x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pakat

Satu lagi keluhuran khas Indonesia adalah musyawarah mufakat, yang bertebaran menjadi nilai adat. Salah satunya Pakat atau Duek Pakat ala Aceh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Han jeut lage nyan, Tengku,” (tidak bisa begitu, Tuan - Bahasa Aceh, red), mungkin, kalimat itu yang paling sering terlontar dari beberapa kepala dalam majelis, mendahului pemikiran-pemikiran. Silang pendapat wajar karena manusia tentu tak seragam menakar hal-hal. Namun, karena tuntunan mengajarkan hidup berdampingan, maka masyarakat menjaga harmoni dengan jalan mencari kesesuaian paham. Mencapai kata sepakat dari perbedaan-perbedaan itu seni, sepertinya. Kebiasaan Aceh mewariskan pakat.

Pakat adalah proses mencapai mufakat, jamak disebut musyawarah dalam Bahasa Indonesia. Pakat berbentuk perundingan antara dua individu saja, lebih dari dua, bahkan dalam lingkar besar masyarakat adat. Kalau sudah banyak peserta, Aceh menyebutnya duek pakat, dibaca ‘duk pakat’, berarti duduk bersepakat, yang intinya musyawarah mufakat.

Duek pakat sebuah proses, yang bisa saja panjang, karena adat Aceh mengajarkan kesetaraan nilai manusia. Sesuai keyakinan bahwa manusia sama dihadapan Tuhan, adat Aceh memberi ruang sama dan nilai sama tiap pendapat manusia. Jadilah duek pakat wadah semua suara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana membuat banyak suara itu menemukan titik temulah yang menjadikan duek pakat lebih mirip seni, menurut saya, saking beriramanya. Tiap proses masing-masing ceritanya. Kadang begitu mudah karena banyak yang seiya, kadang banjir debat dari perbedaan-perbedaan hingga perlu waktu lama. Waktu, penanda gampang mulus atau alot proses pakat, bukan ukuran keberhasilan. Bagaimanapun perjalanan atau sepanjang apapun proses ditempuh, toh akhirnya teraih kesepakatan.

Mencapai mufakat melalui musyawarah jelas berbeda dengan menetapkan keputusan berdasar pemungutan suara. Jika pemungutan suara bicara tentang populer-tidak populer dan berujung pada menang kalah karena orientasi peserta soal balapan dipakai tidaknya suatu usulan, maka pakat menuntut lebih. Ada sudut pandang jelas beda dari dua sistem ini. Pemungutan suara terukur dari capaian individu-individu, musyawarah mufakat mensyaratkan kesadaran kolektif atau bersama meraih satu nilai luhur.

Tanggung jawab pakat lebih dari sekedar menghasilkan keputusan. Proses mufakat dibarengi niat mulia tiap pesertanya untuk mencapai hasil paling baik, paling bermanfaat, paling tepat untuk kemaslahatan bersama. Jiwa-jiwa jernih dengan niat menemukan ketetapan terbaik bagi bersama sepertinya warna utama pakat. Selama tiap peserta menyadari hal itu dan duduk di lingkaran dengan niatan itu, kata sepakat dapat tercapai. Tidak perlu khawatir jalan buntu, selama sandaran masing-masing peserta adalah demi kebaikan bersama, sepakat pasti ketemu.

Menjalankan pakat atau sistem musyawarah perlu bangunan masyarakat kokoh bersandar pada kebenaran, menurut saya, karena tanpa itu kesesuaian paham mustahil didapat. Nurani-nurani bersih diperlukan. Selama orang-perorangan berpikir selain demi kebaikan bersama, akan sulit, sepertinya, mencapai keputusan bernada sama.

Rasanya, musyawarah mufakat mungkin terlaksana dalam lingkup masyarakat bersih, minimal di tengah manusia-manusia yang berniat menjadi bersih, berpikir, dan bertindak dengan bersih. Pakat sarat keluhuran. Bukan kemenangan pribadi-pribadi, bukan tentang sekedar semua orang berhak melakukan sama, melainkan kebaikan bersama dijunjung utama.

Terlibat dalam proses pakat, orang-perorangan perlu memiliki penyaring kuat dalam dirinya akan segala hal yang bakal disuarakan. Jika sekiranya pendapat hanya demi diri sendiri atau golongan, tak perlu pernyataan apapun keluar, mengingat itu bertentangan dengan semangat pakat, yang demi bersama. Jika niatan itu terus dipaksakan, siap-siap saja ditentang peserta musyawarah lain yang keinginannya untuk keluhuran bersama.

Mngukur berjalan tidaknya sistem ini sepintas sulit apalagi jika nilai kebenaran kian kikis. Di tengah masyarakat yang sering kebingungan menakar benar salah, kebingungan mengutamakan kepentingan pribadi golongan atau kemaslahatan bersama, pakat semakin mustahil. Selama semangat yang berkembang dan dipahamai adalah semua orang berhak sama dan boleh melakukan sama, proses mufakat bakal buntu.

Paling tidak, mau mengalah, tidak egois, sungguh-sungguh mencari kebenaran, menjunjung kebersamaan adalah semangat dasar yang harus dimiliki peserta musyawarah demi teraih mufakat. Pakat atau musyawarah mufakat sebuah proses sarat keluhuran dan hanya terwujud di tengah masyarakat yang menjunjung keluhuran.

Bangga jadi Bangsa Indonesia karena sistem ini bertebaran di nusantara. Tidak saja Pakat khas Aceh, ada Rembug ala Sasak, Tudang Sipulung gaya Bugis, sampai sejarah Tumbang Anoi pada 1894 dari Dayak yang menyatukan banyak klan di Kalimantan kala penghapusan ngayau. Jiwa-jiwa luhur yang berhasil membangun sistem luhur itu aslinya Indonesia. Hari ini dan selamanya, semoga kebesaran-kebesaran Indonesia tetap milik Indonesia.

 

Sumber foto : www.slideshare.net

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler