x

Iklan

Muhammad Mulyawan Tuankotta

Alumnus salah satu kampus ternama di Indonesia. Penulis aktif untuk isu-isu Ekonomi Indonesia dan Industri Minyak dan Gas. Coloumnist tetap www.selasar.com
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kontrak Alternatif dalam Draft RUU Minyak dan Gas

Saat ini industri migas Indonesia menggunakan kontrak PSC untuk menentukan masing-masing besaran bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di laman Selasar, klik disini

Sebuah berita dari artikel ekonomi bisnis pada salah satu media kabar nasional pada tanggal 12 Agustus 2015 sedikit mengejutkan. Berita tersebut menyebutkan bahwa kontrak royalti dan pajak akan diusulkan untuk dimasukkan dalam draf revisi Undang-Undang Minyak dan Gas (migas) yang saat ini sedang digodok DPR RI bersama Pemerintah Indonesia. Mengapa mengejutkan? Hal ini dikarenakan pembahasan jenis kontrak alternatif tidak banyak diangkat dalam pembicaraan seputar dunia minyak dan gas (migas), atau sebetulnya terlapis sulit untuk dibahas karena pembahasan kontrak lain selain kontrak production sharing contract (PSC) dianggap pembahasan yang tidak biasa.

Saat ini industri migas Indonesia menggunakan kontrak PSC untuk menentukan masing-masing besaran bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor. Selain kontrak PSC, di negara-negara diluar Indonesia, dikenal pula jenis kontrak lain, pada umumnya yaitu kontrak royalti (kontrak karya/konsesi) dan kontrak jasa. Kontrak royalti merupakan kontrak dimana kontraktor migas wajiib membayarkan sejumlah royalti dan pajak sesuai dengan tarif yang diatur pemerintah, kompensasi atas pemenuhan kewajiban tersebut kontraktor akan diberikan izin pengelolaan dan pemilikan sumber daya alam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kontrak PSC di Indonesia dianggap sebagai suatu hal yang sakral. Sejarah pembentukkannya dilatarbelakangi oleh kultur dan budaya Indonesia, yakni pada konsep bagi hasil antara petani penggarap sawah dan pemilik sawah. Presiden Soekarno terinspirasi dari Marhaen, seorang petani penggarap yang memperkenalkannya sistem bagi hasil paron dengan pemilik sawah. Petani bertugas untuk menggarap hasil sawah, hasil tersebut kemudian dibagi antara bagian petani dan bagian pemilik sawah sesuai persentase yang disepakati kedua belah pihak. Dalam kontrak ini, pemerintah berdaulat atas minyaknya yang dihasilkan, sekaligus memperoleh persentase terbesar dalam model kontrak ini.

Indonesia menjadi pelopor kontrak PSC yang kemudian mendorong negara-negara berkembang di dunia untuk mengadopsi model kontrak yang serupa. Lima tahun setelah Indonesia menerapkan PSC generasi pertama (1966), pada tahun 1971 Negara Peru mengadopsi PSC sebagai desain kontrak di industri migas negaranya. Selanjutnya, banyak negara yang memberlakukan kontrak PSC diantaranya adalah Mesir, Malaysia, Suriah, Oman, Angola, Gabon, Libia, Qatar, Cina, Kazakhstan, Aljazair, dan Turmisu.

Sebelum menerapkan kontrak PSC, pada tahun 1960-1966 Indonesia menerapkan kontrak royalti dan pajak. Namun diubah menjadi PSC oleh Ibnu Sutowo (Menteri Minyak dan Gas Indonesia pada kala itu) karena dianggap tidak menguntungkan negara. Pada masa tersebut, dapat dipahami bahwa cadangan migas Indonesia masih relatif melimpah, sehingga perlu ada dorongan untuk memperoleh penerimaan negara yang optimal.

Masa sekarang ini Indonesia memiliki tantangan yang berbeda. Cadangan migas yang semakin berkurang dan masa penggunaannya yang relatif singkat menandakan diperlukan reformasi dalam industri migas. Cadangan terbukti Indonesia terdapat sekitar 3.7 milyar barel, dengan konsumsi 1.6 juta barel/hari dan produksi 880 ribu barel/hari. Tingkat pertumbuhan konsumsi yoy sebesar 1.1%, dan pertumbuhan produksi yang minus 4% pada tahun terakhir (2013). Untuk itu, diperlukan langkah pemerintah yang strategis. Salah satunya adalah meningkatkan insentif bagi kontraktor untuk dapat meningkatkan investasi. Hal tersebut dapat ditempuh dengan merancang kontrak yang lebih balance antara pemerintah dan kontraktor.

Dalam perspektif kontraktor, kontrak royalti dan pajak memberikan ruang fleksibilitas dalam operasional migas. Dengan kata lain, dibandingkan jenis kontrak migas lain di dunia (kontrak PSC, gross split,kontrak jasa), kontrak royalti dan pajak merupakan kontrak yang relatif diminati oleh kontraktor.

Studi kasus Brasil pada tahun awal tahun 1990-an, cadangan migas Brasil sebesar  7,1 milyar barel, dengan kebutuhan konsumsi  sebesar 2 juta barel dan hanya dicukupi  oleh produksi dalam negeri sebesar 860 ribu barel per hari.  Pemerintah Brasil sejak tahun 1971 menerbitkan undang-undang minyak dan gas mengenai pengaturan kerjasama dengan investor dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi dengan menggunakan sistem konsesi.

Pemerintah Brazil percaya bahwa dengan merancang satu model kontrak migas yang dapat mengundang insentif kepada investor, maka cadangan baru akan dapat ditemukan. Hal tersebut benar terjadi pada tahun 2007, kontraktor migas menemukan cadangan minyak dalam jumlah yang besar dan ekonomis di lapangan Tupi, sekitar 250 km lepas pantai Rio de Janeiro. Setelah penemuan tersebut , beberapa lapangan juga ditemukan: Lapangan Lara, Jupiter, Carioca, Bem-Te-Vi, dan Guara. Kesuksesan penemuan cadangan ini mengubah tata kelola migas di Brazil. Pada Bulan Desember 2007, pemerintah membuat peraturan baru dalam rangka menjamin agar negara memperoleh bagian yang lebih proporsional. Bulan Juli 2009, Pemerintah Brasil mengumumkan akan mengubah model kontrak karya menjadi model kontrak PSC.

Peristiwa yang dialami oleh Brazil mengandung pesan yang menarik untuk industri migas dalam negeri. Pemerintah Brasil melihat kondisi riil industri migasnya bahwa cadangan migas di wilayahnya belum banyak ditemukan, sementara eksplorasi penemuan cadangan baru membutuhkan biaya yang besar. Dengan demikian, diperlukan suatu insentif berupa model kontrak migas yang relatif lebih menguntungkan kontraktor.  Setelah “ikan besar” tersebut berhasil ditemukan, posisi tawar pemerintah sebagai pemilik sumber daya alam meningkat. Alhasil, pemerintah memiliki kekuatan untuk mengubah aturan dan kontrak migas dalam rangka memperoleh bagian penerimaan negara yang lebih besar pada waktu ditemukan cadangan migas.

Selanjutnya kajian tentang penerapan kontrak royalti dan pajak tidak harus berputar pada apa berpihak siapa. Saat ini, terdapat dua teknik yang digunakan di beberapa negara di mancanegara untuk dapat mengakomodir kepentingan investor dan kepentingan negara. Pertama adalah merancang model kontrak royalti dengan meningkatkan tarif royalti dan tarif pajak penghasilan. Beberapa negara yang menerapkan hal tersebut yaitu Jerman dengan tarif royalti 40% dari pendapatan kotor, dan tarif pajak penghasilan 29,8% dari pendapatan kena pajak. Venezuela mengenakan tarif royalti 33,33% dan tarif pajak penghasilan  sebesar 50%.  Hal ini berarti bahwa jika Pemerintah Indonesia mengkhawatirkan penerimaan negara yang terlampau berkurang dari satu model kontrak royalti, maka pilihan untuk meningkatkan tarif royalti dan pajak dapat diambil.

Teknik kedua adalah dengan melakukan nasionalisasi terhadap kontraktor-kontraktor migas asing (international oil company). Teknik tersebut dilakukan di Rusia yang juga menerapkan kontrak royalti. Pemerintah Rusia membeli saham kontraktor migas hingga 55% kepemilikan sesuai dengan ketentutan undang-undang yang berlaku di Rusia. Contohnya kontraktor migas Shell yang mengerjakan proyek Sakhalin, kepemilikan saham sebelumnya adalah 60% berkurang menjadi 27% akibat dari kepemilikan saham Pemerintah Rusia hingga 55%. Dengan demikian, peran negara dalam pengawasan kegiatan minyak dapat dilakukan dari kepemilikan sahamnya.

Disamping aspek insentif ekonomis, insentif non ekonomis hal lain yang sama penting. Persoalan non ekonomis yang paling lazim ditemui di Indonesia adalah terkait perizinan lahan. Pengurusan perizinan dengan pihak berwenang bisa berdurasi 2-3 tahun, pun praktik-praktik lapangan seringkali menunjukkan pengurusan perizinan tersebut menimbulkan biaya yang tidak murah. Hal ini dapat memperlambat operasional migas dan memperpanjang umur dari tingkat balik modal suatu proyek dalam proyeksi Keuangan kontraktor migas. Disinsentif bagi kontraktor migas.

Penekanan penting berada pada kemampuan suatu negara untuk meletakkan duduk persoalan dan tantangan industri migas. Kemudian tantangan tersebut harus diturunkan dalam bentuk rencana-rencana yang disusun efektif dan dalam pelaksanaannya berjalan efisien dan terkontrol. Tantangan Indonesia saat ini adalah menurunnya produksi nasional akibat minimnya eksplorasi penemuan cadangan baru. Untuk dapat memberikan semangat investasi di industri migas, perlu apabila dirancang insentif ekonomis (return proyek/kontrak) dan non-ekonomis (aspek legal, izin lahan, stabilitas hukum, dll) yang cukup untuk menggerakkan investor.

M. Mulyawan Tuankotta, S.E

Depok, 18 Agustus 2015

20:54

Ikuti tulisan menarik Muhammad Mulyawan Tuankotta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler