x

Iklan

Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Musim Hujan Tiba, Bencana Pun Melanda

Tibanya musim hujan dewasa ini selalu diidentikkan dengan banyak bencana yang melanda, dan seringkali menelan kerugian harta benda dan korban jiwa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Secara sepintas, penulis pun merasa aneh juga memang. koq datangnya musim hujan malah disamakan dengan munculnya juga bencana. Padahal selama penulis hidup di pelosok pedesaan, yang warganya kebanyakan berprofesi sebagai petani, tibanya musim hujan merupakan pertanda tibanya rahmat dari Tuhan pencipta alam semesta ini. Karena dengan melimpahnya air, segala tanaman para petani akan tumbuh subur. Dengan demikian hasil pertanian mereka pun akan melimpah banyak, tentu saja.

Selain itu, sekarang ini perubahan musim kemarau dan musim penghujan, sudah tidak bisa diprediksi sebagaimana dahulu lagi. Memang sejak ahir bulan Nopember kemarin mulai tampak meratanya musim hujan di indonesia ini. Dan Desember ini curah hujan tinggi di berbagai daerah sudah mengguyur hampir saban hari.

Penulis masih ingat saat masa kanak-kanak di era tahun 1970-an, seringkali mendengar obrolan dari orang-orang tua, bahwa bila sudah menginjak bulan yang berahiran ‘ber’, mulai September, merupakan pertanda tibanya musim hujan. Lalu bila sudah memasuki di bulan Maret,  maka curah hujan pun mulai reda (berhenti). “Ret” dalam bahasa Sunda bisa dimaknai berhenti. Kemudian sejak April sampai Agustus adalah bulan-bulan yang terhitung sebagai musim kemarau.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bisa jadi sebagaimana kata para ahli klimatologi, sekarang ini musim hujan dan musim kemarau sudah tidak bisa diprediksi pergantiannya disebabkan oleh anomali perubahan iklim akibat dari pemanasan global.

Adapun global warming (Pemanasan Global) itu sendiri maknanya adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan.  Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.

Entahlah. Bahasan para ahli sains tersebut kurang difahami benar oleh orang awam seperti penulis ini. Hanya saja yang jelas, sejak terjadinya pemanasan global itu, bila tiba musim hujan, sepertinya identik dengan banyaknya bencana. Misalnya saja dengan meluapnya air sungai yang menyebabkan banjir bah, baik yang melanda pemukiman, maupun ladang dan sawah. Lalu bencana tanah longsor di daerah-daerah bertebing terutama di dekat pegunungan. Selain menelan  kerugian materi yang biasanya berjumlah begitu besar, banjir dan tanah longsor pun seringkali menelan banyak korban jiwa. Sebagaimana yang terjadi sekarang ini di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Bisa jadi bencana yang datang berbarengan tibanya musim penghujan, yang menjadi sebabnya karena peringatan Tuhan sudah tidak digubris lagi oleh manusia yang hidup di bumi ini. sebagaimana tembang yang dilantunkan Ebiet G. Ade: “.. Mungkin Tuhan sudah mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa... Atau alam sudah mulai enggan bersahabat dengan kita... “ (Lagu Berita Kepada Kawan) .

Suka maupun tidak, bencana alam di musim hujan ini adalah akibat keserakahan manusia juga memang. praktik illegal logging , atawa penebangan pepohonan secara massal, dan serampangan di hutan-hutan wilayah pegunungan merupakan salah satu penyebab utamanya. Dan itu sudah berlangsung lama. Apalagi sejak era Orde Baru sampai detik ini, dengan munculnya pemodal yang bergerak dalam industri hasil hutan, selalu diikuti juga dengan maraknya penebangan liar pepohonan yang notabene merupakan paru-paru dunia itu.

Malahan di daerah tempat tinggal penulis sendiri yang di kelilingi oleh beberapa gunung di sekitarnya, praktik penebangan liar itu seperti ada ‘restu’- juga kerja sama secara rahasia, antara oknum pelaku dengan oknum aparat berwenang Polisi Hutan), dan pihak yang menjadi pengelola hutan (Perhutani). Sekali waktu penulis sendiri pernah melihat langsung penebangan liar itu, yang kemudian hasilnya didrop di depan sebuah rumah milik anggota  Polsek. Sementara Kapolseknya sendiri seolah tutup mata.

Selain itu, di kebun-kebun milik penduduk penebangan pohon yang dilakukan pemiliknya sendiri, terkesan serampangan juga. Sebatang pohon yang mahoni misalnya, yang baru berumur sekitar lima tahun, karena pemiliknya butuh untuk membeli rokok, maka dijualnya kepada bandar kayu dengan harga paling mahal lima puluh ribu rupiah. Sungguh ironis memang.

Sementara upaya reboisasi dan rehabilitasi hutan itu sendiri malah terkesan asal-asalan, bahkan sebagaimana yang dilakukan pemerintah pun, seperti program penanaman satu milyar pohon, tampaknya hanya baru sampai sebatas seremonial. Belum sampai menyentuh secara mendasar.

Maka bencana seiring tibanya musim hujan, akan sulit untuk dikendalikan – apalagi dihentikan, kalau caranya masih juga tetap demikian. ***

 

Sumber foto: Tempo.co

 

Ikuti tulisan menarik Adjat R. Sudradjat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler