x

Iklan

Abdul Manan

Jurnalis yang tertarik mengamati isu jurnalisme, pertahanan, dan intelijen. Blog: abdulmanan.net, email abdulmanan1974@gmail.com
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

'Perangkap Seks' Mossad Itu Bernama Cindy

Mordechai Vanunu diburu Mossad karena membocorkan rahasia nuklir Israel. Ia ditangkap setelah lebih dulu dijebak dengan perangkap perempuan.bernama Cindy.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nama Mordechai Vanunu kembali muncul ke permukaan setelah lama tak terdengar kabarnya beberapa tahun terakhir ini. Pria yang dipenjara gara-gara membocorkan rahasia nuklir Israel itu tampil dalam wawancara dengan TV Israel, Channel 2, pada 2 September 2015 lalu. Dalam wawancara itu, ia mengisahkan penangkapannya oleh agen intelijen Israel, Mossad, melalui perangkap perempuan bernama "Cindy".

Menurut www.i24news.tv, itu adalah wawancara pertama Vanunu dengan TV Israel setelah ia menjalani hukuman penjara selama 18 tahun karena membocorkan soal nuklir Israel yang berada di Gurun Dimona, program yang selama ini tak pernah diakui oleh pemerintah Tel Aviv.

Vanunu menghabiskan 18 tahun di sebuah penjara Israel karena mengungkapkan informasi dan foto-foto yang telah dikumpulkannya selama bekerja di Dimona, Israel, untuk koran Sunday Times Inggris pada tahun 1986. Ia sebenarnya sudah dibebaskan sejak 2004, tapi diawasi ketat dan tak boleh keluar Israel atau berbicara dengan orang asing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mordechai Vanunu mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung Israel bulan lalu untuk memberinya kebebasan untuk pergi ke luar negeri. Ia menyatakan ingin tinggal di Norwegia, di rumah istri yang dinikahinya sekitar 3 bulan lalu, profesor teologi Kristin Joachimsen. Keduanya menikah di gereja Lutheran di Yerusalem, Israel, 19 Mei 2015 lalu. Mahkamah Agung akan memutuskan permohonan Vanunu itu pada bulan ini.

Kisah bagaimana Vanunu akhirnya dicari Israel dan menjadi obyek perburuan Mossad, ditulis dengan lengkap dalam salah satu bab dari buku Mossad: The Greatest Missions of the Israeli Secret Service, yang ditulis oleh Michael Bar-Zohar dan Nissim Mishal pada 2012 lalu.

Vanunu mendaftar ke sebuah proyek rahasia di Dimona setelah melihat iklan di suratkabar. Ia mengisi form di kantor Fasilitas Penelitian Nuklir yang berada di Beersheba, dan lolos dengan mudah. Lolosnya Vanunu ini belakangan memicu pertanyaan: bagaimana mungkin anggota radikal sayap kiri, memiliki teman komunis, dan pro-Palestina, bisa diterima di fasilitas rahasia itu?

Badan intelijen dalam negeri Israel, Shabak atau yang lazim dikenal sebagai Shin Bet, mengetahui aktivitas berbahaya Vanunu dan memanggilnya. Soal itu juga dimasukkan dalam laporan Shin Bet di file Departemen Pertahanan Israel. Vanunu tak menghentikan aktivitasnya, dan Departemen tak bertindak atas adanya informasi itu.

Vanunu saat itu bekerja sebagai operator di Institute 2, salah satu departemen paling rahasia di komplek reaktor nuklir Dimona. Dari sekitar 2.700 karyawan, hanya 150 orang saja yang bisa masuk dalam fasilitas itu. Foto-foto nuklir Vanunu, yang kemudian ia bawa keliling dunia sebelum akhirnya diserahkan kepada wartawan Sunday Time di London, diambil dari fasilitas ini.

Pada akhir tahun 1985, Vanunu dipecat setelah bekerja 8 tahun di sana. Menurut Michael Bar-Zohar, pemecatan itu bukan karena aktivitas politiknya, tapi sebagai dampak dari pemotongan anggaran Dimona. Dia mendapatkan pesangon besar, tapi itu tak meredakan sikap frustasi dan kemarahannya.

Pada saat itulah ia memilih pergi ke luar negeri, dan sepertinya tak ada tanda-tanda ingin kembali. Sebelumnya ia sudah pernah pergi ke luar negeri, yaitu ke Eropa dan Amerika Serikat. Kepergiannya kali ini adalah menuju daerah timur jauh. Pemberhentian pertamanya adalah di Yunani, kemudian Rusia, Thailand dan Nepal. Setelah dari Kathmandu itulah ia pergi ke Australia.

Selama beberapa waktu, ia bekerja di sejumlah bidang yang aneh, sampai pada akhirnya ia seperti menemukan cahaya terang karena bertemu pendeta Anglican John McKnight. Kedekatan keduanya membuat Vanunu, pada 17 Agustus 1986, meninggalkan iman yahudinya dan dibaptis menjadi Kristen. Ia lantas memiliki nama baru John Crossman.

Dalam sebuah acara sosial di gereja, Vanunu memberitahu teman barunya bahwa ia pernah bekerja di Israel dan menceritakan soal reaktor nuklir Israel di Dimona itu. Banyak orang yang tak begitu paham apa yang dibicarakan Vanunu. Tapi ada satu yang tertarik: Oscar Guerrero, petualang dari Kolombia dan kadang-kadang juga menjadi penulis.

Guerrero menyadari pentingnya dua rol foto yang dimiliki Vanunu dan mengatakan bahwa itu akan menjadi keberuntungan bagi mereka berdua. Tapi, Vanunu saat itu juga menyadari bahwa jika ia membuka foto reaktor tersebut, itu akan mengakhiri peluangnya untuk kembali ke Israel. Ia juga bisa dianggap sebagai pengkhianat dan musuh negara.

Namun, kata Bar-Zohar, godaan terhadap Vanunu sangat besar untuk mendapatkan manfaat dari foto-foto itu. Namun, upaya keduanya untuk menjajakan foto-foto rahasia itu ke jurnalis Amerika dan Australia tak membuahkan hasil. Keberuntungan datang setelah Guerrero terbang ke London, Inggris, setelah sebelumnya ke Spanyol.

Sunday Times mendengar kisah itu dan melihat potensi berita yang sangat bernilai tinggi dari foto-foto itu. Namun suratkabar Inggris itu berhati-hati karena pernah kepeleset sebelumnya saat membeli apa yang disebut sebagai 'Diary Hitler'. Dokumen yang mereka beli itu ternyata barang tiruan. Mereka pun ingin menguji lebih dulu foto yang dibawa Guerrero itu.

Hanya saja, pada saat yang hampir bersamaan, awak televisi Australia menjalin kontak dengan Kedutaan Besar Israel dan berusaha mengkonfirmasi kabar soal foto-foto Dimona yang ditawarkan kepada mereka oleh orang asing yang berkewarganegaraan Israel itu. Kabar ini juga sampai ke telinga wartawan Israel yang kemudian memberitahu markas besar mereka di Tel Aviv.

Kabar ini bagai petir bagi dinas rahasia Israel. Tak berselang lama, kabar itu segera tiba di kantor perdana Menteri Shimon Peres. Pemerintah lantas memerintahkan untuk mencari Vanunu dan membawanya ke Israel. Saat itu ada yang mengusulkan agar ia dibunuh saja, tapi ide itu ditolak. Perdana menteri lantas menelpon ramsad, sebutan untuk kepala badan intelijen Mossad: Nahum Admoni. Atas perintah itulah Mossad meluncurkan operasi perburuan terhadap Vanunu, yang diberi nama sandi "Kaniuk". Admoni segera mengirim Unit Caesarea Mossad ke Australia untuk mencari Vanunu. Saat tim itu tiba di sana, orang yang dicarinya ternyata sudah tidak ada.

Setelah mewawancari Guerrero, Sunday Times mengirim Peter Hounam, jurnalis andalan dari seksi Insight dari mingguan Inggris itu, ke Australia untuk menemui Vanunu. Usai pertemuan dengan Vanunu, Hounam yakin bahwa cerita soal nuklir Dimona Israel itu benar. Pengujian ilmuwan terhadap foto itu juga mengkonfirmasi bahwa foto itu asli. Vanunu lantas pergi ke Inggris bersama Hounam, sedangkan Guerrero tetap di Australia.

Di London, Vanunu menceritakan semua yang diketahuinya soal nuklir Dimona kepada wartawan Sunday Times. Ia juga memberitahu bahwa Israel mengembangkan bom Neutron. Di tengah pengungkapan itu, ia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa ia akan ditangkap atau dibunuh intel Israel. Wartawan Sunday Times berusaha menenangkannya. Ia diinapkan di sebuah hotel, menugaskan seseorang untuk melayaninya, dan disarankan untuk tak jalan sendirian.

Ketika interogasinya selesai, Sunday Times memberi Vanunu penawaran istimewa: US$ 100.000 untuk cerita dan foto-foto itu, serta royalti 40% atas artikel tersebut dan 25% hak cipta jika jadi buku. Ia juga ditawari bahwa kemungkinan kisah hidupnya difilmkan karena pemilik Sunday Times, Rupert Murdoch, memiliki perusahaan film Twentieth Century Fox. Menurut Bar-Zohar, Sunday Times memberi semua yang dibutuhkan Vanunu kecuali satu: perempuan. Itulah yang diketahui dan dimanfaatkan oleh Mossad.

Pada kurun waktu itu, Sunday Times mengirim wartawan ke Israel dan mencari tahu soal klaim Vanunu itu. Pertanyaan ke sejumlah wartawan Israel ini juga sampai ke telinga Shin Bet. Tak berselang lama, Mossad mengirim agennya ke London. Tim itu dipimpin oleh Wakil Kepala Mossad, Shabtai Savit. Operasinya dipimpin oleh deputi II ramsad yang juga kepala Caesarea, Beni Zeevi.

Dua agen Mossad, yang menyamar sebagai fotografer, berada di sekitar kantor Sunday Times dan memotret pekerjanya yang sedang melakukan pemogokan. Setelah beberapa hari di area itu, sang agen akhirnya melihat Vanunu dan mengikutinya saat di jalanan London. Agen itu lantas menandai tempat-tempat itu.

Pada 24 September, Vanunu muncul di Leicester Square, lokasi favorit yang dikunjungi turis. Saat berada di ekat stand suratkabar, Vanunu melihat perempuan cantik "Yang terlihat seperti Farah Fawcet, bintang dalam acara TV Charlie's Angels."

Vanunu melirik ke arah perempuan cantik berambut pirang, yang saat itu sedang berada di dekat kios suratkabar. Perempuan itu menoleh ke arah Vanunu dan menatap dengan pandangan penuh arti. Pandangan mata keduanya sempat beradu sebelum akhirnya perempuan itu membeli suratkabar dan melangkah ke arah Vanunu.

Saat itu Vanunu sempat akan pergi ke arah lain, tapi kembali ke arah perempuan itu dan menanyakan bolehkah ia ngobrol dengannya. Perempuan itu mengatakan "ya" sambil tersenyum. Keduanya lantas mengobrol. Perempuan itu mengenalkan dirinya sebagai "Cindy", orang Yahudi dari Philadelphia yang sedang berwisata ke Eropa.

"Apakah kamu dari Mossad," tanya Vanunu, setengah bercanda.

"Tidak, tidak," kata perempuan itu. "Tidak. Apa itu Mossad?"

Perempuan itu lantas menanyakan nama.

"George," kata Vanunu. Itu adalah nama yang dipakai Vanunu untuk check-in di hotelnya.

Perempuan itu tersenyum. "Ayolah," kata dia. "Kamu bukan George."

 

Keduanya lantas mengobrol di kafe dan di sanalah Vanunu membuka identitas sebenarnya dan menceritakan soal berita Sunday Times itu. Cindy menyarankan Vanunu untuk pergi ke New York, Amerika Serikat, di mana ia dapat mencari suratkabar dan pengacara yang baik untuk dia.

Soal pertemuan dengan Cindy ini, Vanunu memberi keterangan berbeda. Kepada TV Israel, Channel 2, pada 2 September 2015 lalu, ia mengaku bertemu Cindy di jalan. "Saya sedang menyeberang jalan dan wanita ini sedang menyeberang, dan kami mulai berbicara ... ", kata Vanunu.

Menurut Bar-Zohar, Vanunu tak mendengarkan nasihat Cindy dan sepertinya jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia lantas bertemu Cindy beberapa kali sesudahnya. Keduanya juga terlihat berjalan di taman, bergandengan tangan, dan pergi ke sinema menonton Hannah and Her Sisters, film yang disutradarai oleh Woody Allen.

Keduanya juga menonton acara musik, 42nd Street, berpelukan hangat dan berciuman berulangkali. Cindy memberi Vanunu ciuman termanis tapi menolak untuk diajak tidur dengannya. Ia mengaku tak bisa mengundangnya ke hotelnya karena ia sekamar dengan gadis lain. Tapi ia juga menolak datang ke hotel Vanunu.

Lalu Cindy memberi ide, "Mengapa kamu tidak pergi bersama saya ke Roma? Saudara saya tinggal di sana. Ia punya apartemen, dan kita bisa benar-benar punya waktu yang baik dan kamu akan melupakan semua masalahmu."

Awalnya Vanunu menolak, dan Cindy terlihat tetap dengan rencananya untuk pergi ke Roma dan membeli tiket kelas bisnis. Rayuan Cindy menaklukkannya. Setelah berhasil meyakinkan Vanunu, Cindy juga membelikannya tiket. "Kamu akan membayarnya nanti," kata Cindy.

Pada saat itulah, kata Bar-Zohar, Vanunu masuk dalam "Honey Trap" --istilah di dunia mata-mata untuk teknik merayu agen dengan kekuatan perempuan. Orang-orang Sunday Times sudah memperingatkan Vanunu. Saat mendengar soal Cindy itu, orang Sunday Times sudah memperingatkan untuk tak menemuinya, tapi gagal. Saat diperingatkan untuk tak pergi dari Inggris, Vanunu juga mengabaikannya.

Soal alasan Cindy tak mau tidur dengan Vanunu di London tapi membuka peluang jika di Roma, mungkin terdengar aneh. Tapi, kata Bar-Zohar, alasan sebenarnya adalah karena pertimbangan politis Mossad. Israel merasa tak nyaman dengan Perdana Menteri Margaret Tatcher, yang dijuluki si "perempuan besi" itu.

Penyebabnya adalah terkait sebuah insiden dua bulan sebelumnya. Saat itu otoritas Jerman menemukan 8 paspor palsu Inggris di sebuah telpon umum. Celakanya, identitas dari pemilik paspor palsu itu terkait dengan kedutaan Israel di London. Temuan ini membuat London gusar dan Mossad berjanji tak akan melanggar "wilayah kedaulatan" Inggris lagi.

Dalam suasana seperti itulah mengapa Mossad tak ingin membuat masalah di London dan lebih memilih Roma untuk melancarkan operasinya terhadap Vanunu. Badan intelijen dua negara juga punya hubungan baik. Mossad juga yakin bahwa Italia tak akan bisa membuktikan bahwa Vanunu diculik saat di daerahnya.

Pada 30 September 1986 dua sejoli itu terlihat bergandengan tangan, naik ke penerbangan British Airways 504 menuju Roma. Ketika mereka mendarat pada pukul 9 malam di Italia, keduanya disambut oleh seseorang yang membawa bunga. Tak berselang lama, keduanya naik mobil yang membawanya ke apartemen saudara Cindy. Selama dalam perjalanan itu, Cindy tampak memeluk dan mencium kekasihnya itu.

Mobil yang mengantar keduanya tiba di sebuah rumah kecil, dan seorang gadis terlihat membuka pintu. Vanunu lebih dulu masuk ke rumah itu. Tak berselang lama, pintu di belakangnya itu terdengar ditutup dengan cepat dan tiba-tiba dua laki-laki melompat ke arahnya, menghantamnya dengan keras dan mendorongnya ke lantai. Vanunu lantas tak sadarkan diri.

Beberapa waktu kemudian, Vanunu dibawa dengan sebuah kendaraan ke arah utara negara itu. Untuk mencegahnya terbangun, ia disuntik. Setelah berkendara beberapa jam, mereka tiba di pelabuhan La Spezia. Vanunu lantas diangkut ke speedboat dan dibawa ke lautan bebas. Di sana, sudah menunggu kapal perang Israel --yang kemudian membawanya ke tanah kelahirannya.

Setelah sempat tak terdengar kabarnya selama beberapa bulan, Vanunu akhirnya mulai didakwa karena membocorkan rahasia. 

 

Foto: osnetdaily.com

Ikuti tulisan menarik Abdul Manan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler