Maaf, hari ini belum ada kabar baik di panggung sepak bola Indonesia. Semua masih jalan di tempat, bahkan melangkah mundur.
Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, sudah dengan gagah berani membekukan Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI). Semangat yang dilandasi hasrat menciptakan sepak bola yang lebih bersih--bebas dari premanisme dan pengaturan skor--sempat disambut gegap gempita sejumlah pihak, meski juga banyak dicela sebagian lainnya.
Tapi, setelah beberapa minggu berlalu, terlihat juga bahwa Menteri Imam seperti hanya asal bertindak berani. Langkahnya tak didasari persiapan, konsep, atau rencana yang jelas akan membawa bola Indonesia ke arah mana.
Buktinya, kini kompetisi vakum tanpa kejelasan. Klub dan para pemain jadi korban. Mungkin akan ada yang bilang itu adalah harga yang harus dibayar dalam sebuah revolusi. Masalahnya setelah harga itu dibayar, lalu apa?
Setelah lama melihat kondisi sepak bola nasional, bagi kebanyakan orang, termasuk saya, yang tersisa saat ini kebanyakan adalah rasa pesimisme. Hasrat untuk membentuk kepengurusan PSSI baru yang lebih kompeten dan bersih, misalnya, menyisakan sederet tanya: orang bersih dan kompetennya darimana? bukankah beberapa tahun lalu, kita sudah terjerembab pada dualisme kompetisi--yang saling mengklaim paling profesional--tapi akhirnya kembali lagi pada kondisi seperti saat ini?
Lagi pula, kalau ada yang benar bersih, siapa yang akan memilihnya? Bukankah yang berhak memilih di kongres adalah pengurus PSSI daerah dan pengurus klub, yang sejauh ini masih menunjukkan kesetiaannya pada pengurus PSSI yang sudah dipesona nongrata Kemenpora?
Jadi, bagi saya, hingga hari ini belum ada kabar baik bagi sepak bola Indonesia. Kita sepertinya hanya berjalan dalam labirin tanpa tahu jalan keluar.(*)
Ikuti tulisan menarik Mang Ujang lainnya di sini.