x

Iklan

Ardie Tyastama

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Rumah Untuk Literasi

Nah, apa yang akan kita kerjakan, ketika berada di tengah anak-anak ? Cita-cita yang telah kita pancangkan, akankah kandas, hanya lantaran kalut ketika atmosfir rumah belum bersahabat ? Coba saja...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari ini saya di rumah. Si bungsu Rakhe, sedang tak enak badan. Keceriaan yang biasa menghias tingkahnya, kini lesu, lemah. Bukan lagi ceria, tapi pucat dan cekal-cekil batuk. Ia mengaduh, giginya sakit. Meski sebetulnya bukan giginya yang masalah, melainkan gusi yang sedang diributi jamur. Tapi, sudahlah. Saya sudah putuskan untuk tak pergi meninggalkan rumah. Undangan menghadiri pameran buku, batal saya penuhi. Pidato dr Mundjirin, yang sedianya ingin saya rekam, sebagai data testimoni pejabat, soal perhelatan buku, gagal saya lakukan. Ya, tak apalah. Masih ada kesempatan, di lain waktu, dalam pameran yang berbeda.

Saya bayangkan perhelatan buku tahun ini, merupakan titik awal pencanangan Ungaran sebagai Kota Literasi. Impian yang sebetulnya tidak muluk, dan tak bakal menguras anggaran belanja pemerintah. Impian atas perhatian banyak pihak, terutama pemerintah, dalam menghargai kerja-kerja literasi. Penghargaan terhadap komunitas sastra, komunitas budaya, dan para insan yang bergiat di taman baca. Perhatian serius dari pemegang otoritas, terhadap penulis, komunitas penulis, dan bengkel pemasyarakatan baca-tulis. Wujud perhatian, tidak sekadar lembaran sertifikat, tapi jauh yang dibutuhkan adalah penanganan infrastruktur yang mendukung tradisi literasi. Sekretariat komunitas, sekolah menulis, pengadaan sembako buku, apresiasi pekan membaca, dan penetapan hari membaca, hari menulis, yang mesti selesai ditangani oleh pemerintah daerah.

Itu impian. Dan nyatanya hari ini saya tak pergi kemana-mana. Di rumah menemani Rakhe, yang sedang kehilangan selera main. Tetapi ? Barangkali hari ini memang pertanda, agar saya tak larut terjebak dengan mimpi. Saya tak terbuai dengan bayangan-bayangan yang menggoda, yang meniscayakan orang lain terlibat. Seakan hari ini pertanda, saya mesti bergerak dalam ruang lingkup kecil. Mulai dari rumah, dari anak-istri, dan mulai saat ini juga. Tak usah mengharap pemerintah, yang sudah terlampau berat, beban yang dipikul. Tak usah mengharap masyarakat, yang barangkali tak seseram yang dibayangkan. Masyarakat, yang merupakan kumpulan banyak kepala, pasti sedang menabung dan memanggul target masing-masing atas kehidupan, yang tak mesti sama dengan yang saya angankan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal itu jelas akan terasa aman, bagi stabilitas keluarga. Saya tak perlu memendam syak prasangka terhadap masyarakat, yang bisa jadi, tak sepenuhnya benar, seperti yang saya tuduhkan. Syukurlah ! Hari ini, saya di rumah. Malah bisa efektif, merenung, memapankan langkah, dan memantapkan target pemuliaan karakter dalam keluarga. Mulai dari keluarga, tak perlu muluk dan “sok” pahlawan yang memikirkan banyak orang. Cukup dari lingkup kecil keluarga dulu, untuk mengungkapkan budaya literasi.

Nah, tradisi literasi, saya pahami, sebagai upaya pencarian identitas, setiap individu menjadi diri sendiri, tidak jadi orang lain. Tantangan kini, adalah bagaimana melepaskan diri dari perangkap identitas yang dikonstruksi oleh tradisi populer, sistem kapitalisme, dan budaya konsumerisme. Tradisi dan sistem yang telah mengintai keseharian kita, melalui televisi, internet, telepon selular, dan sebagainya. Mencari identitas sama artinya dengan menelisik proses menjadi, melawan perangkap kemapanan yang kadung dianggap lumrah oleh masyarakat. Yakni dengan jalan, pertama, mengembangkan budaya kritis. Budaya populer, mengondisikan kita untuk bersikap tidak kritis, menggiring untuk jadi pemuja, peniru, dan pengikut. Maka terasa mendesak, wacana kritis, menjadi gaya hidup sehari-hari, guna menepis serbuan populerisme.

Kedua, mengembangkan budaya kreatif. Sikap kritis adalah pintu masuk ke arah kreativitas. Kreativitas, dibangun melalui kekuatan imajinasi, yang bebas dari belenggu, tak terikat oleh kelaziman. Ketiga, membangun budaya autentik. Autentik artinya menjadi diri sendiri, bukan menjadi subjek dari ide, gagasan, dan ideologi pihak lain. Nah, disini, penting untuk memahami ajaran agama secara mendalam, guna menguatkan autentisitas diri itu. Menyibak ajaran tasawwuf, sebagai ranah terdalam agama, juga termasuk yang tak bisa ditunda.

Ketiga upaya tersebut—budaya kritis, budaya kreatif, dan budaya autentik—bisa membendung cara berpikir populer, yang serba jalan pintas, dan yang penting peroleh kesenangan. Ketiga usaha itu, yang kemudian sanggup mengantar kita untuk mengutamakan kualitas jiwa, bukan penampilan. Mementingkan kedalaman, bukan permukaan yang enggan berpikir, atau malah tidak sanggup berpikir. Ketiga cara itu, tak lain ialah cara untuk menemukan identitas diri.

Pencarian identitas adalah sebuah pengembaraan yang menggiring setiap kita dalam ketegangan: antara kebebasan individu dan ikatan sosial. Ketegangan antara kepastian dan perubahan, kenyataan dan kemungkinan. Namun demikian, dari kesemuanya itu, goal yang ingin ditegakkan dari pencarian identitas adalah pengakuan pluralisme. Yaitu pandangan yang menghargai kemajemukan serta penghormatan terhadap yang liyan, yang berbeda, yang saling menghargai warna-warni keyakinan, kerelaan untuk berbagi, keterbukaan untuk saling belajar, serta keterlibatan diri secara aktif di dalam dialog.

Jadi literasi, yang konon, sekadar dipahami kemampuan membaca dan menulis, kini sudah melangkah sebagai kemauan memahami konteks dalam teks: mengenali dan menggunakan fitur seperti alfabet, suara, ejaan, konvensi dan pola teks. Terlibat dalam memaknai teks: memahami dan menyusun teks tertulis dan teks virtual dan lisan yang berati dari budaya tertentu, lembaga, keluarga, masyarakat, negara-negara dan lain-lain. Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara kritis: memahami dan bertindak atas pengetahuan bahwa teks-teks tidak netral. Teks mewakili pandangan tertentu, diam, mempengaruhi ide-ide orang. Desain teks dan wacana dapat dikritik dan didesain ulang dengan cara baru. Dengan kata lain, memahami teks, yang terekam dalam jilidan buku, maupun peristiwa-peristiwa, adalah upaya peneguhan jati diri, dan perayaan keberagaman. Dimana peneguhan jati diri dan keragaman kenyataan, tiada lain tiada bukan ialah persaksian kita atas wajah Tuhan.

Amboi, hari ini saya di rumah. Hari ini memantapkan cara pandang baru, bahwa literasi merupakan cara untuk mengenal manusia-manusia lain, cara mengenal diri sendiri, dan cara mengenal Tuhan. “Man arafa nafsah, faqad arafa rabbah”. Maka literasi adalah cara kita melafalkan syahadat.

 

Ikuti tulisan menarik Ardie Tyastama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler