Sepanjang tahun 2015, terdapat 243 kampus dinonaktifkan operasionalnya. Tak hanya larangan mengadakan aktivitas perkuliahan, melainkan juga menerima mahasiswa baru dan wisuda.
Situasi ini tentu saja membuat prihatin. Bukan soal sistem pendidikan di negeri ini harus segera berbenah. Terutama, yang menjadi kepedulian kita tentu saja para mahasiswa yang dirugikan dan bahkan tak bisa mendapatkan hak-haknya. Terlebih bagi mereka yang semestinya bisa segera merampungkan perkuliahannya.
Para mahasiswa itu, tentu saja berada dalam sisi korban. Sebagai pengguna jasa ia dikelabui habis-habisan. Mereka tak mendapatkan informasi yang benar terkait kondisi perguruan tinggi yang dipilihnya menjadi tempat belajar. Bisa dipastikan tak ada yang akan membela posisinya sebagai korban.
Kalau dasar penonaktifan semata-mata karena persoalan konflik yayasan sebagai pengelola, atau tak menyampaikan pelaporan kepada Kementerian mungkin masih bisa diharapkan perbaikan-perbaikan dengan segera. Termasuk pindah lokasinya Perguruan Tinggi dengan tak menyampaikan pemberitahuan.
Tapi bagi Perguruan Tinggi yang dinonaktifkan karena terkait dengan izin operasional, tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Ini sudah bisa dikategorisasikan sebagai tindakan penipuan. Kejahatan intelektual yang lebih kejam dibandingkan dengan mereka yang melakukan pencopetan di jalan-jalan.
Pasalnya, praktik ini melibatkan para intelektual, bahkan bisa jadi sebagiannya seorang guru besar atau profesor, doctor dan orang-orang dengan gelar akademik lainnya.
Kita melihat, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pantas memberikan dukungan kepada mahasiswa yang kampus tempatnya belajar dinonaktifkan dengan alasan tidak adanya izin operasional.
Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.