Kabinet kerja sedang bekerja, kurikulum 2013 menjadi korban pertama. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, menginstruksikan untuk kembali ke kurikulum 2006. Terhadap sekolah yang sudah menjalankan selama tiga semester, tetap boleh menggunakan kurikulum 2013 sembari menunggu evaluasi dari pihak berwenang (Kompasdotcom, 5/12/2014).
Gebrakan Menteri Anies menuai pro dan kontra. Mereka yang pro kurikulum 2013 menyatakan bahwa anak-anak menjadi lebih kreatif. Sedangkan mereka yang kontra mengungkapkan bahwa guru belum siap, terutama dalam menilai hasil kerja siswa.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh, melalui sebuah stasion televisi swasta menghimbau: kalau ada sekolah yang sudah siap jangan dilarang. Beri mereka kesempatan. Kalau kembali ke KTSP, orang tua siswa harus beli buku.
Bukan mantan Mendikbud M. Nuh saja yang terkejut atas penghentian kurikulum 2013, para kepala sekolah di daerah-daerah ikut kelimpungan. Di Aceh misalnya, Harian Serambi Indonesia (9/12/2014) memberitakan tentang puluhan ribu buku paket jadi mubazir akibat penghentian kurikulum 2013.
“Dalam pelaksanaan kurikulum 2013 itu, Pemerintah Aceh telah mengalokasikan dana Rp. 40 milyar lebih untuk melatih guru,” kata Anas M Adam, Kadisdik Aceh melalui harian Serambi Indonesia tersebut.
Indonesia makin unik. Disatu sisi, Menteri PAN Yuddy Chrisnandi mengajak semua pejabat di republik ini untuk berhemat. Disisi yang lain, (mudah-mudahan tidak disadari) kebijakan Menteri Anies Baswedan menimbulkan dampak kemubaziran anggaran negara (daerah) yang amat dahsyat. Istilah ganti menteri ganti kebijakan, ternyata bukan omong kosong.
Terlepas dari semua itu, secara pribadi selaku orang tua siswa, saya pro kurikulum 2013. Pertama, sekolah sudah menyediakan buku tematik terpadu kurikulum 2013. Buku yang diterbitkan oleh Kemendikbud itu dibagikan secara cuma-cuma kepada siswa. Orang tua siswa tidak direpotkan lagi membeli buku pelajaran baru diawal semester.
Kedua, akhir-akhir ini anak saya yang masih duduk di kelas 5 SD tiba-tiba lebih kreatif. Pernah suatu hari, dia menggambar denah rumah, mengukurnya dan membuat skala dalam ukuran sentimeter. Denah itu dilampirkan pada halaman buku tematik.
Ketiga, anak saya yang sebelumnya malas membaca surat kabar, tiba-tiba rajin membaca. Setelah saya selidiki, rupanya dia sedang mencari berita tentang gotong royong. Kliping berita gotong royong itu ditempel di buku tematik, kemudian isi berita itu diulas menurut versinya.
Keempat, sempat terkejut saat ditelepon anak saya yang menanyakan cara menulis artikel. Saya jelaskan secara singkat teknik menulis artikel. Rupanya, berdasarkan buku tema 5 berjudul Bangga Sebagai Bangsa Indonesia, dia harus membuat artikel tentang seni budaya. Dia memilih menulis artikel tentang didong (seni berbalas pantun di Gayo).
Seandainya pembelajaran model ini berlanjut, bukan mustahil, anak-anak usia belia sudah menjadi penulis di Indonesiana atau blog yang lain. Pasalnya, masih banyak lulusan perguruan tinggi di tanah air yang belum percaya diri (pede) menulis gagasannya. Kenapa? Sebab, mereka tidak terlatih menulis sejak dini. Sungguh sayang apabila kurikulum 2013 harus layu sebelum berkembang.
Ikuti tulisan menarik Syukri MS lainnya di sini.