x

Lima penghuni lapas yang terjerat kasus Narkotika, ikuti Ujian Nasional Paket B untuk soal Bahasa Indonesia di Lapas Umum kelas satu Cipinang, Jakarta, 4 Mei 2015. TEMPO/Frannoto

Iklan

Al Mahfudd

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Investasi Ketakutan

"Ketakutan-ketakutan yang sejak awal sudah ditabur, dipupuk, dan tumbuh subur dalam benak anak, akhirnya sampai pada puncaknya"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekolah telah didamba menjadi penentu nasib. Masyarakat dipaksa mengamini bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin jelas masa depan. Masa depan cerah hanya diraih oleh seseorang ketika mengenyam pendidikan yang tinggi. Sebaliknya, orang-orang yang tak sempat mengenyam bangku pendidikan dianggap tak memiliki masa depan.

Orang tua patuh. Mereka mencari cara bagaimana sebisa mungkin menyekolahkan anaknya, sampai jenjang yang tertinggi. Biarpun tertatih dan harus menderita, yang penting anak sekolah. Bayang-bayang masa depan yang suram, bahkan nyaris gelap, menghantui orang tua. Ketakutan itu menjadikan mereka terjerumus dalam mindset keliru tentang masa depan, tentang kesuksesan anaknya.

Masa depan cerah dan kesuksesan tak dipahami sebagai hasil atau konsekuensi kerja keras atau bagaimana anak berproses dalam pendidikan. Masa depan cerah, dipahami sebagai jaminan atas tingginya tingkat pendidikan. Orang tua menjadi memercayakan sekolah. Seakan sekolah mampu menyulap seorang anak menjadi sukses di masa depan. Pergeseran cara berfikir orang tua ini, tanpa sadar terus dipropagandakan oleh berbagai pihak, baik yang berkepentingan dengan pendidikan, maupun yang hanya memanfaatkannya demi keuntungan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintah, yang sebenarnya bertanggungjawab atas pendidikan warga negaranya, justru kerap mengeluarkan statemen-statemen keliru yang jauh dari misi pendidikan yang sebenarnya mengayomi, membimbing, dan memberdayakan. Demi menarik minat masyarakat atas penyelenggaraan pendidikan negara, pemerintah tak segan menyebut bahwa pendidikan (sekolah) adalah kunci kemajuan bangsa. Selain mendiskreditkan peranan aspek lain (keluarga, lingkungan), hal tersebut juga menimbulkan “kepasrahan” pada sekolah. Urusan sekolah adalah urusan masa depan. Apapun program yang dicanangkan pemerintah dalam pendidikan, dipandang sebagai simbol menuju masa depan.

Ujian Nasional

Kelatahan dalam memandang masa depan dan—dengan sendirinya—pendidikan, menyebar dan merembet ke berbagai aspek. Ujian Nasional, yang sekarang dikabarkan bukan samata menjadi penentu kelulusan, tetap mendapat dampaknya. Pandangan tentang pendidikan yang melenceng, lewat momen Ujian Nasional (UN) dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang sebenarnya hanya mencari keuntungan.

Jauh-jauh hari sebelum UN dilaksanakan, publik, terlebih anak didik, sudah disuguhi berbagai tayangan absurd. Iklan di televisi tentang produk pensil yang biasa dipakai untuk mengerjakan soal ujian, dengan jelas dan sepenuh bangga menyatakan bahwa dengan memakai produknya,  anak akan sukses mengerjakan soal-soal ujian dan meraih masa depan cerah. Masa depan, lagi-lagi menjadi senjata andalan untuk terus menteror anak yang justru semakin membuatnya jauh tersesat dalam menafsir masa depan itu sendiri.

Tak hanya itu. Kita sering menjumpai buku-buku panduan menghadapi UN yang selalu menjamur di toko-toko buku menjelang UN. Buku-buku panduan dan latihan soal itu selalu hadir dengan judul-judul mentereng untuk menarik minat pelajar yang sedang dirundung gelisah menatap UN. Judul-judul buku seperti “Prediksi Soal-soal UN”,“Detik-detik Menjelang UN”, “Jurus Sakti Menghadapi UN” akrab di mata dan telinga anak menjelang UN. Judul-judul itu tanpa sadar semakin menumbuhkan kegelisahan dan ketakutan dalam benak siswa. UN dikonstruksi sebagai peristiwa krusial dan mencekam dan harus dihadapi dengan berbagai persiapan, trik jitu, dan jurus-jurus ampuh. UN yang hanya sepersekian tahap dalam proses pendidikan, dicampuri urusan masa depan lewat iklan-iklan dibalut suasana mencekam lewat judul-judul buku panduan. Urgensi UN menjadi kabur lantaran jauh diseret ke ranah masa depan, yang sebenarnya menjadi rahasia Tuhan.  

Klimaks

Ketika kita mendengar berita tentang anak didik yang stres, bahkan nekat bunuh diri gara-gara tidak lulus UN, apa sebenarnya yang terjadi? Tentu tindakan ekstrem itu tidak tiba-tiba dilakukan. Anak tidak mungkin sampai stres, atau bahkan bunuh diri jika memahami urgensi dari sebuah ujian dalam pendidikan yang mereka jalani. Namun menjadi berbeda ketika ujian dipandang sebagai penentu masa depan, semacam hari hisab usai kiamat. Ketidaklulusan, dianggap kegagalan studi.  

Narasi tentang iklan UN, judul-judul buku panduan UN serta suara-suara pemerintah tentang pendidikan sebagaimana disebut di atas, telah menjadi semacam investasi ketakutan yang tanpa sadar terus ditanam dalam benak anak. Dalam keseharian belajar di sekolah, investasi tersebut terus tumbuh dalam alam bawah sadar karena terus dipupuk ucapan-ucapan guru, ditambah dengan nasihat-nasihat orang tua yang terlanjur dangkal memandang sekolah dan masa depan.

Guru meminta murid rajin belajar supaya pintar dan dapat meraih cita-cita. Sementara orang tua tak kalah, menasihati anaknya agar belajar dengan rajin supaya kelak menjadi orang sukses, bahkan melebihi orang tua. Ketika banyak kasus kecurangan UN yang dilakukan guru demi ambisi kelulusan 100% sekolahnya, ini juga semakin memperkuat pandangan siswa akan begitu krusialnya UN, sampai-sampai guru mereka sendiri melalukan berbagai cara untuk menghadapinya—bahkan sampai harus mengorbankan kejujuran.

Bentuk-bentuk investasi tersebut, lambat laun menumbuhkan rasa cemas dan terancam dalam benak anak jika tak mencapainya. Dalam jangka panjang, kecemasan, rasa was-was, dan ketakutan itu akan mencapai klimaks ketika akhir masa sekolah atau studi tiba. Klimaks itu terjadi saat pengumuman kelulusan. Ketika sudah dihadapkan pada momen tersebut—yang hanya akan mengumumkan dua hal; lulus atau tidak lulus—anak mau tak mau harus siap dengan dua kemungkinan tersebut.

Tak masalah jika kemungkinan pertama yang mereka terima, karena itu dianggap sebagai sebuah keberhasilan. Namun untuk kemungkinan kedua, berakhir sudah. Ketakutan-ketakutan yang sejak awal sudah ditabur, dipupuk, dan tumbuh subur dalam benak anak, akhirnya sampai pada puncaknya. Puncak itu berupa pemahaman dangkal; tidak lulus, tidak punya masa depan. Dari sini, stres, gangguan-gangguan mental, atau tindakan ekstrem dilakukan anak sebagai ekspresi putus asa atas beban tak tertanggungkan tentang masa depan kelam yang terus terbayang-bayang. Investasi ketakutan berbuah bencana.

Ikuti tulisan menarik Al Mahfudd lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB