanya Geertz mengamati perubahan sektoral di perdesaan sedangkan McGee mengamati transformasi sektoral di perkotaan namun hemat saya kedua ilmuwan sosial tersebut tetap saja berpandangan pada pendekatan teori dualisme-nya J.H Boeke, banyak ilmuwan Barat mempersepsikan perihal involusi kota sebagai keadaan macet dan ruwet dimana sama sekali tidak ada perubahan sektoral yang menuju pada tahapan perkembangan evolusi. Kota di negara berkembang—bagi mereka adalah percampuran antara modernitas dan budaya agraris perdesaan, jadi kota besar sebagai primate cities tak lebih melanjutkan budaya desa ke kota—dan ini menurut mereka tergambar jelas di Jakarta.

Sebaliknya, karya teoritis Lewis (1954) membalikkan pretensi ilmiah diatas dengan mencoba menjelaskan transisi dari ekonomi stagnan berdasarkan sektor perdesaan tradisional untuk pertumbuhan ekonomi didorong oleh perkembangan sektor perkotaan modern. Dalam model ini, pertumbuhan ekonomi tidak hanya berasal dari akumulasi modal dalam industri modern, tetapi juga dari interaksi antara perdesaan dan sektor perkotaan. Lewis mengasumsikan bahwa ekonomi perdesaan awalnya menyajikan konteks tertentu di mana ada 'surplus tenaga kerja' di sektor pertanian, sehingga produktivitas marginal di sektor itu mendekati nol. Pekerja di sektor perdesaan diasumsikan berbagi output di antara mereka sehingga mereka dibayar pada produk rata-rata mereka. Dengan asumsi ini, sektor pertanian mampu menyediakan tenaga kerja elastis sempurna untuk sektor industri modern yang dapat tumbuh dengan mengumpulkan modal dan perburuan tenaga kerja dari sektor pertanian tradisional, membayar upah hanya sama dengan produk rata-rata di sektor pertanian. Pengalihan tenaga kerja antara kedua sektor ekonomi melibatkan re-alokasi tenaga kerja melintasi ruang melalui migrasi dari kepadatan penduduk desa yang rendah ke kepadatan penduduk kota yang tinggi (World Bank Policy Research Working Paper 3915, May 2006).

Kritik terhadap pendekatan involusi kota ala McGee hemat saya relevan untuk mengamati hubungan desa-kota, saya mengambil kasus menarik ketika saya di Surabaya dimana seorang peneliti perkotaan asal Jepang begitu kagum terhadap etos budaya warga Surabaya yang dapat ‘mendamaikan’ laju pertumbuhan ekonomi dengan produktifitas yang tinggi di satu sisi dengan budaya cangkruk (menikmati waktu luang di warung-warung kopi dan teraktualisasinya unit-unit kohesi sosial di kampung-kampung) di lain pihak. Jadi, pendekatan involusi kota bisa dikoreksi dan diperdebatkan lagi cakupan dan luasannya minimal untuk konteks Surabaya atau kota-kota lainnya di Indonesia. Dan pendekatan centripetal force-centrifugal force atau untuk kasus Surabaya yang berada pada aras in-between dapat dibenarkan untuk menilai lansekap perkotaan di Asia Tenggara.

Disamping itu menyoal mobilitas penduduk tak lengkap rasanya menyinggung soal urbanisasi yang erat kaitannya dengan hubungan kota-desa (rural-urban linkages) dimana seringkali dijumpai persoalan ketimpangan sosial dan perebutan ruang kultural. Bank Dunia (2006) melaporkan bahwa dalam negara berkembang, perubahan struktural sering memiliki implikasi spasial yang mendalam dimana pola migrasi yang berhubungan dengan tenaga kerja dari desa ke kota adalah pola umum yang memainkan peran sentral dalam proses urbanisasi dan sering dipandang sebagai penyesuaian pasar tenaga kerja ke pergeseran antar sektoral dari pertanian ke manufaktur dan jasa. Migrasi Desa ke kota secara historis merupakan bagian penting dari proses urbanisasi dan terus menjadi signifikan dalam skala, meskipun tingkat migrasi tampaknya telah melambat di beberapa negara. Ditambahkan, saat ini telah ada pendekatan baru dalam hubungan desa-kota (migrasi), banyak studi kontemporer mengajukan proposal paradigmatik mengenai format migrasi baru sehingga dapat menekan beban ketergantungan desa kepada kota. Proposal paradigmatiknya antara lain ialah soal tapak ekologi (ecological footprint) dimana prinsip dasarnya ialah mampu mengurangi produksi-konsumsi berlebih (over production, over consumption) dan pengaturan produksi disesuaikan dengan tingkat kebutuhan konsumsi. Etos tapak ekologi ini perlu dijadikan model pembangunan dalam hubungan desa-kota untuk memastikan daya dukung ekosistem, penggunaan teknologi tepat guna yang sesuai kapasitas biologis suatu wilayah. Dan etos tapak ekologi ini jika berhasil diterapkan di pedesaan harapannya bisa dibawa ke kota dan begitu sebaliknya (commuting force).

Selain urbanisasi, pola migrasi yang khas di Indonesia ialah transmigrasi. Dalam hal ini transmigrasi menjadi kekhasan tersendiri karena adanya perbedaan spesifik dengan varian migrasi lainnya. Umumnya transmigrasi adalah pola migrasi yang terencana dan direncanakan yang disponsori oleh pemerintah meskipun ada bentuk transmigrasi yang didasari atas inisiatif sendiri. Program transmigrasi tak terlepas dari upaya pemerintah dalam mendistribusikan kepadatan penduduk di suatu wilayah ke wilayah yang masih jarang penduduknya agar supaya terjadi aktifitas pembangunan di kawasan yang ditransmigrasikan. Pelaksanaan transmigrasi begitu booming di zaman Orde Baru yang sukses dalam memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke berbagai pulau lainnya terutama di Pulau Sumatera (baca: Provinsi Lampung). Namun program transmigrasi yang digulirkan pemerintah Orde Baru tak menolong perbaikan pembangunan ekonomi di daerah karena politik pembangunan yang sentralistis dan pertumbuhan ekonomi hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Berdasarkan penelitian didapat bahwa program transmigrasi yang diselenggarakan pemerintah tak lebih dari usaha memindahkan kemiskinan dan bukan untuk menyejahterakan penduduk (Bayu Setiawan; Pusat Penelitian Kependudukan-LIPI, 2011). Di era reformasi pamor transmigrasi meredup seiring kejatuhan rejim Orde Baru. Di lain pihak, program KB mampu menekan tingkat fertilitas sehingga terjadi penurunan jumlah penduduk usia 0-14 tahun dan selebihnya usia produktif (15-64) Indonesia dalam jangka waktu yang cukup lama akibat dari transisi demografi menghasilkan bonus demografi. Hematnya, transmigrasi tidak menjadi kekhasan migrasi sosial saat ini dan motivasi perpindahan penduduk lebih dititik-beratkan pada motivasi diri untuk menangkap peluang-peluang ekonomi dan bersamaan dengan itu telah tumbuh simpul-simpul ekonomi baru di setiap daerah di Indonesia terlepas dari dampak negatifnya namun satu yang pasti perubahan demografi memberikan dampak signifikan dalam pembentukan sosio-politik masyarakat Indonesia dan bonus demografi yang kebanyakan di isi kaum muda jika tidak dikelola dengan baik bakal mendatangkan malapetaka-artinya kita bakal kehilangan peluang untuk menikmati bonus demografi—begitu hemat sebagian pengamat.

Menariknya, program transmigrasi kembali dijadikan primadona bagi pemerintahan Jokowi. Hal tersebut tidak hanya menyangkut pemisahan nomenklatur dimana bidang transmigrasi dipisahkan dari Kementerian Tenaga Kerja dan digabungkan ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melainkan juga mencoba men-drop orang-orang Jawa secara besar-besaran ke daerah Papua dan wilayah lainnya di Indonesia. Alih-alih untuk pemerataan pembangunan namun program ambisius ini beresiko menimbulkan sejumlah masalah diantaranya ialah ketimpangan antara penduduk pendatang dengan penduduk setempat dan memacu timbulnya konflik jika tidak diatasi dengan pendekatan holistik dan hanya melulu mencapai target persebaran penduduk semata—ingat persoalan yang terjadi kawasan agro-industrial MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), Papua yang menggerus masyarakat setempat dan terjadinya ketidakadilan ekologi yang salah satunya disebabkan oleh penyerapan sekitar 4,8 juta tenaga kerja melalui program transmigrasi (Norman Jiwan, 2011). Disamping itu, kabar yang beredar tentang rencana kebijakan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan transmigrasi yang melibatkan aparat TNI-POLRI dalam mensukseskan program transmigrasi menuai banyak kecaman, pasalnya program transmigrasi yang diselenggarakan menggunakan pendekatan keamanan. Demi memberikan jaminan rasa aman dan nyaman bagi orang Jawa yang ditransmigrasikan, sang menteri terkesan mengabaikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat setempat dan pernyataan ini dapat diasosiasikan bahwa warga Papua sebagai biang keladi atas segala masalah keamanan di Papua.

***

Persoalan perubahan demografi dimana tingkat kepadatan penduduk yang tidak linear dengan tingkat kemakmuran berdampak pada daya dukung lingkungan, ketersediaan lahan, pangan, sanitasi dan akses untuk memperoleh kualitas hidup. Saya menggambarkan Pulau Jawa dengan tingkat kepadatan penduduk yang tertinggi di dunia namun daya dukung lingkungan, lahan pertanian, perumahan dan tingkat kualitas hidup masih menjadi problem serius belum lagi daya dukung di daerah lainnya. Terkait dengan daya dukung, Otto Soemarwoto (2001) mengindentifikasikan kedalam beberapa tingkat, yaitu daya dukung maksimum, daya dukung subsisten, daya dukung optimum dan daya dukung suboptimum. Penjelasan singkat tentang tingkatan daya dukung ini berbicara pada keseimbangan lingkungan dan ketersediaan ekosistem yang mendukung untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Begitupun dengan ketersediaan pangan, perubahan demografi perlu memastikan ketersediaan pangan yang cukup bagi melonjaknya penduduk dan tata laksana pangan yang inklusif perlu diimplementasikan—isu kedaulatan pangan dalam perubahan demografi menjadi penting artinya untuk didefinisikan sesuai dengan platform pembangunan ekonomi Indonesia kedepan. Perubahan demografi juga berimplikasi pada masalah kemiskinan jika politik pembangunan tidak mampu membenahi masalah-masalah kemiskinan. Pada hematnya, tingkat kemiskinan bertaut dengan kesempatan kerja dan daya dukung dalam memperoleh mata pencaharian.

Masalah klasik kemiskinan di Indonesia adalah soal pembagian kemiskinan (shared poverty) yang ditemukan dalam penelitian lapangan Clifford Geertz di Jawa Timur. Dengan melukiskan desa di Jawa sebagai “satuan sosial-ekonomi yang homogen”, Geertz mengartikan pembagian kesempatan bekerja di sawah sebagai suatu ciri pembagian rezeki antara pemilik tanah dan yang tidak atau hanya sedikit memiliki tanah (Sajogyo, 1977). Meskipun temuan Geertz saat ini kurang relevan namun temuan tersebut tetap menjadi acuan bagi permasalahan kemiskinan di Indonesia dimana masih terdapat pola-pola produksi pertanian yang mengalami penyesuaian dengan membagi kemiskinan secara kolektif. Gejala dan perilaku ini merambah ke wilayah perkotaan sebagaimana saya utarakan diatas merujuk pada tesis McGee namun bantahan atas kedua pandangan yang sama tersebut baik Geertz maupun McGee menjadi polemik tak berkesudahan dalam menggambarkan peta-bumi kemiskinan. Lantas, apakah moral ekonomi subsistensi itu buruk atau sebaliknya ia baik sebagai unit sosio-kultural desa—hemat saya, adalah James Scott sebagai dissenting opinion atas pandangan Geertz, McGee maupun J.H Boeke, pada tulisan ini saya menjabarkan pandangan Scott soal ini dimana petani sebagai agensi ekonomi-politik desa dan penjabaran tentang ini begitu luas spektrumnya terutama menyangkut hubungan desa-kota.

Menurut Scott etika subsistensi berakar dalam kebiasaan-kebiasaan ekonomi dan pertukaran-pertukaran sosial dalam masyarakat petani. Sebagai satu prinsip moral, sebagai satu hak atas subsistensi, bagi Scott etika subsistensi adalah norma yang dipakai untuk menilai tuntutan-tuntutan atas surplus yang datang dari pihak tuan tanah dan negara. Intisari persoalannya adalah siapa yang memantapkan penghasilannya atas kerugian siapa. Oleh karena si penyewa tanah lebih suka menekan sampai sekecil-kecilnya kemungkinan timbulnya satu bencana daripada memaksimumkan hasil rata-ratanya atau bagian dari panen yang diambil oleh tuan-tanah. Satu sistem sewa yang menjamin satu hasil minimum bagi si penyewa mungkin akan dirasakan tidak begitu eksploitatif dibandingkan dengan satu sistim yang, meskipun secara pukul rata mungkin tidak begitu banyak pungutannya, tidak mengutamakan kebutuhan-kebutuhan si petani sebagai konsumen. Penalaran yang sama dapat diterapkan terhadap pungutan-pungutan dari pihak negara. Dalam hal pungutan itu tetap jumlahnya dan tidak berubah menurut kemampuan petani untuk membayar setiap tahunnya, maka hal itu mungkin akan dianggap sebagai lebih eksploitatif dibandingkan dengan beban pajak yang berubah-ubah menurut penghasilannya. Bagi petani, batu ujiannya mungkin sekali “Apa yang tersisa?” dan bukannya “Berapa banyak yang diambil”. Batu ujian subsistensi itu menyajikan perspektif yang sangat berbeda tentang eksploitasi dibandingkan dengan teori-teori yang hanya mengandalkan kepada kriterium tentang nilai lebih yang dipungut. Sebabnya adalah karena soal subsistensilah yang mempunyai kaitan yang paling langsung dengan kebutuhan-kebutuhan dan kekhawatiran-khawatiran yang paling pokok dalam kehidupan petani (Scott, 1983). Pungutan-pungutan negara yang bersumber dari pajak adalah betuk kekerasan struktural yang diciptakan negara, begitu banyak terjadinya pemberontakan petani bersumber dari tekanan pajak yang menindas dan tak kenal ampun itu. Scott (1983) lantang mengatakan bahwa perpajakan sebagai contoh pokok persoalan agraris yang populer telah mencapai puncaknya di zaman penjajahan. Hal ini membuktikan bagaimana politik fiskal negara kolonial semakin memperkosa moral ekonomi dari etika subsistensi.

Jika teori dualisme Boeke seolah dan bahkan secara terang-terangan mencela dan menyalahkan laku subsistensi sebagai biang keladi kemacetan dan keruwetan hubungan desa-kota namun James Scott tampil sebagai ilmuwan yang menegasikan pandangan yang kadung mengakar dalam jagat akademik. Scott (1983) membalikkan itu semua. Hematnya, ada dua transformasi struktural yang memporak-porandakan pola-pola asuransi sosial dan moral ekonomi dari etika subsistensi. Transformasi struktural tersebut ialah sistem ekonomi kapitalisme dan penguatan negara modern di bawah naungan birokrasi kolonial yang saling bersangkutan. Dan transformasi struktural di zaman kolonial tersebut makin mengakar di zaman berikutnya, yang saat ini tergambar dengan ajeg soal hubungan desa-kota yang mengalami ketergantungan, dampak tersebut terlihat jelas dalam soal perubahan demografi dimana migrasi masih berat sebelah pada pola centripetal force yang menjadikan kota sebagai role model pembangunan dan contoh sukses pencapaian modernitas. Semestinya, seperti yang saya singgung diatas (lihat tapak ekologi), perlu perluasan langkah-langkah radikal dalam menata kembali hubungan desa-kota—dan secara otomatis menata kembali pendekatan migrasi itu sendiri.

Hal yang tak kalah pentingnya dalam struktur perubahan demografi di Indonesia adalah soal kualitas hidup (improving the quality of life), ini berkaitan erat dengan tujuan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia. Indikator kualitas hidup menyangkut pada ukuran-ukuran terpenuhinya kehidupan layak seperti pangan, kesempatan kerja, kesehatan, pendidikan, perumahan, lingkungan, terpenuhinya hak sipil, kebebasan menyuarakan pendapat, berserikat, berkumpul dan perluasaan partisipasi politik serta berbagai indikator sosial pendukung lainnya untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat—singkatnya setiap warga negara berhak mendapatkan Hak Ecosoc (Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya termasuk Hak mendapatkan Pendidikan dan Kesehatan) dan secara otomatis setiap warga terpenuhi hak-hak dasarnya yang sesuai dengan pemenuhan atas Hak Asasi Manusia (HAM). Hematnya, kualitas hidup berkorelasi dengan kualitas penduduk. Kemudian kualitas hidup yang baik menjadi acuan dalam mengukur indeks mutu hidup dan indeks pembangunan manusia. Sebagaimana contoh di Jepang dan negara-negara maju lainnya ukuran indeks mutu hidup diukur dari indikator harapan hidup pada saat lahir sampai usia 78 tahun sedangkan Indonesia indikator harapan hidup sampai pada batas usia 57 tahun (berdasarkan data ADB, 1991 & UNDP, 2004), maka tak heran di negara-negara maju jumlah penduduk over-aging mendominasi ketimbang jumlah penduduk baru karena tingkat fertilitas dan mortalitasnya sedikit.

Pusat Penelitian Kependudukan-LIPI menyebut bahwa tak lama lagi diproyeksikan sekitar tahun 2017-2019, Indonesia akan mengalami situasi demografi yang disebut demographic window opportunities. Pada saat itu proporsi penduduk usia produktif mencapai puncaknya dan rasio ketergantungan paling rendah. Proyeksi kebutuhan pangan (energi dan protein) per kapita per hari menunjukkan bahwa seiring dengan perubahan struktur umur per komposisi dan distribusi penduduk Indonesia tersebut juga terjadi peningkatan dalam kebutuhan konsumsi per kapita per hari. Untuk menghadapi keadaan ini dan memanfaatkan kesempatan (opportunity) dari tingginya proporsi penduduk usia produktif, Indonesia perlu mengantisipasi pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi yang dapat menunjang hidup yang berkualitas (sehat dan cerdas) dalam mempersiapkan kualitas sumber daya manusianya (Noveria, 2011). Indonesia yang dianugerahi bonus demografi sudah seyogyanya mengambil langkah-langkah preventif dan tindakan taktis untuk mengatasi problem perubahan demografi termasuk antisipasi ledakan migrasi sosial yang masif. Jika tidak bonus demografi yang diperoleh akan menjadi sia-sia dan menimbulkan ancaman disorientasi pembangunan. Tabik.

 

Renal Rinoza

Penulis; alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; tertarik di isu studi pembangunan

 

 

 

Ikuti tulisan menarik renal rinoza lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu