Mitos Indonesia

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tulisan ini mengulas tentang bangunan sejarah dan mitos yang menubuh dalam kesadaran menjadi Indonesia.

Hidup manusia penuh diselubungi mitos. Namun, hal ini banyak dan sering tak disadari. Mitos sendiri banyak bermasalah ketika pemikiran –yang merasa– rasional  menilai jiwa dan pemikiran pada masa lalu belum mengalami pencerahan (enlightenment) ke luar dari mitos. Meski begitu, hal-hal yang dianggap di luar rasio toh pada masa kini masih diimani, dinanti-nanti, dan berusaha dibangkitkan; semisal turunnya erucakra atau ratu adil, kejayaan masa lalu, dan megalomania identitas (suku, bangsa, agama, dan ras). Pada satu sisi, mitos dicibir, direndahkan, dan disingkirkan bagi yang merasa berpikiran rasional, logis, dan ilmiah. Tapi tanpa disadari, pikiran anti-mitos sendiri sebenarnya adalah hasil konstruksi dari setumpukan mitos. Mungkin di antara mereka tidak sadar telah menipu dirinya sendiri. Bahkan, mereka sendiri sebenarnya membutuhkan mitos.

Mitos bukanlah konsep yang menjadi dan ada begitu saja. Tapi sesungguhnya, pada setiap masa, mitos terbentuk belakangan setelah ada tujuan, alasan, dan kepentingan tertentu. Barulah kemudian, mitos coba ditelisik dan dijelaskan maknanya    

Paul Ricouer (1981) kiranya benar ketika membenahi definisi mitos dari Lévi-Strauss, bahwa: ”kita telah menjelaskan mitos, tapi belum menafsirkannya.” Analisa struktural Lévi-Strauss memang bisa menunjukkan logika cara kerja yang mengaitkan hubungan antara mitos sebagai unit besar dengan bahasa sebagai unit kecilnya. Logika ini menciptakan ”hukum struktural mitos yang tengah dipertimbangkan.” Namun, bagi Ricouer, definisi Strauss itu sebenarnya baru sebatas obyek pembacaan, dan sama sekali bukan obyek ujaran. Pengertian pembacaan atas kekuatan mitos sebenarnya dibangkitkan kembali pada situasi khusus. Maka, seringkali teks jadinya hanya sebuah teks. Pengertian eksplisitnya: mitos hanya mitos; mitos bukan bagian dari kenyataan; kenyataan dipisahkan dari mitos. Padahal keduanya adalah ”sepaket hubungan” yang harus didedahkan maknanya. Maka itu, makna mitos tertangguhkan dalam aktualisasi ujaran masa sekarang. Apa akibatnya jika ”logika” mitos terselewengkan dari makna asalnya? Serta apa dan siapa yang menyelewengkannya?

Pertanyaan ini terpantul dalam tulisan Onghokham, The Myth of Colonialism in Indonesia: Java and the Rise of Dutch Colonialism (dalam bukunya The Thugs, the Curtain Thief, and the Sugar Lord: Power, Politics, and Culture in Colonial Java, 2003: 149 - 178). Onghokham mengurai bagaimana mitos-mitos berselubung dalam perjalanan sejarah Indonesia, sejak masa kolonial hingga pasca-kolonial. 

Alih-alih ingin melakukan dekolonisasi segala unsur kolonial, yang ada malah terjerembab ke dalam kedangkalan ketika menarasikan masa lalu kolonial itu sendiri. Sejak masa kolonial hingga pasca-kolonial, penulisan sejarah jelas tak lepas dari kepentingan ideologi dan politik. Sebagai unsur yang pokok dalam sejarah, persoalan periodeisasi kerap dimitoskan dalam buku-buku teks sejarah Indonesia. Hal yang paling populer adalah soal: Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.

Selain Onghokham, Bambang Purwanto dalam bukunya Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (2006) pun menilai prinsip dekolonisasi mengakibatkan pemahaman sejarah Indonesia sebagian besar menjadi anakronis. Dengan kata lain, persoalan chrono (urut waktu) bukanlah persoalan kalkulasi lama tidaknya sebuah penjajahan sebagaimana itu yang dipikirkan oleh para pembelajar sejarah (di) Indonesia. Tapi, ada hal yang sangat rawan dipengaruhi oleh anakronisme itu. Hal itu terkait tentang pemaknaan atas masa lalu untuk kehidupan Indonesia pada masa kini dan akan datang. Onghokham berusaha menyadarkan bahwa dalam praktik politik Indonesia kontemporer, sejarah sering digunakan untuk tujuan legitimasi atau untuk menyudutkan para pendahulunya. Ideologi menjadi lebih penting ketimbang sejarah sebagai ilmu (apalagi refleksi). Jika sudah begini landasannya, maka mitos-mitos sejarah yang diproduksi rezim politik menjadi bakal tidak pernah membantu, malah membuntukan penjelasan banyak peristiwa sejarah.

Kembali lagi pada persoalan 350 tahun dijajah Belanda. Menjadi celaka ketika masa 3,5 abad itu ditanamkan dalam teks-teks sejarah. Pasalnya, kurun itu sama saja dengan menebalkan kecongkakan Gubernur Jendral J. De Jong yang pada 1932 berujar ”we have been here for 350 years and plan to stay for another 350 years, if necessary with stick and sword.” Meski toh sesumbar Jong itu nyatanya tidak terbukti. Sepuluh tahun setelah pernyataannya itu, kekuasaan Belanda berakhir akibat invasi Jepang.

Namun, bukan sejarah namanya jika tidak ada dramatisasi dan narasi klimaks yang dapat ”menggugah kesadaran” sebuah bangsa. Dus, begitupun kenyataan sejarah (di) Indonesia. Masa 350 tahun sering terlanjur dikesankan sebagai penanda betapa lama penderitaan ”bangsa Indonesia” “dijajah” oleh Belanda. Pembubuhan kata “bangsa” dalam kurun 350 tahun sendiri jelas ke luar dari bingkai kenyataan jika mengambil wacana munculnya konsep bangsa sebagai “komunitas yang dibayangkan” pada awal abad ke-20. Maka jika menangkap ideologi kebangsaan yang dimasukan dalam kurun 350 tahun, apa yang dikatakan Tom Nairn dalam tulisannya The Maladies of Development (1964) menjadi benar, bahwa itu semua adalah bentuk “penipuan diri yang dibutuhkan (a necessary self-deception). Bangsa, imbuhnya, lebih berfungsi sebagai mitos. Unik sekaligus ironis, justru karena mitoslah nasionalisme bekerja. Ketika mitos-mitos bekerja, orang-orang justru merasa menemukan keselamatan di dalamnya.

Mitos 350 tahun dijajah hingga akhirnya menjadi bangsa yang merdeka telah mengacaukan chrono sejarah (di) Indonesia sendiri. Batas-batas temporal menjadi bias. Pun, mitos macam pribumi malas dan bodoh dalam pandangan kolonial seakan masih tercitra dalam narasi sejarah nasional. Mitos-mitos itu dengan kata lain hendak menyampaikan pesan bahwa itulah biang dari panjangnya penjajahan Belanda. Ditambah lagi, masa kekuasaan politik kerajaan hingga akhirnya melemah oleh avonturisasi dan intervensi VOC pada akhir abad ke-18, terkesan cenderung ditekankan pada dominasi Belanda saja. Padahal itu semua adalah pre-eventum (masa sebelum)dari belum terwujudnya kekuasaan Pax Neerlandica (Hindia Belanda) yang memiliki sistem politik, ekonomi, dan pemerintahan kolonial terintegrasi sejak abad ke-19. Tapi, dalam narasi sejarah kolonial, demi menancapkan betapa kuasanya Belanda, orang seperti de Jong berusaha menghadirkan mitos kekuasaan Belanda yang berabad-abad lamanya.

Meski begitu, dalam pandangan ilmuwan sosial Belanda seperti van Leur, Schrieke, dan Wertheim, konstruksi sejarah kolonial justru mereka anggap hanya membenamkan citra politik kekuasaan lokal (di Jawa dan di luar Jawa) yang sebenarnya masih memiliki otonomi hingga akhir abad ke-18. Van Leur mengawali sejak 1930-an dengan memasalahkan ketiadaan perspektif pribumi dalam narasi sejarah kolonial. Ikhtiar van Leur diikuti Schrieke dan Wertheim pada 1950-an. Justru ketiga sosiolog (bukan sejarawan) itulah yang paling awal merasakan perlu adanya pengembangan pendekatan historis untuk menawarkan konsep ruang dan waktu lebih jelas demi membersihkan mitos kekuasaan 350 tahun Belanda di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan sejarawan Indonesia sendiri?

Selepas kemerdekaan, kesengkarutan terjadi di antara sejarawan nasionalis (macam Mohammad Yamin) dengan sejarawan akademik (macam Mohammad Ali) dan kritikus sejarah (seperti Soedjatmoko dan Mohammad Hatta). Tapi, sayang, sejarawan nasionalis yang berada di balik kekuasaan negara lebih menguasai narasi sejarah Indonesia. Dan pemikiran para pemikir sejarah yang cerdas seperti Ali, Soedjatmoko, dan Hatta justru (di)tenggelam(kan) oleh kepentingan politik penguasa. Mitos-mitos ganjil kurun masa 350 tahun Indonesia dijajah Belanda (bahkan Yamin membayangkan nasionalisme Indonesia berumur 6000 tahun) terlanjur dibubuhkan sejarawan nasionalis dalam penulisan sejarah Indonesia.

Memang pada akhirnya, sejarah, galib jadi milik penguasa, bukan milik khalayak. Jika begini, saya jadi teringat pada sebait syair dari Bertolt Brecht (1935): “pada malam ketika Tembok Tiongkok jadi, ke manakah para tukang batu pergi?”     

 

(Sumber foto: http://www.helmink.com/Antique_Map_Tallis_East_Indies/Antique_Map_Tallis_East_Indies.jpg)

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fadly Rahman

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Antara Libur dan 'Kurang Piknik'

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler