x

Iklan

Uhan Subhan

Pengajar, Traveler, dan Penyuka Sastra.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Realitas yang Salah

Apatah fakta? Tak sedikit kasus pencurian terjadi (padahal pelakunya pernah diajari cara meminta), kasus pembunuhan (padahal pelakunya paham arti HAM), kasus korupsi (padahal pelakunya pejabat instansi keagamaan).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hingga kini saya (baik sebagai subjek maupun objek) masih kerap bersentuhan dengan kata jangan. Dulu, ibu saya kerap berujar: jangan marah, jangan dusta, jangan cengeng, jangan semena-mena dan masih banyak jangan-jangan lainnya. Semua larangan untuk berbuat tidak baik itu jika dituliskan di sini akan terlalu panjang dan mungkin mubazir.

Singkatnya, pelajaran adab macam demikian telah saya dapatkan sejak kecil. Sebelum duduk di bangku sekolah, saya kerap diajari oleh orang tua untuk selalu berpikir dan berbuat baik. Tak boleh iri, tak boleh dengki, tak boleh mencontek, dan seterusnya. Harus nurut, harus bangun subuh, harus jujur, harus makan/minum pakai tangan kanan, dan seterusnya.

Kebaikan harus terus dipupuk, dipelihara, dan diamalkan kepada apapun dan kepada siapa pun, katanya, dengan tanpa pamrih.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika duduk di sekolah dasar (dan sekolah ibtidaiyyah—sekolah agama setara sekolah dasar) pelajaran adab macam demikian saya dapatkan lagi. Ditambah ketika duduk di bangku SMP, SMA, hingga kuliah. Tak bosan-bosannya guru/dosen saya menganjurkan pula kebaikan. Dan saya menyetujui ide tersebut.

Saya yakin, tak hanya saya yang diajari atau dianjurkan untuk menerima, berbuat, sekaligus menyebarkan rupa-rupa kebaikan. Nah, jika memang demikian realitasnya, maka selayaknyalah (menurut nalar) dunia ini ada dalam selimut kebaikan. Sebab pengisi dunia ini telah tahu dan mafhum, mana yang mesti dilakukan dan mana yang mesti dihindari.

Apatah fakta? Tak sedikit kasus pencurian terjadi (padahal pelakunya pernah diajari cara meminta), kasus pembunuhan (padahal pelakunya paham arti HAM), kasus korupsi (padahal pelakunya pejabat instansi keagamaan), kasus penipuan (padahal pelakunya paham arti keadilan), dan beragam tindak penyelewengan lainnya.

Sebab bertolak belakang dengan apa yang telah diajarkan, wajarlah jika kemudian timbul pertanyaan asasi: adakah pola pendidikan selama ini telah usang atau salah urus? Jawabannya, menurut hamat saya, bisa ya bisa juga tidak.

Salah jika pendidikan hanya dipandang sebagai sarana transfer ilmu: sang pengajar (bisa orang tua, guru/dosen, ulama atau sebangsanya) hanya dituntut untuk mengalihkan ilmunya kepada sang murid tanpa memberikan dorongan dan teladan. Salah pula jika masyarakat berharap terlalu banyak kepada orang-orang yang berkecimpung di institusi pendidikan formal.

Berkebalikan dengan itu, pola pendidikan selama ini tidaklah sepenuhnya dapat dikatakan salah. Sebab kita selayaknya mafhum bahwa, kebaikan tidak dapat dikatakan kebaikan tanpa adanya kesalahan.

Bukan, bukan saya hendak mengajak bersetuju bahwa kesalahan adalah sumbu atau penerbit kebaikan. Maksud pernyataan tersebut tidak lain hanya ingin mengajak kita kembali berefleksi: selama, sedalam atau setinggi apapun kebaikan diajarkan dan diteladankan, toh kesalahan akan tetap muncul.

Ini sudah sunatullah. Sebab tak ada kebaikan abadi di dunia. Pada gilirannya pelajaran kebaikan akan selalu dan pasti dihadapkan dengan kasus-kasus kebalikannya. Sebagian kita kerap menyebut peristiwa ini dengan ujian. Ujian inilah yang akan mempertaruhkan seluruh nilai-nilai kebaikan yang telah kita pelajari sejak kecil di hadapan kasus-kasus atau peristiwa kesalahan.

Barangkali ini ada korelasinya dengan tamsil Tuhan yang telah menciptakan mahluk yang katanya laknat, yakni setan atau iblis. Tentu kita yakin, setan atau iblis diciptakan Tuhan bukan karena iseng. Di satu sisi ia diciptakan dengan segala cap kesalahan namun di lain sisi ia juga diciptakan untuk menjelaskan batas-batas kebaikan. Kebaikan untuk siapa? Tentu untuk kebaikan manusia yang hidup di dunia ini, bukan untuk Tuhan.

Jadi, pola pendidikan kita tentang kebaikan mungkin mengalami kesalahan teknis dan orientasinya, namun tak bijak pula jika kita terlalu beranggapan bahwa peristiwa-peristiwa kesalahan di dunia ini akibat adanya kesalahan dalam pola pendidikan. Ada atau tidak adanya kesalahan dalam pola pendidikan, kasus-kasus atau peristiwa kesalahan akan dan pasti ada.

Lantas, pelajaran apa yang dapat kita ambil dari semua ini? Saya jadi teringat kata-kata ibu bertahun-tahun silam. Saat itu saya masih kanak-kanak. ”Jangan jadi anak manja,” katanya. Tentu saja saat itu saya masih memaknai kata-kata ibu tersebut hanya sebatas jangan sering minta uang jajan, jangan sering nangis, atau jangan-jangan lainnya yang berhubungan dengan masa kanak-kanak.

Kini (mudah-mudahan masih relevan) kata-kata itu seolah menyiratkan sebuah makna baru yang lebih luhur nilainya: jangan pernah putus asa. Ya, seperti telah tersirat pada pernyataan di atas, bahwa kasus-kasus atau peristiwa kesalahan akan tetap ada hingga hari kiamat, namun kita tak perlu berhenti untuk tetap mengambil, melakukan, dan menyebarkan rupa-rupa kebaikan.

Saya memaknai: jangan manja sama artinya dengan jangan cuma mau menikmati hasil. Usaha, usaha, dan teruslah usahakan terlebih dulu. Dan saya percaya bahwa Tuhan tak butuh hasil. Tuhan hanya butuh proses.

Adakah anda bersetuju: salah tak selamanya buruk? **

 

Ikuti tulisan menarik Uhan Subhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB