x

Iklan

Anton Muhajir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berubahnya Arsitektur dan Karakter (Orang) Bali

Secara filosofis, hidup orang Bali memang menyatu dengan alam. Maka, hotel, vila, pondokan, dan semua fasilitas untuk pariwisata pun pada awalnya dibangun dengan konsep itu. Ah, tapi itu dulu. Kini harga tanah di Bali makin mahal. Maka, mau tak mau bang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aneh rasanya melihat bangunan kotak-kotak menjulang tinggi di Sanur.
 
Selama ini, ada semacam ciri khas tiap wilayah pariwisata di Bali. Sanur, misalnya, terkenal dengan akulturasi antara Bali tradisional dengan modern. Kuta identik dengan Bali modern. Ubud sebagai Bali tempo doeloe.
 
Saya belum pernah mendengar apakah ciri has tersebut memang dibuat begitu atau hanya semacam anggapan umum. Namun, begitulah pusat pariwisata Bali dibagi dalam beberapa “wajah”.
 
Jadi, jika ingin melihat Bali tempo doeloe, jangan ke Kuta. Di sana adanya cuma pesta dan hura-hura. Jika ingin melihat tempat konvensi internasional, pergilah ke Nusa Dua, jangan ke Lovina di Bali utara yang masih sepi.
 
Kurang lebih begitulah pembagian peran antara tempat-tempat partiwisata di Bali.
 
Pembagian itu terlihat pula dari ciri-ciri bangunan. Di Sanur, pada umumnya hotel berupa vila atau pondokan (cottages). Namun, sebagai kawasan terbuka pada “modernisasi” ada juga beberapa hotel dengan gaya arsitektur modern. Misalnya bentuk yang cenderung vertikal. 
 
Tapi, model begini tak banyak. Selain itu mereka juga masih punya bangunan dengan model pondokan tersebut.
 
Sekadar contoh adalah Hotel Bali Beach, Mercure, dan semacamnya. Mereka memadukan arsitektur modern dengan tradisional Bali.
 
Karena itulah aneh rasanya ketika minggu lalu saya melihat bangunan hotel baru dengan bentuk kotak-kotak mirip apartemen di Sanur. Aneh saja karena selama ini, bangunan dengan model begitu seperti terlarang karena anak merusak “ciri khas” Sanur.
 
Tapi ya begitulah arsitektur di Bali kian hari kian berganti. Bersamaan dengan itu, bergeser pula karakter atau setidaknya kebiasaan orang Bali.
 
Bukankah, di mana pun, karakter dan arsitektur memang dua hal yang saling mempengaruhi?
 
Sekadar contoh. Rumah-rumah tradisional Bali pada umumnya rumah yang cenderung horisontal, mendatar. Tidak seperti rumah-rumah di kota yang vertikal, meninggi. 
 
Setahu saya, bentuk rumah yang horisontal ini mencerminkan hubungan kekeluargaan di Bali yang cenderung egaliter. Misalnya hubungan antar-saudara. Di Bali pada umumnya, tidak ada panggilan khusus untuk saudara lebih tua, seperti kakak atau abang. Panggilan kepada saudara lebih tua adalah dengan langsung menyebut urutan kelahiran sesuai nama, seperti Wayan, Kadek, Komang, dan seterusnya.
 
Dalam keseharian juga cenderung setara. Tidak seperti di Jawa yang lebih hierarkis sesama saudara.
 
Rumah-rumah tradisional di Bali juga cenderung terbuka. Tidak tertutup oleh pagar tinggi dan angkuh. Pagar setinggi dada akan membuat mereka masih bisa bertegur sapa dengan tetangga.
 
Rumah terbuka, sehingga menyatu dengan alam sekitarnya juga membuat mereka menganggap alam sebagai sahabat, bukan sesuatu yang ditundukkan demi kuasa dan kenikmatan manusia semata. Angin bebas masuk. Tetes hujan kadang masuk hingga kamar. Cahaya matahari menerobos ke kamar.
 
Secara filosofis, hidup orang Bali memang menyatu dengan alam. Maka, hotel, vila, pondokan, dan semua fasilitas untuk pariwisata pun pada awalnya dibangun dengan konsep itu.
 
Ah, tapi itu dulu. Kini harga tanah di Bali makin mahal. Maka, mau tak mau bangunan harus ke atas, bukan mendatar. Maka, bentuk bangunan pun makin hari makin kotak-kotak. Tak lagi membebaskan tapi membatasi. Sebab, apa yang di luar kotak mereka kini dianggap sebagai sesuatu yang harus dicurigai. Sebagai ancaman, bukan teman.
 

Ikuti tulisan menarik Anton Muhajir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler