x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sains dan Penyangkalan

Kita perlu mengembangkan “science of reason” yang mampu dan bersedia menerima paradoks dan kontradiksi-diri sebagai watak yang melekat dalam Alam Semesta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika buku Grand Design terbit, sambutan publik ternyata tidak semeriah ketika The Brief History of Time dipublikasikan. Kendati begitu, Stephen Hawking, penulis kedua buku itu, tak kurang piawai dalam menyemarakkan kemunculan Grand Design di muka umum. Menyambut terbitnya buku itu, Hawking mengeluarkan pernyataan yang memancing kembali diskusi soal sains dan agama. Katanya: “Ada perbedaan fundamental antara agama yang didasarkan atas otoritas dan sains yang didasarkan atas observasi dan nalar.” Ia bahkan berujar: “Sains akan menang.”

Senapas dengan Hawking, Richard Dawkins menampik kehadiran Sang Pencipta dengan menyatakan bahwa sains didasarkan atas bukti yang dapat diverifikasi, sedangkan keyakinan agama bukan hanya tidak punya bukti, tapi bahkan kemandiriannya dari bukti adalah kebanggaan dan kesenangannya. Biolog ini meyakini bahwa evolusi—yang ia sebut sebagai “sang desainer buta”—menggunakan trial and error secara kumulatif untuk bisa mencari ruang yang luas dari struktur-struktur yang mungkin.

Kedua ilmuwan Inggris itu beranggapan bahwa ketidakcocokan sains dan agama dikarenakan oleh perbedaan tajam dalam epistemologi keduanya. Mahluk hidup menyadari dunia melalui pengalaman indrawi yang disebut natural dan sains adalah studi sistematis atas observasi yang dilakukan terhadap dunia natural dengan indera manusia serta instrumen saintifik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebaliknya, agama mengajarkan bahwa manusia memiliki “indra dalam” (internal sense) yang memungkinkan manusia memperoleh akses jagat yang letaknya melampaui dunia yang kita lihat di sekeliling. Inilah realitas yang disebut transenden, divine reality, atau supernatural. Agama dianggap sebagai serangkaian praktik yang ditujukan untuk berkomunikasi dengan yang supernatural dan menerapkan wawasan yang didapat untuk kebutuhan manusia.

Apakah keduanya paradoks? Dualistik? Bagi fisikawan Victor Stenger, dua hal itu tidak dapat diakurkan, tak bisa disandingkan. Ia tidak membantah bahwa banyak ilmuwan yang juga beragama. Namun, baginya, para ilmuwan itu telah membagi dua otak mereka ke dalam dua bagian yang tidak berbicara satu sama lain. Masing-masing bagian dari otak yang satu ini mestinya tak mungkin menerima dua hal yang, dalam pandangan Stenger, kontradiktif.

Namun pandangan Stenger itu menyiratkan bagian-bagian otak itu bersikap egois satu sama lain. Benarkah begitu? Tidakkah kita dapat melihatnya sebagai dua sisi yang komplementer, saling melengkapi, sehingga membentuk pemahaman yang holistis—utuh dan menyeluruh? Bukankah kita manusia komplementer, sebagai lelaki dan sebagai perempuan, bahkan di dalam diri kita, kedua unsur itu ada. John Gray, dengan bukunya Men are from Mars, Women are from Venus, membangunkan kita agar memahami perbedaan itu sebagai unsur yang saling melengkapi dan membangun harmoni—bukan saling melawan.

Dualitas yang saling melengkapi juga ditunjukkan oleh watak cahaya sebagai partikel dan sebagai gelombang. Untuk mengatasi apa yang tampak absurd itu, fisikawan Niels Bohr memperkenalkan pengertian “komplementer”. Ia memandang gambaran partikel dan gambaran gelombang sebagai diskripsi komplementer atas realitas yang sama. Tidak ada yang satu salah, dan yang lain benar. Ini tak ubahnya dua sisi dari mata uang yang sama.

Teorema Gödel juga menunjukkan bahwa kita perlu mengembangkan “science of reason” yang mampu dan bersedia menerima paradoks dan kontradiksi-diri sebagai watak yang melekat dalam Alam Semesta. Menurut teorema Gödel, untuk menunjukkan konsistensi sebuah sistem aksiomatik, yang didasarkan pada matematika, kita harus melangkah keluar dari batas-batas sistem tersebut.

Benar apa yang dikatakan oleh fisikawan Iran Mehdi Golshani, teorema Gödel memiliki implikasi penting bagi sains-sains fisika yang di dalamnya matematika memainkan peran mendasar. Jadi, untuk menjelaskan sains dan keberhasilannya, orang harus melangkah keluar dari batas-batas sains. Tidakkah kita dapat memahaminya bahwa apa yang disebut “natural” dan “supranatural” sebagai dua sisi dari realitas yang sama; bahwa mendekati Alam Semesta dapat dilakukan dari dua sisi yang “kelihatannya” berlawanan, seperti yang dipahami oleh Hawking dan Dawkins.

Agaknya, Hawking dan Dawkins tak bisa melepaskan diri dari konsepsi materialistik yang sudah tertanam dalam benak ketika berupaya memahami sebuah fakta. Hawking, yang bergulat dalam kosmologi, menguatkan argumennya itu lewat kesimpulannya atas model Dentuman Besar. Penciptaan alam semesta, kata Hawking, tidak memerlukan intervensi sesuatu yang supernatural atau Sang Pencipta. Semesta yang banyak ini muncul alamiah dari hukum fisika. “Semesta adalah prediksi sains,” tulis Hawking dalam Grand Design. Dalam Dentuman Besar, tidak ada awal yang temporal bagi alam semesta.

Begitu pula, ketika berusaha memperkuat teori evolusi Charles Darwin, Dawkins berkata: “.. bersama seleksi alam, faktor kebetulan yang berubah menjadi sejumlah-besar langkah kecil melalui waktu berabad-abad akan sanggup menghasilkan mukjizat-mukjizat seperti dinosaurus dan diri kita sendiri.”

Meski begitu, banyak pula ilmuwan yang menarik kesimpulan berbeda dari teori evolusi. Ilmuwan dan teolog Arthur Peacocke menafsirkan evolusi itu justru secara teistik ketika ia menyebutkan “Saya kira teori evolusi telah mengartikulasikan, membongkar, dan menjelaskan kepada kita bagaimana—untuk mengatakannya secara teologis—Tuhan menciptakan kehidupan dan berbagai bentuk kehidupan.”

Peacocke percaya bahwa proses evolusi adalah proses yang memungkinkan munculnya bentuk-bentuk kehidupan baru. Tapi, katanya, teori evolusi tidak bisa menjawab pertanyaan mengapa harus ada proses seperti itu. Asumsi tentang sebuah mekanisme evolusi, menurut Peacocke, tidak berarti bahwa tidak ada sosok perancang.

Pada akhirnya ikhtiar keilmuan memiliki keterbatasan. Seperti dikatakan fisikawan Freeman Dyson, setiap kali kita memperkenalkan sebuah alat baru, alat baru itu selalu membawa kita kepada penemuan-penemuan baru yang tak diduga—demikian seterusnya bagaikan penjelajahan yang tak henti dan semakin sukar dipahami. “Sebab imajinasi Alam lebih kaya dari imajinasi kita,” kata Dyson. Ketika itulah kita juga mesti siap mengarungi sisi lain, yang tak kalah luasnya, dari realitas yang sama. (sbr foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler