x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rebut Kembali Hak Pilih Rakyat

Hak pilih rakyat mesti dipertahankan, jangan biarkan diambil semena-mena oleh politikus dan partai politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Demokrasi hanya berjalan kalau disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada demokrasi tanpa tanggung jawab. Dan, demokrasi yang melewati batasnya dan meluap menjadi anarki akan menemui ajalnya dan digantikan sementara waktu oleh diktator.” 
--Bung Hatta

 

Menyaksikan perkembangan politik mutakhir, sebagian anggota DPR bisa jadi akan menolak Perppu Pilkada 2014 yang menganulir pilkada tak langsung. Bila melalui pemungutan suara Perppu ini akhirnya ditolak mayoritas anggota DPR, bagaimana situasi selanjutnya?

Para ahli hukum kita berbeda pandangan: ada yang mengatakan kita langsung kembali ke UU Pilkada No 22/2014, tapi ada yang berpandangan tidak bisa seperti itu dan akibatnya terjadilah kekosongan hukum. Lantaran saya bukan ahli hukum, biarlah ahli hukum yang berusaha menemukan jalan keluar terbaik yang berpihak kepada rakyat mengenai soal ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya mau berbicara dari sisi hak rakyat—karena saya bagian dari rakyat. Lewat UU Pilkada No. 22/2014, yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, para wakil partai jelas-jelas telah merebut hak pilih rakyat. Mereka membuat undang-undang yang menguntungkan diri sendiri dan merebut hak rakyat yang sudah memilih mereka jadi anggota DPR.

Mereka yang menolak pilkada langsung telah mengedepankan kepentingan sendiri. Dengan menguasai mayoritas kursi DPRD, mereka dapat menentukan kepala daerah yang mewakili kepentingan mereka. Jika mayoritas DPRD dan kepala daerah berasal dari kubu yang sama, mana mungkin prinsip checks and balances dapat berjalan semestinya? Bisa pula, para kepala daerah akan jadi ‘Pak Turut’ yang mengikuti apa saja kemauan mayoritas anggota DPRD karena khawatir dicopot.

Sukar untuk memahami bahwa sebuah sistem pemilu langsung yang diperjuangkan dengan tetes keringat, darah, dan air mata, serta sedang dipupuk agar suatu ketika mencapai kematangan harus dihentikan karena pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Pilihan ini sama sekali tidak didasari oleh pertimbangan idealistis, melainkan untuk memberi peluang sebesar-besarnya pembagian kekuasaan di antara sesama politikus tanpa melibatkan rakyat.

Alasan yang dikemukakan seperti menekan politik uang, menekan tingkat korupsi, dan menghindari konflik horisontal sulit diterima. Alasan-alasan ini tidak mendasar bila dibandingkan dengan pentingnya mempertahankan hak pilih di tangan rakyat.

Pertama: Memang benar banyak kepala daerah dan anggota DPR/D yang terjerat kasus korupsi, tapi sangat keliru jika hal itu dikarenakan sistem pilkada langsung. Korupsi berkaitan dengan karakter manusia pelakunya: sanggupkah ia mengatasi godaan kekuasaan dan kewenangan yang diamanahkan oleh rakyat; sanggupkah ia mengatasi tekanan partai serta godaan pihak lain yang memiliki kapital?

Bila alasannya untuk mengikuti pilkada langsung calon harus mengeluarkan uang banyak dan korupsi dilakukan untuk mengembalikan modal, patut dipertanyakan untuk apa uang itu? Sumbangan ke partai, kampanye, pembagian beras untuk calon pemilih? Partailah yang harus membenahi soal ini.

Kedua: Yang mencalonkan kepala daerah dan anggota DPR/D adalah partai politik, rakyat hanya diminta memberikan suaranya. Partai politiklah yang menyeleksi orang-orang yang menurut pertimbangan partai layak untuk disodorkan kepada rakyat agar dipilih. Jika kemudian kepala daerah atau anggota DPR/D korupsi, mestikah sistem yang diganti dan hak rakyat untuk memilih langsung lantas dicabut?

Partai harus ikut bertanggungjawab, setidaknya secara moral, terhadap calon pilihannya. Jika ada gubernur ditangkap KPK, bukan sistem pilkada langsung yang disalahkan. Partai pengusung mesti memikul tanggung jawab karena rakyat disodori oleh calon yang berpotensi melakukan tindakan penyelewengan amanah.

Ketiga: Argumen bahwa politik uang yang marak tatkala Pilkada telah merusak karakter masyarakat juga bisa dipertanyakan: “Siapa yang membagikan uang kepada calon pemilih? Apa peran partai dalam mencegah bagi-bagi uang kepada calon pemilih? Atau pura-pura tidak tahu?” Dengan demikian, siapa yang merusak karakter masyarakat?

Asal-usul uang itu dapat ditelusuri kepada calon-calon kepala daerah yang, dari pengalaman selama ini, jumlahnya niscaya tidak lebih dari 10 pasang. Jika ada kemauan untuk melindungi karakter masyarakat, penelusuran itu niscaya tidak lebih sukar dibandingkan dengan bila Pilkada melalui DPRD.

Keempat: Dikatakan bahwa penelusuran politik uang di DPRD lebih mudah karena orangnya terbatas. Belum tentu. Penelusuran di masyarakat akan lebih mudah sebab melibatkan banyak calon pemilih. Niscaya tidak semua calon pemilih akan tutup mulut mengenai siapa pemberi uang itu.

Lain hal dengan di DPRD, penelusur berhadapan dengan politikus dan partai politik. Jika berlangsung tawar-menawar di antara partai politik dan calon-calon kepala daerah, mudahkah untuk membuktikan telah terjadi politik uang? Mereka bermain lebih tertutup dan lebih lihai.

Kelima: Alasan bahwa Pilkada lewat DPRD akan menghindari konflik horisontal juga dapat dipertanyakan. Rakyat malas untuk berantem hanya untuk ‘memperjuangkan’ seseorang agar menjadi kepala daerah. Jika terjadi konflik antar pendukung calon-calon kepala daerah dalam pilkada langsung, ‘kompor’nya niscaya mudah ditelusuri.

Rakyat secara luas tidak menyukai konflik horisontal, sebab pertikaian hanya akan merugikan hidup sendiri. Rakyat menginginkan situasi damai. Jadi, kompor yang memanaskan suasana itulah yang harus ditemukan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya, bukan hak rakyat untuk memilih langsung yang kemudian dikorbankan.

Untuk mencapai kematangan, demokrasi membutuhkan waktu. Jika hasilnya belum memenuhi harapan, bukan sistemnya yang diganti. Mula-mula, dan terlebih lagi, partai politik dan politikuslah yang harus mengoreksi diri.

Hak pilih rakyat mesti dipertahankan, jangan biarkan diambil semena-mena oleh politikus dan partai politik. Partai politik, kata Bung Hatta, adalah alat publik untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Bukan, alat politik segelintir politikus. (Foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler