x

Dengan membawa poster bergambar RA Kartini, sejumlah perempuan ikut meramaikan peringatan Hari Kartini di kawasan car free day,jalan Tunjungan, Surabaya, Minggu, (21/4). Perayaan Hari Kartini yang digagas oleh PKK dan pengajar PAUD se-Surabaya ini di

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kartini Vs Keumalahayati, Perang Besar NKRI

Seringnya konflik horisontal terjadi di Indonesia, mungkin saja kesengajaan. Selisih paham soal Kartini dan Keumalahayati yang saya alami di Aceh mudah-mudahan menggambarkan gentingnya pecah belah di tengah masyarakat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menahan marah, telinga saya merah, dan hati panas. Kalau saja perempuan-perempuan ini bukan sahabat lekat suami, mungkin saya lebih leluasa. Saya debat saja keras, mendobrak pemikiran yang dangkal. Mudah saja meluncur dari mulut mereka, "Lihat itu di Jawa, tukang menggerutu seperti Kartini sudah jadi pahlawan. Gerutuannya dibukukan. Kami perempuan Aceh, lama merdeka. Perempuan Aceh sudah ‘selesai' soal emansipasi. Pahlawan kami, itu, Keumalahayati." Nadanya nyinyir. Seingat saya, saya diam saja. Takut berargumen, jangan-jangan akhirnya perang mulut karena sungguh waktu itu, sebagai Jawa asli, saya emosi.

Itu pengalaman pribadi di sebuah warung kopi di Aceh, sekian tahun lalu, awal menjadi warga Aceh. Sekarang, kalimat senada, mungkin, keseratus sekian kali yang saya dengar, masih sering saya dengar, dan entah sampai kapan. Akhirnya saya terbiasa dan bisa lebih santai kalau ketemu kalimat-kalimat itu.

Saya malah penasaran gara-gara pengalaman pertama sampai yang keseratus sekian itu, selalu saya temukan kata ‘gerutu'. Termasuk dalam tulisan-tulisan di internet soal perempuan Aceh yang ditulis orang Aceh, yang sering nadanya sama, membandingkan Kartini dengan Keumalahayati dan ada kata kunci ‘gerutu'.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adalah aneh, menurut saya, satu tema luas diulang dengan banyak poin sama, sudut pandang sama, dan beberapa kata sama malah. Jika benar pemahaman orang Aceh soal keunggulan mereka dalam peran perempuan adalah asli, mengapa selalu Keumalahayati versus Kartini? Mengapa bukan Cut Meutia atau Cut Nyak Dhien, yang lebih populer karena lebih dulu menjadi pahlawan nasional, atau Ratu Nahrasiyah, yang bukan saja Panglima malah seorang Ratu yang memimpin pertempuran-pertempuran, dan sosok terkenal di Aceh? Lalu mengapa pembandingnya selalu Kartini bukan Dewi Sartika yang memperjuangkan sama? Mengapa tak terpikir Jawa punya Nyi Ageng Serang, misalnya, panglima perempuan Kesultanan Mataram, yang hidup berpuluh tahun sebelum Kartini, yang mengangkat senjata, menjadi panglima?

Logikanya, jika soal tadi asli pemikiran dan pemahaman kebanyakan orang Aceh, maka bahasa yang dipakai akan sangat beragam, harusnya. Bukankah bahasa soal gaya, gaya soal individu, dan individu masing-masing kekhasannya? Mungkin dini, sangat lemah, dan mentah, tapi jika saya, yang awam, boleh menduga, ini seperti kesengajaan, dari satu asal sama yang disebarluaskan. Ini isu dihembuskan untuk memecah belah, menurut saya.

Bukan kebetulan, sekolah-sekolah Aceh, tidak belajar Nyi Ageng Serang, yang pahlawan nasional. Pun, jujur, sejujur-jujurnya, saya akui, saya mengenal nama Keumalahayati setelah tinggal di Aceh, tidak saya dapat nama itu dari pelajaran sekolah. Jadi, bolehkan saya menduga ini isu pecah belah berasal dari satu, karena perlu pemahaman tingkat tinggi memilih tema tepat lalu menghembuskannya menjadi isu. Kebencian ditanamkan bertujuan menciptakan sebanyak mungkin pertikaian, kemudian konflik demi konflik horisontal akan berakibat taraf hidup rendah.

Bukankah Indonesia demikian? Bukankah itu yang tengah menimpa Indonesia? Bukankah jelas menciptakan banyak konflik horisontal adalah sejalan dengan menjaga taraf hidup tetap rendah?

Untuk membuat Indonesia pecah, cukup sebarkan hasutan-hasutan untuk saling bermusuhan. Ciptakan saja kerusuhan di titik tersebar, bergantian. Waktu ke waktu, kerusuhan-kerusuhan antar suku atau kelompok masyarakat timbul tenggelam. Negeri yang melulu dilanda konflik susah stabil artinya susah melangkah maju, susah menapaki kemajuan-kemajuan. Ingat, pecah belah dan menjaga taraf hidup tetap rendah adalah gaya penjajahan, khasnya penjajahan. Mudah-mudahan salah tapi jangan didiamkan. Perlu kesadaran penuh menjaga Indonesia bersatu termasuk menjaga pemahaman di koridor benar.

Indonesia negara multi kultur, yang itu saja adalah modal besar gesekan-gesekan. Masih ada semangat desentralisasi, yang sedikit banyak mengikis persatuan sebangsa. Desentralisasi santer disuarakan sekaligus mendapat dukungan-dukungan saking sakit hatinya kita, menurut saya, pada suatu pengalaman pemerintahan dulu, yang sentral dan gagal menyejahterakan nasional. Jika mau adil, sebenarnya, menurut saya, kita perlu membuktikan apakah kegagalan itu tidak termasuk skenario besar menghancurkan Indonesia, mengingat sudah banyak pembuktian internasional baik versi ilmiah maupun jurnalistik, bahwa campur tangan luar mengatur Indonesia itu nyata dan dalam. Masih ada bahasa konteks tinggi, khasnya banyak Bangsa Timur, termasuk Indonesia, kata teori ilmu komunikasi, yang menyebabkan ikatan komunal atau solidaritas kelompok-kelompok masyarakat kita lebih intim, yang akhirnya menyebabkan kita gampang ‘menyala' ketika satuan kelompok terusik atau diusik.

Jika Indonesia benar serius mengusahakan besar, maka faktor-faktor tadi utama diperhatikan. Pendidikan kepada warga negara sepertinya hal sangat mendesak dikejar setelah sekian tahun bangsa ini luput dari pemahaman-pemahaman benar, menurut saya. Buka sejarah, lakukan penelitian-penelitian demi menemukan kebenaran-kebenaran, kemudian sampaikan, agar bangsa paham sepaham-pahamnya tujuan pendirian negara, arah cita-cita, termasuk menentukan pijakan.

Sedih menyaksikan bangsa ini mudah dihasut. Sedih melihat Indonesia bertengkar dengan sesamanya, suku melawan suku, kelompok masyarakat melawan kelompok masyarakat, sibuk berselisih, saling menyalahkan. Kalau sampai terbukti pertengkaran itu ternyata telah diskenario demi kehancuran Indonesia, betapa sia-sianya. Duh, Tuhan, jangan sampai menimpa Indonesia... Ayo kita bersatu, ayo Indonesia bangkit. Waspada pecah belah, waspada penjajahan. Ini perang besar, ini perang mencari kebenaran 

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler