Bukan Pemimpin yang Berisik

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang pemimpin itu harus bisa buat bawahannya senang. Bisa tertawa.

Seorang pemimpin itu harus bisa buat bawahannya senang. Bisa tertawa. Kalimat itu diucapkan Soedarmo, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri. Soedarmo mengatakan itu saat berbincang dengan saya dan beberapa wartawan di ruang kerjanya, di Jakarta, Selasa, 29 September 2015.
 
Kata Soedarmo, memimpin itu adalah seni. Karena itu, diperlukan kiat, cara serta pendekatan. Soedarmo sendiri tak ingin jadi pemimpin yang 'ditakuti' bawahan. Atau bahkan jadi bos yang membuat bawahan mengkeret takut. Tapi ia ingin akrab dengan semua bawahan. Dan, dianggap jadi bagian mereka. " Jangan ada gap bawahan dan atasan," kata dia.
 
Karena itu dialah yang selalu menyesuaikan diri dengan bawahan. Sebab selama ini, bawahan terlalu segan jika berhadapan dengan bosnya. Tak mau di kantornya, tercipta hubungan seperti majikan dan pekerja. Dia ingin semua menganggap sebagai keluarga. 
 
Maka, ia selalu coba melibatkan bawahannya dalam berbagai kegiatan. Ia ajak mereka ngobrol ringan. Terlebih ia baru jadi Dirjen selama 3 bulan. Tentu, diperlukan kiat, agar ia dan bawahan menyatu. 
 
"Saya ajak mereka. Libatkan mereka," katanya. 
 
Kata Soedarmo lagi, bila semua merasa jadi sebuah kesatuan. Merasa jadi sebuah keluarga, akan tercipta ikatan kuat. Dan, saling merasa memiliki. Bila itu sudah terbangun, militansi, disiplin, dedikasi dan loyalitas akan mudah diwujudkan. Semua itu, katanya adalah modal membangun organisasi yang efektif. 
 
"Saya ingin mereka itu mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Dengan memiliki kepercayaan yang tinggi, kreativitas akan banyak lahir," kata Soedarmo.
 
Maka, ia pun coba menciptakan lingkungan kerja yang cair. Ia coba hilangkan level atas dan bawah di kantor. Ia pun ingin, semua bisa tertawa senang. Terbahak bersama. Karena, jika lingkungan kerja, banyak dengan gelak, itu isyarat yang positif. Tertawa adalah baik untuk kesehatan. Banyak senyum adalah ibadah. 
 
"Itu juga obat awet muda. Kan tubuh harus selalu digerakan. Tertawa juga bagian dari menggerakan tubuh, semacam senam mulut," katanya.
 
Bahkan banyak tertawa membuat hati bisa riang. Ia tak mau dipandang pemimpin yang jaga imej. Angker, dan ditakuti. Karena itu ia tak mau, jadi bos yang berisik. Ia mau jadi atasan yang ngempong, jadi teman semua bawahan. 
 
"Tapi ya ada pemimpin yang jaga imej. Kaku. Biar ditakuti," ujarnya.
 
Saya sependapat dengan Pak Soedarmo. Jadi pemimpin yang bisa membuat bawahan tertawa, saya kira itu yang harus dilakukan mereka yang sekarang jadi bos. Karena dengan tertawa bareng, gap itu akan hilang. Semua merasa sejajar. Tanpa menghilangkan rasa saling menghormati. 
 
Bawahan pun, akan merasa dihargai. Bukan kemudian mereka selalu diliputi 'rasa takut' tatkala berhadapan dengan atasan. Saya sepakat,  dengan apa yang diucap Pak Soedarmo, bahwa pemimpin mesti manunggaling dengan bawahan. Bukan kemudian jadi pemimpin yang berisik, kaku serta angker. Sebab itu, justru tak baik buat membangun sebuah lingkungan kerja yang nyaman. Karena untuk tegas, tak perlu dengan berisik, apalagi sampai  ngomel-ngomel. 
 
Padahal Pak Soedarmo itu adalah mantan intel. Bahkan ia bisa dikatakan intel level atas, karena pernah jadi staf ahli di Badan Intelijen Negara (BIN). Seorang Mayor Jenderal pula. Tak hanya itu, Pak Soedarmo juga kenyang dengan kerasnya medan tugas. Sebagai seorang tentara, ia banyak dikirim ke medan konflik. Namun itu tak membuatnya kemudian dia jadi sosok yang angker menakutkan.
 
Tapi bukan berarti Pak Soedarmo tak tegas. Namun tegas dia, terukur. Misal, ketika Ditjennya dapat tugas harus susun RPP, ia menantang bawahannya, menyelesaikan itu dalam dua bulan.
 
"Saya tanya, sanggup di kerjakan dua bulan? Saya yakin, kalian bisa, kalian mampu. Bisa diselesaikan dalam dua bulan?" kata Pak Soedarmo menceritakan kembali perintahnya kepada bawahannya yang kebagian tugas menyusun RPP. 
 
Dan, hasilnya sungguh ajaib, tim yang dipimpin Kepala Bagian Perundang-Undangan Ditjen Polpum, Bahtiar, bekerja penuh dedikasi. Ketika yang lain, yang juga mengerjakan RPP, setahun progresnya baru beberapa persen, tim bentukan Pak Soedarmo, justru sudah menyelesaikan hampir 70 persen. Padahal baru bekerja kurang dari sebulan. Dan memang Pak Soedarmo tak mau jadi pemimpin yang lepas tangan begitu saja setelah melontar perintah. Ia selalu sempatkan waktu, ikut memantau tim yang bekerja. Dan, ikut mengobrol, serta menghibur mereka dengan obrolan-obrolan segarnya, sembari mereguk kopi. 
 
Dia bahkan, orang yang suka ngobrol ngalor ngidul. Bahkan, dia bisa berjam-jam  bercengkrama, dengan siapa pun. Termasuk dengan petugas pengamanan dalam atau Pamdal di kantornya. Mengobrol dengannya tak seperti mengobrol dengan seorang majikan yang kaku.  Tapi, mengobrol dengan Pak Soedarmo, seperti ngobrol dengan kawan yang kenal karib. 
 
Saya juga agak heran. Awal sebelum saya mengobrol, yang ada di bayangan saya, Pak Soedarmo, orangnya kaku, dingin, irit senyum dan misterius. Statusnya sebagai pejabat badan intelijen, membuat saya punya pikiran seperti itu. Ternyata saya keliru. Pak Soedarmo, orang yang hangat. Tak segan melepas tawa tergelak. Dia  juga pintar meracik humor, hingga obrolan berlangsung seru. 
 
Ah, andai semua yang sekarang merasa sedang jadi bos seperti Pak Soedarmo, lingkungan kerja pasti nyaman. Sayang, banyak bos atau pemimpin yang selalu bergaya majikan atau ibu tiri. Bahkan seperti raja. Berisik, banyak ngomel, dan marah-marah. Apalagi sampai menggoblokan orang. Duh, betapa tak enaknya kerja dengan suasana penuh omelan. 
 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler