x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cermin Galia (Bagian 1)

Lakon sebuah bangsa. Ini perjalanan orang-orang Galia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Alkisah, sepasang karib menembus hutan desa mengejar babi liar seperti biasa. Dua pemuda berburu untuk makan mereka. Di naungan belantara, di kaki pohon-pohon sumber kehidupan, di lingkar alam yang bak lumbung penuh makanan, tanah dusun meruahkan segala. Penduduk mengambil saja apapun keperluan mereka tak perlu jauh dari rumah. Kampung dua pemuda bumi nan kaya.

Berhari sebelumnya, di balairung istana, sebuah maha rencana selesai digodog dan dicetuskan Sang Kaisar menjadi suratan masa depan kampung dua pemuda. Sejarah panjang permusuhan melilit keduanya. Bangsa merdeka, kaum dua pemuda, di sela bentang tanah taklukan, ibarat onak kekaisaran. “Maka, demi kemuliaan peradaban…,” Kaisar mengumumkan, “…ils devront s'adapter ou disparaître!” Bangsa dua pemuda harus memilih, menjadi bagian imperial atau musnah terhancurkan.

Rencana Sang Kaisar adalah menyerap identitas bangsa dua pemuda tadi. Tiap bangsa masing-masing identitasnya, dan bukankah menghilangkan suatu bangsa berarti tinggal menghapus identitas-identitasnya? Mendekatkan ritme dan warna bangsa Sang Kaisar, akan mengubah identitas kaum dua pemuda dengan sendirinya, cepat atau lambat. Agar segera, maka bombardir pengaruh harus terus-terusan, sehingga yang diperlukan sekarang adalah menghadirkan bangsa Sang Kaisar sedekat mungkin dengan dusun tempat suku merdeka, bangsa dua pemuda, di jantung hutan. Ini strategi baru setelah berkali sebelumnya, agresi kekuatan kerajaan selalu mental terkalahkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

We will deforest, their forest!” Terpilihlah seorang arsitek dari idenya menerjemahkan mimpi Sang Kaisar, memuliakan peradaban. Dikawal batalion pilihan dan dibekali sepasukan budak belian, misi Kaisar menembus belantara mencapai titik terdekat perkampungan. Sesuai cetak biru, puri-puri agung megah akan didirikan, tahap-pertahap. Maka langkah pertama menyediakan lahan terbuka, artinya hutan kampung harus rata.

Terpampanglah di hadapan dua pemuda, di tengah perjalanan perburuan, batalion kekaisaran rapat memagar budak-budak bekerja keras. Lengan-lengan, yang kehilangan kemerdekaan, terayun gegas bersama mata kapak mengiris lingkar kayu-kayu hutan. Dentum pokok-pokok raksasa tumbang berjatuhan.

“Apa lagi mau Kaisar?” pemuda kecil dari dusun segera curiga tanahnya diinjak-injak. “Bukankah Kaisar belum mengajaknya bicara? Apa mencuri bagi bangsa besar pimpinan Sang Kaisar biasa saja?” Pemuda kecil berunding dengan sahabatnya yang tambun tinggi, yang selalu seia setia. Bulat keputusan, mereka kembali ke dusun melapor ke kepala adat.

Syahdan, penduduk kampung mengamuk mendengar laporan pemudanya. Pencurian dan perusakan oleh siapa saja  tidak bisa dibiarkan, utusan Kaisar sekalipun. Ini tanah air mereka, negeri merdeka. Penduduk bersiasat. Dua pemuda tadi, Si Kecil dan Si Tambun, diutus memperbaiki hutan. Berbekal ramuan jimat dari tabib desa, dua pemuda menuangi tunas-tunas yang mereka tanam hingga tumbuh super kilat. Hutan yang rata tertebang, segera rindang, lahan yang telah terbuka, langsung kembali rapat.

Squaronthehypotenus hampir frustasi. Lelaki itu tahu benar yang ia hadapi. Bangsa dua pemuda memang ternama dengan ramuan magic, tapi karena tugas dari Kaisar harus terpenuhi, demi kehormatan, Squaronthehypotenus memeras otak. “Selesaikan atau mati!” Squaronthehypotenus sengaja mengumumkan lantang di hadapan budak-budak belian justru agar perintahnya terdengar kaum pemilik hutan. Para budak gemetaran karena berarti kerja mereka akan lebih keras.

Setelah mendengar kabar, lalu menyaksikan langsung tekanan pada para budak, Si Kecil, pemuda desa yang cerdik, tak sampai hati. Orang kampung kembali menyusun taktik agar tanah mereka selamat tanpa mengorbankan manusia lain. Kali ini, diam-diam pemuda kecil memberikan ramuan ajaib kepada para budak, berharap mereka menjadi kuat, melakukan pemberontakan, dan membebaskan diri.

Nyatanya lain. Budak-budak justru bergegas menyelesaikan pekerjaan sambil mengajukan perundingan dengan tuannya. Selesai pembangunan puri tahap satu, para budak mau menjadi orang bebas, tetap dipekerjakan kekaisaran menyelesaikan puri-puri tahap berikutnya, meminta upah lebih, dan mengajukan fasilitas-fasilitas.

Squaronthehypotenus merasa menang ketetapannya menjebak dan malah membawa keberhasilan. Tugasnya dari Sang Kaisar mungkin purna lebih awal, dan langsung terbayang anugrah kehormatan, penghargaan, hadiah, serta kemudahan-kemudahan. Tugas yang tengah diembannya adalah usaha menggerus musuh bebuyutan, jika berhasil, Kaisar pasti senang. Langsung diiyakannya permintaan para budak. “Kesempatan emas,” gumamnya girang bukan kepalang. Pembangunan lebih cepat dari perencanaan.

Sebaliknya, ketidakpastian menghinggapi suku dua pemuda. Sebagian meratap buminya rusak, sebagian mulai ikut-ikutan mengerjakan pekerjaan para budak saking mendengar imbalan besar bakal diterima sebagai kuli bangunan, lainnya di pinggiran, menonton perpindahan kaum ningrat kekaisaran yang mulai berdatangan mengisi paviliun-paviliun puri. Hari-hari berjalan, kehidupan berkaitan.

Orang-orang kampung dulu bersama berdagang di pasar, sekarang beradu hantam satu dengan lainnya berebut pelanggan. Dulu, mereka berniaga memenuhi kebutuhan hidup sekedarnya, kini tumpukan laba jadi ukuran. Dulu, perempuan-perempuan bangga dengan penampilan mereka, sekarang berlomba mengenakan satin sutra. Dulu, bangsa merdeka dari kampung dua pemuda menghabiskan waktu di perburuan-perburuan demi persediaan makan bersama, sekarang hidup mereka perlu waktu luang, berbaring di dipan-dipan dengan anggur hijau terangkat tinggi sebagai santapan. Matras-matras dijajar di halaman puri waktu pagi menjadi alas penduduk kampung dan bangsawan asing bersama senam pagi. Demi kehidupan lebih baik, katanya, semua harus diganti.

You've turned into a bunch of avaricious fools! (Kalian berubah menjadi orang bodoh yang tamak!)” pemuda kecil yang kelewat muak, berteriak di suatu pertemuan kampung yang mulai ditinggalkan. Pemuda itu golongan yang murung, ia yakin bangsanya tengah hancur, bahkan ia mulai menyaksikan kehancuran itu. “Wrong! We were fools before they come! (Bukan! Kita bangsa terbelakang justru sebelum mereka datang!)kebanyakan orang membela diri, merasa hidup yang mereka jalani kini lebih baik. Pemuda kecil tersudut, sendirian.

Bangsa besar, yang ditakuti Kaisar, akhirnya congkrah. Mereka pecah, tercerai tipu muslihat, lalu desa kosong, benar-benar ditinggalkan.

(Bersambung)

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler