x

Iklan

yswitopr

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dilema Pendirian Gereja: Belajar dari Singkil

Dengan pertambahan jumlah jemaat, mungkinkah mempertahankan perjanjian yang telah dibuat: di wilayah Singkil hanya boleh ada 1 gereja dan 4 undung-undung?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masjid dan gereja berdampingan di Banda Aceh

Ketika membaca kisah tragedi yang terjadi di Singkil Aceh, ada duka yang demikian dalam. Ada gereja Kristen dan gereja Katolik yang dibakar oleh sekelompok massa. Kini, ribuan masyarakat yang telah mengungsi. Hingga saya menulis ini, diperkiraan telah lebih dari 6.000 orang mengungsi. Kiranya tidak cukup kita hanya mengutuk dan mencari siapa yang benar atau siapa yang salah. Dengan memetakan persoalan, benang kusut persoalan di Singkil akan mampu terurai sedikit demi sedikit.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tragedi Singkil dari Tahun ke Tahun

Tragedi Singkil, ternyata bukan hanya kali ini terjadi. Tragedi Singkil memiliki sejarah panjang.

Pada tahun 1979 telah muncul benih persoalan. Diawali dengan permintaan Gubernur Teungku Daud Beureu'eh untuk menutup gereja-gereja yang saat itu ada dan tidak memiliki izin. Permintaan ini terjadi sebelum tahun 1979. Permintaan Gubernur inilah yang kemudian menimbulkan persoalan dan berakhir dengan perjanjian damai. Dalam perjanjian damai tersebut disebutkan mengenai berapa banyak gereja yang boleh berdiri di Singkil: 1 gereja dan 4 undung-undung.

Rupanya, perjanjian damai itu tidak ditindaklanjuti dengan baik. Gereja-gereja terus bertambah jumlahnya. Akibatnya, perjanjian damai itu kembali ditegaskan pada tahun 2001. Gereja yang berizin hanya 1 unit di Kuta Kerangan, sementara undung-undung 4 unit, masing-masing di Gampong Keras, Gampong Napagaluh, Gampong Suka Makmur, dan Gampong Lae Gecih. Selain itu harus dibongkar. Karena perjanjian ini pun tidak mendapat perhatian, kejadian kembali terulang pada tahun 2012.

Akhirnya, Senin, 13 Oktober 2015 terjadilah tragedi berdarah. Sekelompok massa yang tidak puas dengan hasil kesepakatan melakukan aksi sendiri untuk membongkar tempat ibadah yang tidak berizin. Bukan hanya bangunan yang dibakar. Nyawa pun melayang.

 

Jemaat Kristen dan Katolik di Singkil

Dalam banyak berita, kita mendapatkan informasi bahwa gereja yang memiliki izin tidak pernah mendapat ancaman. Yang menjadi persoalan adalah munculnya gereja-gereja yang tidak berizin. Diduga, semakin hari gereja di Singkil semakin bertambah. Kok bisa?

Istilah gereja melekat pada agama Kristen dan Katolik. Maka sudah bisa dipastikan pertumbuhan jumlah gereja di Singkil berkaitan dengan jemaat Kristen atau Katolik. Dari manakah jemaat itu berasal?

Mengingat letak geografis Singkil, jemaat Kristen atau Katolik yang ada di Singkil kebanyakan terdiri dari para pendatang berasal dari wilayah Sumatra Utara, khususnya wilayah Pak-pak. Mereka sebagian besar datang ke Singkil untuk bekerja di perkebunan-perkebunan di wilayah Singkil.

Karakteristik pekerja pendatang ini perlu dibaca dengan seksama. Sejauh saya mengamati, para pendatang merantau ke daerah dengan berbagai cara; ada yang bersama-sama secara berkelompok, ada juga yang sendirian. Umumnya, salah satu anggota keluarga merantau ke daerah lain setelah ada pionir di daerah tujuan itu. Setelah sekian lama, barulah anggota keluarga lain diboyong ke tempat baru tersebut.

Dengan karakteristik seperti itu, tidak mengherankan jika terjadi pertambahan penduduk di daerah Singkil. Selain karena faktor kelahiran, pertambahan pendatang ini pula yang mengakibatkan pertambahan jemaat Kristen atau Katolik. Dengan pertambahan jumlah jemaat ini, mungkinkah mempertahankan perjanjian yang telah dibuat: di wilayah Singkil hanya boleh ada 1 gereja dan 4 undung-undung?

 rumah atau gereja?

Gereja di Singkil

Jika jumlah pengungsi dari Aceh Singkil mencapai angka sekitar 6.000 orang, katakanlah 5.000-nya beragama Kristen dan Katolik, maka tempat ibadah yang diizinkan itu harus menampung 1.000 orang per tempat ibadah. Seberapa besar tempat ibadah yang memiliki ijin tersebut?

Dari data yang ada, gereja terbanyak yang tidak memiliki ijin adalah gereja Kristen dari berbagai denominasi. Meskipun jumlah umatnya sedikit, tetapi mereka tetap survive. Ada juga gereja Katolik yang masuk dalam daftar tidak berizin. Berada pada posisi berbeda, Katolik berdiri sebagai agama sendiri. Umumnya, masyarakat di sini tidak begitu peduli dengan istilah Kristen atau Katolik. Semua dianggap sama: Kristen. Padahal, meski sama-sama Kristen, mereka terdiri dari berbagai denominasi yang memiliki karakteristik masing-masing. 

***

Alasan yang sering mengemuka saat protes penutupan gereja adalah jumlahnya yang banyak. Titik dan tidak ada penjelasan lebih lanjut. Demikian mudah dan sederhanakah berbicara soal gereja? Berbicara soal gereja itu demikian rumit karena berkaitan dengan masing-masing denominasi yang ada.

Mudahnya begini. Ada 500 jemaat Kristen yang terdiri dari 5 denominasi. Apakah cukup satu gereja untuk mereka? Tidak. Sebab masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Jika ada 5 denominasi, ya dibutuhkan 5 gereja (atau undung-undung). Ini baru berbicara soal jumlah, belum dikaitkan dengan wilayah sebarannya. Katakanlah ada 100 jemaat Kristen dari denominasi A. Jumlah itu tersebar di dua lokasi yang berbeda dengan jarak yang jauh. Cukupkah mereka memiliki satu gereja? Jika Anda menjawab ya, mungkin ada perlu melihat kondisi medan di daerah perkebunan.

kondisi jalan di tengah kebun sawit

Konteks inilah yang harus diperhatikan oleh Pemerintah sehingga tidak muncul undang-undang atau peraturan yang bias, utamanya berkaitan dengan rumah ibadah. Ketika di satu sisi, negara menjamin kebebasan beragama, di sisi lain negara membatasi warganya untuk memiliki tempat layak untuk beribadat. Di manakah mereka ini akan beribadah ketika mereka terhalang oleh peraturan? Sementara beribadat dari rumah ke rumah pun terhalang oleh oleh peraturan: penyalahgunaan fungsi rumah menjadi tempat ibadah.

Revisi atau penghapusan undang-undang atau peraturan yang diskriminatif kiranya dapat menjadi sebuah solusi sehingga tragedi Singkil tidak terulang lagi di tempat lain. Ini bukan soal minoritas atau mayoritas, tetapi ini semua demi mewujudkan Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Ikuti tulisan menarik yswitopr lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu