x

Petugas medis memasang infus pada pasien Uyung (27), korban tembak pada konflik di Aceh Singkil, saat dirujuk di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin, Banda Aceh, 14 Oktober 2015. ANTARA/Ampelsa

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kemarin Tolikara, Sekarang Aceh Singkil

Kasus di Singkli kata La Ode, bukan mustahil terinspirasi oleh kasus di Tolikara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rabu, 14 Oktober 2015, saya menerima kiriman broadcast dari La Ode Ida. Dia, adalah mantan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam broadcast messenger yang dikirimkan via layanan Blackberry Messenger (BBM), La Ode menyorot tentang peristiwa penyerangan dan pembakaran di Aceh Singkil. 
 
Menurut La Ode, apa yang terjadi di Aceh Singkil, adalah contoh buruk intoleransi yang ditoleransi. Tentu, kata La Ode,  semua harus mengutuk kekerasan yang terjadi di Aceh Singkil.  Kata dia, aksi sekelompok massa yang membakar gereja bertentangan dengan konstitusi, Pancasila, dan nilai-nilai HAM universal. 
 
"Tapi kita tak boleh hanya menyalahkan, melainkan harus instrospeksi atas kebijakan yang berlaku, dan contoh kasus-kasus yang terjadi di daerah lain, dan sekaligus cara penyelesaian masalahnya yang cenderung tak berkeadilan," tulis La Ode dalam pesan BBM-nya.
 
La Ode pun kemudian mengingatkan tentang peristiwa serupa yang terjadi di Tolikara, Papua. Kata dia, kasus di Tolikara masih segar dalam ingatan. Di Tolikara, saat idul fitri,  warga muslim bukan saja dilarang sholat ied tapi fasilitas ekonomi serta rumah ibadah mereka dibakar atau terbakar. Pelakunya dari pihak gereja GIDI tak dikenakan sanksi apapun.  
 
"Kan aneh. Selain itu, ada juga daerah tertentu yang tak membolehkan pendirian masjid untuk tempat ibadah komunal para warga muslim," kata La Ode dalam pesan BBM-nya. 
 
La Ode melihat, pemerintah pusat atau pihak berwajib tak menangani persoalan-persoalan itu secara serius. Tak perlu heran bila kemudian ada  kelompok masyarakat di daerah yang berani melakukan hal yang sama. Kasus di Singkli kata La Ode, bukan mustahil terinspirasi oleh kasus di Tolikara.
 
"Atau ini bentuk pelampiasan dendam atas perasaan saudara semuslim yang dialami di Tolikara atau daerah lain yang melarang pendirian masjid itu," katanya.
 
Maka, dalam konteks ini aparat penegak hukum atau pemangku kebijakan,  mesti berlaku adil dengan mencontoh penyelesaian kasusnya seperti Tolikara. Tapi La Ode sendiri merasa khawatir. Kian hari, potensi ancaman konflik bernuansa SARA terus mengemuka ke permukaan. 
 
"Apalagi jika kemudian perekonomian kita makin dikuasai oleh pemilik modal bukan asli nusantara ini, maka konfliknya akan berpotensi menyatu antara kebencian terhadap penganut agama dengan kebencian terhadap etnis pendatang yang menguasai ekonomi serta terus mengurus sumber daya alam di negeri ini," tuturnya.
 
La Ode minta, pemerintah harus duduk secara khusus membicarakan potensi masalah ini. Jika tidak, sekali lagi, ini bakal  jadi bom waktu yang siap meledak.  
 
"Itu semua merupakan bagian potensi yang akan membuat warga bangsa ini ke depan terbelah. Ini yang lebih berbahaya," kata La Ode. 
 
 
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler