x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pilar-pilar

Tahun 632, Rasulullah Muhammad SAW menunaikan ibadah haji terakhir dan berkhotbah menegaskan pilar-pilar Islam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Sungguh, akan tiba waktumu bertemu Tuhanmu, bertanya jawab dengan Tuhanmu, dan mempertanggungjawabkan tiap perbuatanmu. Tidak akan ada yang menanggung kesalahan sebuah tindakan, selain pelakunya. Tidak bapak menanggung dosa anaknya, tidak juga seorang anak menanggung kesesatan orang tuanya.” Pesan pertama pilar utama. Ini tentang tanggung jawab tiap manusia pada tiap tindakan dan berlakunya keadilan.

Kalimat terakhir maksudnya ketika anak-anak telah menjadi dewasa. Tanggung jawab orang tua mendidik dan mengajarkan kebaikan kepada anak-anak. Saat mereka sangat belia dan dalam naungan orang-orang tua, orang-orang tua pun akan ikut bersalah ketika anak lalai dari kebenaran atau kebaikan. Islam menjunjung ikatan. Adalah tanggung jawab bersama menegakkan kebenaran dan kebaikan. Membiarkan sebuah kesalahan, tetap suatu kekeliruan. Bukan berarti menanggung dosa si pelaku, tetapi berdosa jika membiarkan.

“Barang siapa mengemban kepercayaan, tunaikan. Mereka yang dititipi, kembalikan. Aku larang kalian meriba.” Pilar-pilar kedua panduan laku mulia dalam ikatan masyarakat. Kalimat terakhir, khusus soal riba. Berarti masa itu, riba telah berlaku dalam masyarakat tapi jelas tidak dibenarkan, jika pedoman kita pesan-pesan tadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Riba adalah bunga atau segala keuntungan dari harta yang kita pinjamkan atau kita titipkan, kecuali jika sejak mula telah disepakati menjadi modal usaha. Berangkat dari panduan ini, sebagian muslim memilih menyimpan kekayaan mereka di lembaga keuangan yang menjalankan hukum Islam. Ada perbedaan mendasar sepanjang proses meskipun garis besar sistemnya sama, setahu saya.

Di bank-bank Islam, nasabah bukan penyimpan uang, tetapi para pemilik modal. Himpunan dana diniatkan sebagai modal berbagai usaha, sehingga dari awal telah berbeda maksud atau niatnya. Ketika para penanam modal mengambil kembali hartanya, itulah pembagian hasil usaha. Sebenarnya bisa lebih, bisa kurang. Jika usaha yang dijalankan berkembang berarti ada kelebihan dari keuntungan, tapi bisa saja kurang ketika merugi.

Dalam Islam, niat adalah hal penting. Niat membedakan nilai, karena melatari seluruh tindakan. Baik niat, baik juga sebuah amalan, buruk maksud, buruk pula seluruh tindakan. Tiap amal tergantung niatnya dan tiap orang akan mendapatkan sesuai yang diniatkannya (HR. Bukhari).

“Sesungguhnya menumpahkan darah, juga merampas harta sesama, adalah terlarang seperti terlarangnya perang di hari ini, bulan ini, di negeri ini. Ketahuilah, segala kejahiliahan telah kuhapuskan dengan undang-undangku, termasuk tebusan darah,” dua pesan berikutnya. Islam melarang menghilangkan nyawa sesama manusia bahkan untuk menebus sebuah kematian.

Tidak dibenarkan membunuh dengan alasan membalas kematian. Berbeda dalam konteks hukum Islam. Benar dalam syariah tercantum pembunuh dihukum mati, tetapi ini suatu pasal dalam tata hukum Islam yang hakekatnya pencegahan. Hukuman-hukuman dalam syariah sepintas demikian berat, seperti potong tangan, rajam, hukum mati, tetapi dasar penetapannya bertujuan mencegah. Untuk sampai pada keputusan hukum itupun, Islam mengharuskan keadilan, menimbang segala hal termasuk kesaksian, motif, situasi kejadian, sampai kondisi masyarakat. Membunuh untuk menuntut balas sebuah kematian yang dilakukan diluar putusan hakim, jelas dalam pesan tadi, tergolong kejahiliahan.  

Jahil adalah serapan Bahasa Arab, yang berarti kebodohan, ketidaktahuan tanpa usaha mencari tahu, cenderung bebal. Padanannya ignorance dalam Bahasa Inggris. Praktek-praktek jahiliah sering dikecam dan digolongkan paganisme atau kekafiran bahkan, karena Tuhan menuntun tiap manusia mempertanggungjawabkan tiap lakunya berdasarkan ilmu.

Bersamaan dengan tuntutan balas kematian ada soal merampas harta. Merampas harta sesama tidak selalu berarti yang disertai pemaksaan. Mengambil harta orang lain tanpa keikhlasan pemiliknya pun, dari beberapa penjelasan, tergolong perampasan. Termasuk praktik-praktik yang menyebabkan seseorang atau kaum kehilangan kekayaannya tanpa ikhlas. Ini dikecam dan dilarang dalam Islam.

Berikutnya, “Jagalah sikapmu terhadap perempuan. Nikahilah mereka sebagai amanah Tuhan, lakukan dengan aturan-aturan Tuhan, dan sesudah pernikahan kalian memiliki hak atas mereka, mereka juga memiliki hak dari kalian.” Ini menjelaskan bagaimana Islam menempatkan perempuan. Pesan ini disambung kalimat, “Jika mereka membolehkan orang lain menduduki tikarmu, kalian boleh memukul mereka dengan tidak membahayakan.” 

Intinya, jika saya mengartikan, suami dibolehkan menghukum istri yang melanggar ketentuan Tuhan, setelah sang suami melakukan sama, yaitu menunaikan aturan-aturan Tuhan termasuk memenuhi hak-hak perempuan, bersikap baik, dan menempatkan perempuan sebagai amanah atau titipan Tuhan. Bukan semena-mena. Bolehnya penghukuman adalah kalimat teakhir setelah deretan tanggung jawab wajib tunai bagi kaum suami.

Pesan terakhir, “Kuwariskan Al Qur’an sebagai pemandu kalian. Berpegangteguhlah pada nilai-nilai ajarannya, maka kalian akan selamat.”

Tahun 632, pesan-pesan itu mengumandang di Lembah Uranah, Arafah, disampaikan oleh Rasulullah Muhammad SAW, dilantangkan oleh Bilal dan Rabiah, orang-orang pilihan yang bersuara bagus, jernih, dan jelas, dihadapan ratusan ribu muslim yang menunaikan haji. Itu pidato terakhir Rasulullah sebelum wafat beberapa waktu setelahnya. Khotbah terakhir itu berisi pilar-pilar Islam.

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler