x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kecerdasan Emosional Pejabat

Kemampuan berkomunikasi pejabat publik dan politisi perlu ditingkatkan. Namun sesungguhnya ini perkara kecerdasan emosional.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“If your emotional abilities aren't in hand, if you don't have self-awareness, if you are not able to manage your distressing emotions, if you can't have empathy and have effective relationships, then no matter how smart you are, you are not going to get very far.”
--Daniel Goleman (Psikolog, 1946-...)

 

 

Begitu terucap kata-kata ‘rakyat nggak jelas’, ramailah publik. Ada persepsi bahwa kontroversi ucapan ini terkait dengan kekurangpiawaian dalam berkomunikasi. Menurut pandangan ini, kemampuan berkomunikasi si pengucap mesti ditingkatkan, apa lagi berkaitan dengan isu-isu sensitif. Apa lagi ia mengemban jabatan tinggi, yang semestinya kemampuan berkomunikasinya sudah beres.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yahh, tapi begitulah kenyataannya, banyak orang telah menempati jabatan publik yang tinggi (termasuk elite partai, anggota parlemen, lembaga yudikatif dan legislatif), tapi masih dihadapkan pada isu-isu dasar, di antaranya kemampuan berkomunikasi dan berunding atau negosiasi (terbayang kan, jika ia mewakili negara ini saat berunding dengan wakil negara lain, alangkah repotnya posisi kita). Makin tinggi jenjang seseorang dalam pemerintahan (maupun perusahaan), dua kemampuan tadi semestinya semakin canggih, tidak perlu diragukan lagi.

Tapi, masalahnya bukan sekedar kemampuan berkomunikasi. Boleh dikata, kemampuan berkomunikasi sesungguhnya mencerminkan sesuatu yang lebih dalam, yaitu kecerdasan emosional. Secara ringkas, meminjam pemahaman Daniel Goleman, kecerdasan emosional terkait dengan kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya secara cerdas.

Orang yang cerdas secara emosional memiliki self-awareness (kesadaran mengenai dirinya sendiri) yang tinggi: ia mengenal apa kelemahan, kekuatan, hingga menyadari tempatnya di tengah lingkungannya. Bila ia mengenal dirinya sendiri dengan sangat baik, ia berpotensi mampu berkomunikasi dengan lingkungannya secara baik. Jika ia seorang pejabat publik, ia mengerti bagaimana mengomunikasikan pendapatnya kepada masyarakat.

Seseorang yang diamanahi posisi tinggi, baik di pemerintahan, partai politik, maupun perusahaan, seyogyanya menyadari bahwa kelemahan dan kekuatan yang ia miliki dapat memengaruhi masyarakat: apakah ia temperamental atau ia cenderung tertutup. Apa yang tampak sebagai kekuatan diri dapat menjadi kelemahan ketika ditempatkan dalam konteks lingkungan sosial.

Misalnya saja, seorang pejabat yang terbiasa ceplas-ceplos harus menyadari bahwa kata-katanya dapat menimbulkan riak-riak kontroversi di tengah masyarakat. Bila ia menempati jabatan tinggi, kecerdasan emosionalnya mesti terus diasah agar kemampuan komunikasinya bertambah baik. Jika ia mengenal dirinya dengan sangat baik, ia tahu bahwa pada waktu tertentu ia harus memilih diam daripada berbicara.

Sekedar contoh. Indra Nooyi, Chairwoman dan CEO PepsiCo, pernah dinasihati oleh manajer senior perihal cara dia menghadapi bawahannya. Saat itu, perempuan warga AS berdarah India ini masih belum menempati posisi puncak PepsiCo.

Ceritanya begini: Ketika dalam suatu rapat seseorang mempresentasikan rencana lima tahunan, para eksekutif cenderung memberi tanggapan seperti: “Gagasan itu menarik, tapi barangkali Anda bisa memikirkannya dengan cara yang agak berbeda.” Namun Indra Nooyi tidak sesantun itu. Ia berkomentar langsung: “Itu tidak masuk akal. Itu tidak akan pernah terjadi.”

Ketika keluar dari ruang rapat, seorang eksekutif mendekati Nooyi dan berkata, “Anda bisa mengatakan hal yang sama dengan cara berbeda.” Sebagai eksekutif yang tengah menanjak kariernya ketika peristiwa itu terjadi, Nooyi memikirkan nasihat sejawatnya itu. “Saya yakin mereka pun memikirkan hal sama seperti saya,” tutur Nooyi, “namun mereka mengatakannya dengan cara yang lebih gentle.” 

KepadaWall Street Journal Europe, Nooyi mengatakan ia mengambil manfaat dari umpan balik konstruktif seperti itu. “Saya seorang yang jujur dan terus terang,” begitu pengakuan Nooyi. Seiring dengan peningkatan kariernya, ia menjadi lebih piawai untuk mengemas pendapatnya sehingga orang lain—terutama bawahannya—tidak seketika patah semangat mendengar komentarnya. Nooyi tidak mengubah pikiran dan pendapatnya, melainkan ia mengubah cara menyampaikan pikiran tersebut.

Self-awareness—kesadaran akan dirinya sendiri—adalah salah satu butir dari kecerdasan emosional yang dimiliki oleh Indra Nooyi dan patut dipunyai oleh pemimpin bisnis, pemerintahan, politik. Ketika menapaki hierarki yang semakin tinggi menuju peran atau lingkungan baru, eksekutif akan mendapati bahwa mereka perlu mengelola personalitas mereka dengan lebih cermat. Kekuatan mereka, seperti sikap berterus terang, bisa berubah menjadi kelemahan yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat. (sbr foto: essentialsofbusiness.ufexec.ufl.edu) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler