x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Laut Sabang, Catatan Seorang Urban - Selamat dari Tsunami

Masih seri catatan saya tentang Laut Sabang. Ini situasi tsunami yang kontras antara Banda Aceh dan Sabang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Antara sadar dan tidak, alas tidur terguncang hebat. Geragapan bangkit, mencoba tegak, yang tidak gampang di atas lantai yang tergetar, dia segera menerobos pintu keluar. Berdiri di teras lantai dua, terdengar gemuruh dahsyat gedung rubuh. Lompat… Tidak… Lompat… Jangan… Kata suami saya, itu yang ada dipikirannya Minggu pagi, 26 Desember 2004, ketika gempa besar menghantam Aceh, detik-detik menjelang tsunami. Ia hampir terjun saking kencang guncangan dan saking mengerikannya dentuman tembok-tembok jatuh.

Untung gempa tak lama, sehingga pilihannya kemudian menuruni tangga menuju lantai dasar. Gedung sepi karena Minggu pagi. Setelah penuh kesadaran dan reda was-was, suami saya memutuskan ngopi ke kedai langganan. Masih tak terpikir musibah besar akan datang. Gempa biasa saja, mungkin batinnya. Suami saya di gedung pusat kegiatan mahasiswa tempatnya menuntut ilmu, di daerah Darussalam, Banda Aceh, waktu itu.

Baru beberapa teguk kopi, seseorang memberitahu pemilik kedai, air laut naik. Pemilik kedai mengusir semua pengunjung, yang memang beberapa saja pagi itu, sambil bergerak cepat memindahkan barang-barang ke lantai dua. Beranjak keluar, suami saya tertegun melihat arus manusia, ke arah kampus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang-orang berhamburan. Pekik asma Tuhan dan teriakan-teriakan, “Air datang… Air datang… !!” riuh sahut-sahutan. Suami saya sempat hanyut dalam gelombang manusia dan kepanikan, tapi kemudian memutuskan berhenti di lapangan Darussalam saking ingin menyatakan kebenaran. Kata suami saya, tak lama, benar air datang. Persis ombak menuju pantai, air menyentuh kakinya lalu surut. Sekali dan sebentar saja, dan air tak kembali. Darussalam kebetulan termasuk wilayah selamat dari amuk tsunami.

Setelahnya, baru suami saya sadar bencana besar menghantam kota dari banyak pemandangan memilukan. Banjir jenazah dan puing-puing di bawah jembatan Lamnyong dekat kampus, pohon-pohon besar kira-kira tak terpeluk tangan satu manusia dewasa malang melintang di jalan-jalan raya, lumpur, reruntuhan, sampai kontrakannya di daerah Ajun tak lagi berdinding depan dan belakang, terjebol arus.

Meski terberai, sebagian keluarga suami berhasil menyatu di hari kejadian, kecuali Ayah dan Mamak. Ayah-Mamak, mertua saya, tinggal di Sabang, sehingga beliau berdua sangat dinanti kabarnya oleh keluarga besar dalam kesangsian. “Kalau Banda Aceh sehancur itu, bagaimana Sabang?” Pertanyaan-pertanyaan menggantung dalam kekalutan.

Di Sabang, Ayah-Mamak bingung dan kusut. Setelah gempa besar, berusaha menghubungi anak-anak saja tidak bisa karena semua saluran komunikasi terputus. Kabar tsunami menghantam Banda Aceh simpang siur sampai ke Sabang, sehingga esoknya, Ayah-Mamak memutuskan menyeberang ke Banda Aceh dengan pelayaran komersial yang beroperasi wajar.

Ayah Mamak tertahan dalam kapal di pelabuhan Banda Aceh karena dermaga hancur parah. Sejak itu, setiap hari, Ayah Mamak bolak-balik Sabang-Banda Aceh menunggu perbaikan darurat dan pembukaan akses menembus kota yang sekian waktu tertutup total sambil terus berharap segera bisa menemukan anak-anak. Lebih setengah bulan, seingat suami saya, ia baru diijinkan Tuhan kembali bertemu dua orang tua tercintanya.

Pertama mendengar cerita tadi dari suami, saya haru, takjub, campur aduk, dan yang lama belum hilang adalah heran. Rasanya mustahil Sabang selamat, jika Kota Banda Aceh saja demikian luluh lantak. Bahkan sampai saya datang September 2006, pemandangan memang kontras antara Banda Aceh dan Sabang.

Jika di Banda Aceh, saya disambut keluarga suami dengan tur bukti kedahsyatan tsunami, maka Sabang kota normal tanpa terlihat bekas kehancuran. Saya sesenggukan di Banda Aceh menyaksikan kapal besar ‘bersarang’ di atap rumah warga, tapi Sabang nyaris tak menampilkan lukanya diamuk gelombang besar, kecuali cerita-cerita kehilangan sanak saudara di Aceh daratan dari orang-orang.

Pada hari-hari pertama di Sabang ketika saya diajak berkeliling diperkenalkan kerabat, semakin jelas, seperti ajaib, Sabang, yang kota pantai, minim kerusakan. Kota Sabang benar-benar di bibir pantai, yang rasanya kemana melangkah kita bisa menatap laut, tapi Sabang nyaris nihil kehancuran. Kenangan tsunami orang Sabang hanya cerita air meluap. Kesan mereka, tsunami 2004 itu pasang tinggi laut yang sampai ke tengah kota tak lebih semata kaki orang dewasa, tanpa ombak besar, tanpa arus deras.

Korban meninggal atau hilang akibat tsunami di Sabang, juga tidak ada setahu saya. Ini jelas lain dibanding enam digit fantastis data Kota Banda Aceh. Banyak orang mengira Sabang lenyap minimal hancur dengan kerusakan berat, tapi nyatanya Sabang selamat, seijin Tuhan.

Kok bisa?

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler