x

Iklan

Muhammad Mulyawan Tuankotta

Alumnus salah satu kampus ternama di Indonesia. Penulis aktif untuk isu-isu Ekonomi Indonesia dan Industri Minyak dan Gas. Coloumnist tetap www.selasar.com
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Listrik Indonesia dan Alternatif Tenaga Nuklir

Listrik nasional saat ini dipenuhi bersama antara pemerintah dengan pihak swasta. PT PLN masih memegang pangsa terbesar dengan mengalirkan sekitar 32-35 ribu megawatt dari total sekitar 40 ribu megawatt.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keadaan listrik nasional saat ini dipenuhi secara bersama antara pemerintah dengan pihak swasta. PT PLN masih memegang pangsa terbesar dengan mengalirkan sekitar 32-35 ribu megawatt dari total sekitar 40 ribu megawatt, sementara sisanya kemudian dialirkan oleh pihak swasta. Saat yang sama rasio elektrifikasi Indonesia pada tahun terakhir 2012 tercatat masih sekitar 72% walau meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini mengartikan bahwa masih dibutuhkan tenaga listrik untuk dialirkan agar dapat meningkatkan rasio elektrifikasi. Rasio elektrifikasi sendiri berarti berapa jumlah rumah tangga yang dialirkan listrik, artinya ada sekitar 18% rumah tangga dari total rumah tangga di Indonesia yang masih belum. Saat ini pertumbuhan listrik (aspek lain dari kebutuhan) merupakan 1.1% dari pertumbuhan ekonomi, tahun depan diperkirakan akan meningkat 8.7%. Oleh karena itu, studi akan ketersediaan listrik dan distribusi listrik menjadi isu yang patut dicermati bersama semua pihak yang peduli.

Hulu listrik adalah tentang suprastruktur listrik. Suprastruktur listrik artinya sumber tenaga (input) yang dibutuhkan agar dapat menghasilkan listrik, yang kemudian dialirkan ke rumah tangga dan industri. Saat ini suprastruktur tersebut dapat berasal dari tenaga uap, batu bara, gas, dan tenaga air. Penggunaan masih terkonsentrasi pada tenaga uap, gas, dan batubara, sedikit menggunakan alternatif. Sementara data dari Dirjen Listrik Kementerian ESDM menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber tenaga lain, tercatat sumber tenaga air memiliki potensi menghasilkan 75 ribu megawatt, saat ini masih terkuras 5-6 ribu megawatt. Potensi lain adalah sumber tenaga panas bumi (geothermal) sekitar 28 ribu megawatt, terkuras tidak lebih dari 8 ribu megawatt. Ada tantangan untuk mengoptimalkan potensi yang ada disini. Faktor teknis menjadi kekuatan tumpu dalam hal ini, selain kekuatan institusi yang menopang, dibutuhkan keandalan dan expertisedalam memaksimalkan potensi elektrifikasi.

Dalam  rencana kedepan, Pemerintah akan menggandeng IPP (Independent Power Producer) dalam pengadaan listrik 35 ribu mengawatt, IPP diproyeksikan akan memasok listrik 29 ribu megawatt atau 82 persen dari total kebutuhan. Hal ini akan diatur dalam Permen ESDM nomor 3 tahun 2015. Hingga tahun 2019, akan ada 32 proyek pembangkit listrik baru yang direncanakan dibangun PLN dan IPP. Nilai investasi yang ditanggung oleh pihak swasta sebesar 579,9 triliun, sementara PLN akan mendongkrak kapasitas pembangkit hingga 13,7 ribu megawatt dengan nilai investasi sekitar 605,8 triliun. Sumber tenaga uap digunakan sekitar 60% dari proyek ini, sementara sisanya akan menggunakan mesin gas, air, serta panas bumi. Hal ini menunjukkan pemerintah telah mulai merambah ke sumber alternatif, semoga benar diimplementasikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Industri bertumbuh, dan Nuklir (?)

Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan pertumbuhan industri Indonesia memberikan sinyal bahwa akan ada pertumbuhan permintaan listrik untuk tahun tahun mendatang. 8.7% diperkirakan oleh Kementerian ESDM akan tumbuh di tahun mendatang. Fungsi dari pertumbuhan tersebut boleh jadi karena faktor populasi penduduk, infrastruktur yang memerlukan listrik, kendaraan, dan faktor lain. Apakah sumber tenaga yang kita miliki saat ini sudah mencukupi kalaupun memang dioptimalkan seluruh potensinya? Apakah memungkinkan tidak mencukupi? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang melahirkan ide untuk penggunaan sumber tenaga lain, yakni nuklir. Dari 10 negara dengan kategori penduduk terbesar, Indonesia adalah satu-satunya yang belum menggunakan tenaga nuklir.

Jargon Dewan Energi Nasional bertuliskan, “Minimalkan BBM, Maksimalkan Alternatif, Optimalkan gas, dan Cukupi dengan batubara”. Kata maksimalkan ke alternatif konon menjadi tafsiran atau isyarat untuk Indonesia mulai merambah nuklir. Potensi nuklir sendiri di Indonesia sudah dilakukan studi lapangan oleh BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) terdapat di Batam, Kepulauan Riau. Adapun lokasi lain di Kalimantan, namun Batam menjadi prioritas mengingat daerah tersebut memiliki akses yang relatif dekat ke pasar berdasarkan hitungan keekonomian. Yang menjadi cermatan berikutnya adalah bagaimana Pemerintah lewat Kementerian ESDM mempersiapkan infrastruktur dan teknologi untuk menggodok energi ini. Walaupun sebelum hal tersebut dilakukan, pemerintah sudah terlebih dahulu menyatukan pikiran dalam kesepakatan menggunakan tenaga nuklir, mengingat tenaga nuklir adalah tenaga yang relatif kontroversial di kalangan khalayak.

Salah satu pihak yang menentang penggunaan tenaga nuklir adalah Prof. Rinaldi Dalimi, anggota Dewan Energi Nasional (DEN). Pokok pikirannya adalah Indonesia belum memiliki cadangan uranium yang secara ekonomi commercially viable, risiko lapangan, level teknologi, dan biaya yang relatif mahal dibanding energi fosil. Sementara itu kita tak bisa menafikkan bahwa kondisi permintaan listrik akan terus meningkat bukan tidak mungkin akan boom, ada kekhawatiran bahwa sumber tenaga yang dimiliki saat ini belum sepenuhnya optimal untuk kebutuhan masa mendatang. Para pakar memperkirakan pada tahun 2012 perkembangan energi listrik sedemikian rupa sehingga tenaga nuklir menjadi diperlukan. Disamping itu, pembangkit tenaga nuklir juga dapat digunakan di sektor lain, semisal kesehatan dan pertanian. Pertentangan ide ini kemudian harus dimenangkan berdasarkan aspek aspek yang praktis, jika memang urgensi dibutuhkan maka selayaknya opsi nuklir diambil.

Namun beberapa hal yang harus menjadi cermatan publik terhadap pemerintah jika Indonesia menggunakan tenaga nuklir, yakni aspek keekonomian, sosial, teknis, dan lingkungan. Aspek ekonomis haruslah menjanjikan keuntungan bagi pemerintah. Sosial artinya dapat diterima dengan masyarakat, untuk hal ini maka program nuklir tidak hanya terdiri dari penelitian lapangan namun juga sosialisasi yang menyeluruh ke kalangan stakeholder, sosialisasi juga merupakan ajakan kepada stakeholder agar tidak perlu khawatir akan nuklir dan prosedur dalam menggunakan produk listrik dari tenaga nuklir. Persoalan teknis artinya dapat dioperasionalisasikan dengan tenaga ahli, jenjang teknologi, dan expertiseyang dimiliki Indonesia, selain pada hulu juga pada aspek teknis hilir dimana pengolahan dan distribusi sampai penggunaan, pemerintah sudah memiliki dan menjamin infrastruktur yang dimaksud. Terakhir lingkungan adalah berarti tidak mencemari lingkungan, kalaupun residu/sisa industri memaksa adanya pencemaran, pengelolaan wastesseperti apa yang akan diatur, termasuk misalkan bentuk kompensasi.

Langkah pemerintah dalam menggulirkan wacana PLTN (Pembangkit listrik tenaga nuklir) adalah bagian dari kebijakan publik. Dalam Policy Process Model, sebuah kebijakan dimulai dari agenda setting. Saat ini kebijakan tersebut sedang pada masa transisi menuju policy formulation. Dalam formulasi kebijakan, semua elemen berperan penting dalam merumuskan kebijakan tersebut.

 

Sumber Referensi:

Leading Indicators. Electrification ratio. BPS

Statistik 2013. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). Kementerian ESDM, Indonesia.

“Pemasok Swasta dapat Jatah 82%”. Pada harian Koran Tempo, Kolom Bisnis Nasional, Jumat 13 Februari 2015.

http://www.batan.go.id/index.php/publikasi/artikelnuklir/148-kenali-iptek-nuklir-gunakan-manfaatnya diakses pada tanggal 19 Februari, Pukul 14:00

Ikuti tulisan menarik Muhammad Mulyawan Tuankotta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler