x

Ekspresi mantan Presiden RI Ke-3 B.J Habibie dan presenter Najwa Shihab saat acara Mata Najwa di Kampus Unhas Makassar, 30 Agustus 2014. TEMPO/Hariandi Hafid

Iklan

Ardie Tyastama

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merayakan Indonesia Mata Najwa

"Hal apa yang paling Anda ingat tentang Indonesia ?" Pertanyaan yang diajukan Najwa Shihab, dalam program Mata Najwa edisi ulang tahun ke-5, menarik untuk bahan renungan. Setidaknya kita yang kini masih kesulitan berpikir tentang Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pejabat Pemerintah Tidak "Jaim"

Ada yang menarik dari acara Mata Najwa MetroTV tadi. Acara yang dikemas sebagai cara “merayakan Indonesia”, menghadirkan banyak bintang tamu, seperti Presiden Jokowi, wapres Jusuf Kalla, mantan wapres Budiono, Ibu Megawati, dan Ahok. Najwa Shihab, sang tuan rumah, tampil anggun, lebih feminin, meski tetap “angker” kalau mengajukan pertanyaan ke bintang tamu. Namun tidak seperti biasa, dalam acara tadi, para bintang tamu, selain Pak Jokowi, dan Ibu Mega, diminta berperan sebagai host layaknya Najwa Shihab. Wapres dan mantan wapres saling tanya jawab. Mereka berdua, bak sahabat karib, saling ledek, penuh canda tawa. Kemudian yang tak kalah seru, ketika yang berperan sebagai Najwa, Ahok. Basuki Tjahaya Purnama, atau lebih akrab di sapa Ahok, giliran mewawancarai Ibu Megawati. Ahok tampil mengesankan, ceplas-ceplos, kaya kelakar. Ia tak canggung menggoda Ibu Mega, dan Pak Jokowi, sehingga tawa membuncah dari audiens yang menyesaki rumah Mata Najwa.

Acara tersebut sungguh mengesankan. Sebelumnya saya tak pernah melihat, Pak SBY waktu menjabat presiden, dicandai oleh host TV. Saya tak menyaksikan Pak SBY diledek oleh gubernur. Dan hampir seluruh presiden sebelum Pak Jokowi, ketika muncul di depan TV, selalu tampil wibawa. Dari mulai Soeharto hingga SBY, saya ingat, hanya menyisakan Gus Dur saja, yang berani menabrak “pakem” protokoler istana. Selain ia, merupakan sosok-sosok yang “pintar” memainkan peran sebagai pejabat yang jauh dari konstituen. Jauh dari rakyat. Selain Gus Dur, tak ada sosok presiden yang doyan humor, tampil informal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tadi beda. Pejabat pemerintah, konon baru Gus Dur yang melakoninya, dalam Mata Najwa spesial 5 tahun tadi, merupakan gambaran insan manusia yang natural, apa adanya, suka humor, dan saling canda. Ahok, yang gubernur, tak canggung mengundang tawa penonton, dengan gaya ceplas-ceplosnya terhadap Jokowi, sang presiden. “Untung saya bukan menterinya Pak Jokowi, sehingga bisa makan lima kali sehari”, canda Ahok, yang menyebut jadi kabinetnya Jokowi itu tak enak, tidak bisa makan bebas. Wapres Jusuf Kalla, jujur, apa adanya, bahwa kedudukan sebagai orang kedua itu enak sekaligus tak mengenakan. Seolah tak ingin kalah, Jokowi menyebut wapres JK itu selain matang adalah cepat, namun tetap saja masih kalah cepat dengan dirinya.

Tontonan yang menghibur, sekaligus menenteramkan kita, para masyarakat bawah. Para pemimpin kita sekarang ini merupakan manusia-manusia lumrah yang merakyat. Mereka tak ingin “jaim” di hadapan sorotan TV yang disaksikan jutaan mata pemirsa rakyat nusantara. Saling canda tawa yang penuh simpati, saling ejek namun tak menyinggung perasaan, begitu gamblang mereka lakonkan. Mereka saling tuding, namun tak menyakitkan hati lawan bicara. Canda yang mereka tampilkan tadi, adalah tanda keakraban. Hal yang tak lumrah bagi para pejabat periode sebelumnya.

Kata kuncinya adalah “tidak jaim”. Kira-kira demikian yang terasa dan terbaca, usai menyaksikan acara Mata Najwa. Sebagai awam, jelas melegakan, dan semoga pejabat di tingkat bawah juga mengikuti rekam jejak yang di pusat. Pejabat itu bak tetangga samping rumah, yang bisa ditemui kapan saja kita butuh. Gambaran seorang pejabat, yang tak formalis, yang minus protokoler, dan gampang diajak ngobrol.

Dari Mata Najwa, saya dapatkan pesan, pejabat adalah pelayan rakyat, bekerja demi rakyat, maka mesti bergaya hidup sebagaimana kebanyakan rakyat. Gaya hidup yang tak dibuat-buat, tutur kata yang santun dan tak menggurui.

Merayakan Indonesia, Mengukuhkan Bahasa Indonesia 

Kemudian puncak acara “merayakan Indonesia”, Najwa minta pada para bintang tamu, untuk menyebutkan satu hal yang masih patut untuk terus dirayakan dari Indonesia. Hal apa yang paling diingat, ketika menyebut Indonesia ? “Persatuan dan keadilan”, kata Pak JK. “Negara ada bagi rakyat”, sambung Ibu Mega. “Generasi muda”, jelas Pak Budiono, “kebhinnekaan modal utama negeri ini” lanjut Pak Jokowi. Dan “Bahasa Indonesia”, bisik saya ke telinga Rahma, sang istri. Dengan bahasa Indonesia, persatuannya Pak JK, jadi kenyataan. Bahasa Indonesia, juga mengukuhkan kerinduan Ibu Mega terkait kehadiran negara dalam sanubari rakyat. Tetapi Bahasa Indonesia, oleh generasi muda kini, seakan hendak dihilangkan dari pergaulan sehari-hari. Generasi muda merasakan aroma modern bukan dengan berbahasa Indonesia, tapi yang serba asing. Terakhir, oleh sebab Bahasa Indonesia, heterogenitas rakyat, atau bhinneka-nya Pak Jokowi, tetap utuh terjaga. 

Saya meyakini, hal yang masih patut dirayakan dari Indonesia, adalah Bahasa Indonesia. Bahasa yang sederhana, kosa katanya tidak banyak, namun membebaskan, simbol kesetaraan, dan anti feudal. Selanjutnya bagaimana dengan Anda ? Apa yang paling Anda ingat dari negeri ini ?   

Ikuti tulisan menarik Ardie Tyastama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu