x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menulis Itu Survival Training

Orang perlu mengasah setiap hari agar pisaunya semakin tajam. Begitu pula penulis mashur yang telah menghasilkan karya yang dibaca jutaan orang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Most people dream a dream when they are asleep. But to be a writer, you have to dream while you are awake, intentionally.”

--Haruki Murakami

 

Kita kerap beranggapan bahwa hal-hal besar dilakukan oleh mereka yang diberkati dengan bakat alamiah dan kejeniusan. Pertanyaannya: berapa banyak hal besar dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah menyadari potensi mereka?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang kerap disebut ‘bakat’ tidaklah cukup untuk mendongkrak kecemerlangan. Ibarat batu, perlu diasah agar bersinar terang. The Beatles manggung 6 hari dalam sepekan di Hamburg sebelum terkenal. Albert Einstein menghabiskan berjam-jam untuk memelajari fisika seusai bekerja di kantor paten.

Orang perlu mengasah setiap hari agar pisaunya semakin tajam. Begitu pula penulis mashur yang telah menghasilkan karya yang dibaca jutaan orang. Sebagian mereka mengisahkan rutinitas harian yang mereka jalani--apa yang disebut oleh Haruki Murakami sebagai 'survival training'.

Dalam wawancaranya dengan George Plimpton pada 1954 dan diterbitkan di The Paris Review, Ernest Hemingway—penulis novel The Old Man and the Sea—mengisahkan rutinitias hariannya. “Saya menulis setiap pagi segera setelah mentari pagi terlihat sinarnya,” kata Hemingway. “Tidak ada yang mengganggumu. Dingin. Anda mulai bekerja dan rasakan kehangatannya ketika Anda mulai menulis.”

Hemingway selalu membaca kembali apa yang sudah ia tulis. Ia berhenti ketika tahu apa yang akan terjadi kemudian. Ia berhenti ketika ia merasa masih memiliki ‘jus kreatif’ untuk menulis dan tahu apa yang akan terjadi. Ia menyimpannya satu malam dan  melanjutkannya esok hari. “Saya mulai jam 6 pagi sampai tengah hari atau sebelumnya,” kata Hemingway.

Kurt Vonnegut juga punya kebiasaan menulis pagi hari. “Aku bangun pukul 5.30 lalu bekerja hingga 8.00,” tulis Kurt dalam salah satu suratnya yang dihimpun dalam Kurt Vonnegut: Letters. Setelah itu Kurt sarapan dan bekerja lagi hingga pukul 10.00, berjalan kaki beberapa blok ke arah kota, pergi berenang barang setengah jam, lalu pulang ke rumah, membaca surat, dan makan siang.

Siang hari, Kurt pergi mengajar dan pulang ke rumah pukul 5.30 sore. “Aku kemudian memasak, membaca, dan mendengarkan musik jazz dari radio,” ujarnya, “lalu pergi tidur kira-kira jam sepuluh.”

Penulis novel The Kite Runner, Khaled Housseni juga menjalani rutinitas harian. Ia terbiasa menulis ketika anaknya tengah bersekolah dan rumah sepi. “Saya bekerja di komputer dan ditemani secangkir kopi,” ujar Khaled. “Saya tidak bisa mendengarkan musik sembari menulis, meski saya sudah mencoba.”

Saat menulis, sesekali Khaled mengambil jeda 2-3 menit untuk bermain gitar. “Saya berusaha menulis 2-3 halaman setiap hari,” tuturnya. “Saya menulis hingga kira-kira jam 2 siang, lalu pergi menjemput anak, kemudian saya berperan jadi ayah.”

Khaled memasang ukuran apakah harinya produktif atau tidak. Ia menyebut harinya produktif jika “sekurang-kurangnya mendapat tiga kalimat bagus dan punya gagasan untuk hari berikutnya”. Ia mengaku tidak bisa memulai hari berikutnya dengan kepala kosong. “Ide awal harus saya tanam hari ini,” ujarnya.

Haruki Murakami, penulis Norwegian Wood, bercerita kepada The Paris Review bahwa ia membangun disiplin yang ketat saat menulis sebuah novel. “Saya bangun jam 4 pagi dan bekerja 5-6 jam. Sore hari saya lari 10 kilometer atau berenang sejauh 1.500 meter atau melakukan keduanya, lalu membaca dan mendengarkan musik,” kata Haruki. “Saya pergi tidur jam 9 malam. Rutinitas ini berlangsung setiap hari tanpa variasi.”

Bagi Haruki, pengulangan itu merupakan sesuatu yang penting—menjadi sejenis mesmerisme. “Saya melakukannya terhadap diri saya sendiri untuk mencapai keadaan pikiran yang lebih dalam,” ujar Haruki. “Tapi menjaga pengulangan seperti itu untuk waktu yang lama—enam bulan hingga satu tahun—memerlukan kekuatan mental dan fisik yang baik.”

Menurut Haruki, menulis novel panjang tak ubahnya survival training. Kekuatan fisik sama pentingnya dengan kepekaan artistik. “Saya menghabiskan enam bulan untuk menulis draf pertama dan kemudian memerlukan tujuh atau delapan bulan untuk menulis ulang,” kata Haruki.

Apa yang mereka katakan: menulis itu disiplin, latihan, kesabaran, dan ketekunan. “Jika engkau punya waktu terbatas untuk menulis, duduklah dan lakukan,” kata Jodi Picoult, penulis  My Sister’s Keeper, “Kamu mungkin tidak menulis bagus setiap hari, tapi kamu selalu bisa mengedit halaman buruk sekalipun. Kamu tidak bisa mengedit halaman kosong.” (sumber foto: haruki-murakami.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler