x

Iklan

Nur Alam Amjar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jeritan di Penghujung Malam

Perempuan itu menjerit dengan sangat keras. Namun, jeritannya dengan cepat menghilang. Pria kekar itu dengan cepat menyekap mulutnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hariku begitu melelahkan, hingga aku tak sanggup menahan kantuk. Kedua kolopak mataku tak sanggup lagi terbuka. Ingin rasanya tubuh ini segera mendarat di atas kasur yang empuk. Dan berlayar mengarungi lautan mimpi. Tapi, tugas yang menjarahku malam ini tak mengisinkan kebutahan ragaku untuk terpenuhi.

Dia atas bangku, di belakan meja belajarku, aku sandarkan tubuh lelahku di bangku yang terbuat dari kayu, yang katanya kayu pilihan. Tapi, aku tak percaya itu. Sesekali kutatap buku yang berjejer pada rak meja belajar. Kemudia beralih pada lampu belajar yang menerangi separuh ruangan. Pikiranku kini mengawan di angkasa luas di atas sana. Berfantasi bersama bintang-bintang. Kupejamkan mataku, gelap yang kurasa, segelap pikiranku yang kacau. Kubuka kembali mataku, dan kembali menjelajah buku yang berisi soal yang tersusun rapi. Di sana aku melihat bukan lagi soal-soal akan tetapi ranjau yang tertanam di kedalam pikiran guru di sekolah.

Ranjau yang mengharuskanku berhati-hati dalam melangkah. Mungkin begitulah gambaran soal yang diberikan oleh guru yang meyerupai anjing herder, berhati-hati dalam menuliskan jawaban di atas kertas. Guru yang super galak, tubuhnya yang bongsor dan pipinya mnggelembung bak balon, menutupi hampir semua bagian matanya. Suaranya menggelagar laksana gemuruh petir yang menyambar-nyambar, bagai ombak yang menghantam keras karang. Mata ini semakin aku paksakan untuk tetap terbuka saat membayangkan guru herder itu. Tapi, rasa lelah sudah menyeruput hadis energi dalam tubuhku. Aku letakkan kembali pena yang ada di jepitan jari jempol dan telunjukku. Ia beretumpuk bersam dengan buku yang berisi soal. Kepalaku menyusul pena yang sudah terbaring kaku di atas kasur buku yang berisi soal. Aku pun ikut dalam buaian mimpi.

Malam semakin larut. Udara pun semakin dingin menembus pori-pori. Sepi, senyap yang mengelilingi ruangan. Aku tak bisa lagi mendengar apa-apa. Aku hanya menikmati mimpiku sendiri.

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di ruang tengah ada sepasang suami-istri yang asyik dengan sinetron mereka. Serial FTV, mereka menikmati tayangan itu. Mereka merasa adegan yang ada dalam teve diperankan oleh mereka. Lengan kiri si suami melingkar di bahu istrinya, kepalanya ia letakkan di atas kepala sang istri. Dan sang istri merebahkan kepalanya tepat di dada suaminya. Matanya tetap mengarah pada kotak berisi gambar bergerak itu. Tangan mereka saling berpegangan di atas paha sang suami. Mereka ingin mengenang masa-masa romantisnya dulu.

Jam sudah menunjukkan tengah malam. Waktu yang dikenal paling mengerikan oleh warga kompleks perumahan. Tak ada yang berani beraktivitas pada jam tersebut. Tetapi, kedua pasangan itu tidak memedulikannya lagi mereka trhipnotis oleh kisah romantis dari sinetron yang mereka tonton.

Keduanya masih saling berpelukan di bawah terpaan cahaya lampu neon. Senyum mereka sesekali merekah dan pelukan istri semakin ia pererat di pinggang suaminya dan sesekali matanya melirik ke wajah yang dipeluknya. Senyumnya kembali merekah.

Keadaan rumah sudah semakin gelap tak ada lagi suara yang membelah sunyi. Dalam sunyinya malam dan dalam buaian kisah romantis sang istri merasa haus lalu ia berjalan menuju dapur.

"Pa, Mama haus!" katanya manja sambil bangun dari bahu suaminya.

"Ya udah mama ke dapur aja dulu, sekalian ya, Ma. Papa juga haus ni." Istrinya berlalu meninggalkannya.

"Iya," teriaknya dari dalam dapur.

Si suami kembali melanjutkan tontonannya, sesekali ia pindahkan channelnya. Ia mencari hiburan baru selagi istrinya berda di dapur.

***

Di dapur yang tak lagi gelap perempuan itu berjalan menghampiri kulkas yang berdiri kaku di sudut kanan dapur di samping meja makan yang bersisian dengan rak piring. Ia buka pintu bagian bawah kulakas dua pintu itu. Ia tundukkan badannya matanya menjelah ke kedalaman ruang kulkas. Perempuan itu mencari sebotol air putih. Suhu yang di bawah nol derajat kulkas itu serasa membekukan wajahnya yang putih mulus, meskipun telah berumur. Perempuan yang tubuhnya dibalut gaun tidur tipis yang nyaris transparan, menuang air dari botol ke gelas kaca yang transparan sambil berjalan dengan langkah yang pendek.

Satu langkah, dua langkah, dan langkah ketiganya terhenti oleh tubuh besar, kekar. Tubuh pria kekar yang menghalangi langkahnya mengenakan pakaian hitam dan wajahnya tidak jelas terlihat. Di bagian pipi kirinya terdapat bekas sayatan benda tajam. Dan terlihat tidak terurus. Perempuan itu kaget tidak kapalan, matanya melotot melihat tubuh kekar itu. Ia terdiam kaku bak melihat monster, lidahnya kaku mulutnya tak sanggup berucap, lalu ia paksakan.

"Aaaaaaaaaaaa......." jeritnya melengking di udara, namun tertahan oleh gelapnya malam dan begitu cepat menyambar gendang telinga suaminya yang asyik dengan filmnya. Tapi, jeritan itu juga begitu cepat menghilang dan sunyi. Pria yang menonton itu dengan cepat berlari ke dapur.

"Mama, kenapa?" teriaknya juga.

***

Perempuan itu menjerit dengan sangat keras. Namun, jeritannya dengan cepat menghilang. Pria kekar itu dengan cepat menyekap mulut perempuan seksi itu. Gairah kelelakian lelaki garang itu dengan cepat menjalar menuju ubun-ubun. Tubuh molek perempuan itu ia peluk dengan erat, sedang jari kasarnya menyekap mulut indahnya. Tangan kiri yang sedari tadi menggelantung memegang sebuah kampak merah, mulai ia kendurkan dan meletakkan benda yang ada di genggamannya.

Perempuan itu terus meronta. Tapi, tenaganya tidak bisa mengalahkan kuatnya pelukan dari pria menyeramkan itu. Dengan perlahan bibir pria kekar itu mulai bergerilya di leher perempuan malang itu.

"Bagaimana, Sayang? Maukah kau menikmati malam bersamaku?" katanya dengan suara yang menggelagar.

"em..." hanya desahan itulah yang bisa perempuan itu keluarkan. Matanya melirik dengan penuh kemarahan pada pria yang mendekap tubuhnya.

"Tidak, usah malu-malu, Sayang." rayunya.

Pria kekar itu mengelus wajah cantik perempuan malang yang bersamanya dengan telunjuk. Ia tarik telunjuknya dari pelipis lalu turun ke pipi dan kembali lagi. Mata perempuan itu mengikuti gerakan jari manusia misterius itu. Tapi, semuanya seketika berubah, sikap lembut yang ditunjukkan pria itu berubah menjadi sangat kasar. Pria kekar itu menekan dengan keras rahan si wanita seksi itu. Mata orang yang bergaun tidur itu memerah, air matanya terus mengalir, tubuhnya bergetar dengan hebat, alisnya melengkuan tak karuan, mengharap iba dari pria kekar itu.

"Hai, kau apakan istriku?" Suami dari perempuan itu menunjuk dengan mata yang melotot. Matanya penuh dengan kebencian melihat istrinya diperlakukan seperti itu.

Penyusup itu hanya tersenyum dan membungkuk meraih kampak yang ia letakkan di lantai. Mata kampak itu ia usap-usapkan pada leher perempuan yang ia sandera. Suami dari perempuan itu semakin panik.

"Jangan lakukan itu!" Katanya.

Pria kekar itu tersenyum lagi, lalu melepas istri dari pria tadi. Tanpa dikomando perempuan itu berlari.

"Bruk" tubuh indah itu tergeletak di hadapan suaminya dengan bersimbah darah. Pria kekar itu dengan cepat menerbangkan kampaknya dan mengenai tepat di kepala bagian belakan wanita malang itu.

"Kurang ajar," katanya dengan suara yang meninggi.

Ia berlari menghapiri pria yang telah melenyapkan nyawa istrinya. Tubuh penyusup itu terpelanting. Ia bangun lalu membalas memukul. Tubuh si pemilik rumah terpelanting ke belakang dan mendarat di atas meja makan. Penyusup itu mengambil sebilah pisau dapur dan menghampiri pria yang menjadi lawan duelnya.

Pertarungan mereka semakin hebat, menimbulkan kegaduahan. Ruangan sudah berantakan. Tubuh si pemilik rumah itu di lempar ke sana ke mari, dan wajah si pemilik rumah sudah di penuhi dengan darah, di lengan kanannya terdapat sayatan pisau dapur. Pria yang teraniaya itu berlari menjauh dari penyusup. Ia berlari menuju ruang tengah. Penyusup itu berjalan dengan tatapan garang ke depan lalu mencabut kampak yang menamcap di kepala perempuan yang tak lagi bernyawa itu.

***  

Aku di dalam kamar masih menikmati mimpiku. soal itu belum juga terisi dengan jawaban. "Prak" aku terbangun dari mimpi indahku setelah mendengar ada suara kegaduhan di lantai bawah rumahku, dengan mata yang masih sangat lelah, aku berusaha melihat jam yang adai di atas meja belajarku, kulihat di sana jarum jam sudah menunjuk angka dua dan enam. Aku berjalan sempoyongan sambil mengucek-ngucek mata.

Suara itu semakin lama samakin keras, saat itu juga aku berpikir ada gempa. Tapi kupikir lagi aku tak merasakan getaran apa-apa. Dengan cepat kesadaranku kembali pulih. Aku segerah berlari menuruni anak tangga. Kulihat di dapur ibuku telentang dengan bersimbah darah. Aku segera menghampirinya.

"Ibu.. Bangun, Ibu" Tubuh ibu aku goncang-goncangkan. Tapi, tak ada respon ia hanya kaku dengan darah yang terus mengalir di kepalanya. Airmataku pecah. Tubuhku seakan tak memiliki tulang lagi.

"Prak" suara itu terdengar lagi, kali ini arahnya berada di ruang tengah. Aku segerah berlari ke sana. Di sana kulihat ayahku sudah tak berdaya, wajahnya penuh dengan darah, lebam di mana-mana, sayatan kampak dan pisau di mana-mana. Kulihat ayahku di aniayah oleh pria kekar. Pria kekar itu mengangkat kampaknya ke sisi kanan kepalanya dengan dua tangan. Ia siap hantamkan mata kampak pada ayahku.

"Tidak...." teriakku dengan airmata yang terus mengalir.

"Rhani, lari!" kata ayahku denga suara yang tidak begitu jelas lagi. Tapi kaki sudah tak sanggup lagi untuk bergerak seakan-akan aku tertanam ke dalam bumi.

Pria kekar itu menoleh padaku dan tersenyum, aku kaget melihat wajahnya, ternyata dia adalah pengemis yang aku tendang mangkuk uangnya, dan aku serang dengan hinaan pedas.  Rasa takut itu semakin menjalar dalam urat darahku menuju ubun-ubun. Aku semakintak berdaya, karenta ketakutan yang teramat hebat.

Kampak yang ada di tangannya ia ayungkan dan "bless" kepala ayuhku menggelinding bagaikan bola, kulihat dari leher ayahku mengalir darah bak air mancur. Lalu tubuhnya menyusul rubuh ke lantai.

Aku sudah tak tau harus bagaimana lagi saat itu. Mata tajam itu kembali melirik padaku dan tanpa basa-basi ia layangkan kampaknya menuju tubuhku yang berdiri kaku di antar kusen pintu. Kuliahta kampak itu semakin jelas membesar dan semakin besar. Aku tak sanggup lagi menghindar darinya.

"Aaaaaaaaaa...." aku berteriak dengan kencang saat kampak itu akan menghantam wajahku. Dan saat itu terbagun dari mimpi buruku. Kembali aku melirik ke aras jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, dan buku yang aku tiduri belum berubah posisi.

***

"Hai. Ceritanya sudah selesai, kalian jangan saling berpelukan ketakutan begitu lagi." kataku pada kedua kawanku yang setia mendengarkan cerita bohongku ini, aku pun tertawa melihat mereka, ketakutan.

"Udah selesai kok, tidak bilang sih, mana aku harus berpelukan sama dia lagi." ucap Ucok yang duduk diberdampingan dengan Rudi di hadapanku.

"Siapa juga yang mau berpelukan sama kamu." Balas Rudi.

"Sudah, nanti kita lanjutkan ceritanya. Tapi, nanti yang cerita salah satu dari kalian karena aku udah kan." kataku pada mereka sambil meneguk kopi hitam racikan Ucok rmaja berbadan ringkih, dan botak.

"Nanti aku yang akn cerita." sambung Rudi, remaja yang berbadan bongsor itu.

"Ok. Oiaya ingat kalau kalian tidur harus berdoa dulu, jangan sampai nasib kalian sama sepertiku." kataku

"Iya, dan jangan pernah berbuat zalim sama pengemis" sambung mereka serentak dan kami tertawa bersama.

Yogyakarta, 15 Mei 2014

 

Ikuti tulisan menarik Nur Alam Amjar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB