x

Dari kanan, Komisioner Ombudsman RI saat memberi keterangan mengenai kasus Azlaini Agus dalam jumpa pers di gedung Ombudsman, Jakarta (30/10). TEMPO/Dhemas Reviyanto

Iklan

Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Adem Ayem Obudsman RI

Meski sudah dibentuk Panitia Seleksi Obudsman R (ORI), keriuhan masyarakat tak segegap dalam merespons seleksi pimpinan KPK.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tujuh orang anggota panitia seleksi komisioner ORI telah diangkat berdasarkan Keputusan Presiden No. 62/P akhir pekan lalu. Dua aktivis organisasi non pemerintah ada di dalamnya, Zoemrotin K Soesilo, aktivis kawakan dalam isu perlindungan konsumen dan HAM, dan Anis Hidayah, aktivis dari Migrant Care.

Panitia seleksi akan memulai rekrutmen calon komisioner pada 6 Agustus mendatang, menggantikan komisioner saat ini yang akan berakhir pada Pebruari 2016. Meski begitu gaungnya masih tak terdengar ke publik seperti proses rekrutmen komisioner KPK.

Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan rekrutmen komisioner ORI menjadi terasa adem ayem. Pertama, tak menjadi sorotan media. Dalam proses seleksi komisioner KPK, media melatakkan isunya dalam setting konflik. Deraan terhadap KPK sangat luar biasa, sehingga media menganggap sebagai berota yang sangat ditunggu publik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada saat yang sama, melakukan eksploitasi pada para anggota panitia seleksi, yang semua anggotanya berjenis kelamin perempuan. Dengan cara pandang bias jender, media terus menerus menumbuhkan keraguan publik terhadap panitia seleksi.

Sementara dalam kasus ORI, media tak memiliki titik pijak dalam meletakkan ORI dalam skema krisis moral. Media tak cukup energi dalam melakukan eksploitasi terhadap proses seleksi ORI ini. Tak ada ruang menemukan titik konflik, padahal jurnalisme di negeri ini sebagian besarnya masih menganut logika jurnalisme perang. Lihat saja, ketika Muktamar NU didera perbedaan pendapat, media hampir semuanya melaporkan sebagai situasi ricuh dan gaduh.

Kedua, publik sesungguhnya tak memahami benar persoalan-persoalan yang menjadi ranah kerja ORI. Tentu saja ini berbeda dengan ruang kerja KPK, yang seakan menjadi musuh bersama semua elemen bangsa. Ketakpahaman publik ini, menjadikan masyarakat tak memberikan perhatian secara serius dalam proses rekrutmennya.

Padahal, sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, ORI memiliki fungsi sangat strategis. Bahkan bisa dibilang ORI merupakan lembaga yang akan menjamin berjalannya jantung fungsi negara, sebagai pelayan publik atau warga negara.

Selama ini, manakala terjadi malapraktik dalam pelayanan publik, masyarakat masih meletakkannya dalam kasus individu atau personal belaka. Publik tak mengerti benar kelambanan pemberian pelayanan publik, pemimpongan layanan, merupakan kesalahan fatal.

ORI, meski memiliki perwakilan di berbagai daerah, tampaknya belum cukup pula membangun kedekatan dengan masyarakat. Sebagai komisi yang juga bekerja berdasarkan laporan publik, tentu sedikit banyak kinerja akan dipengaruhi seberapa besar masyarakat mengetahui fungsinya.

 

Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler