x

Iklan

Miftahul Yani Yani

Lahir dan besar di Magenda Dompu - NTB, senang menulis apapun secara bebas. Email : miftahulyani@gmail.com. Hp. 087866921180
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pembunuh Baru Itu Bernama 'ASAP'

Sudah banyak korban jiwa berjatuhan disebabkan oleh pekatnya asap. Kebakaran lahan dan hutan adalah malapetaka saat ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#SalamASAP;

Indonesia “DARURAT ASAP”, itulah pernyataan yang pantas untuk membuka mata dan pikiran rakyat Indonesia dimanapun berada, terlebih bagi para pengambil kebijakan, baik pusat maupun di daerah.

Tidaklah berlebihan jika darurat asap disematkan karena keadaan hari ini menunjukkan bahwa asap makin mengepul kemudian menggila sehingga berakibat korban berjatuhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kobaran api sudah terdeteksi jauh sebelum asap merenggut nyawa tak berdosa. Bahkan asap yang makin pekat tersebut adalah buah dari kebakaran lahan dan hutan yang kerap terjadi selama ini.

#SiapaPemilikASAP?

Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran tersebut, diantaranya faktor bencana alam, persaingan bisnis, politik birokrasi, regulasi tentang pengelolaan lahan dan hutan, dan kepekaan pemerintah.

Faktor bencana alam adalah faktor alamiah yang hanya sedikit dapat terdeteksi, namun dengan pengalaman yang sudah-sudah, bisa memberikan signal bahwa bencana kebakaran akan terjadi sesuai dengan waktu musim di Indonesia.

Kemudian titik lain yang disinyalir menjadi malapetaka kebakaran lahan dan hutan yaitu masalah persaingan bisnis. Pengelolaan lahan dan hutan selama ini dikelola langsung oleh pihak ketiga yaitu perusahaan. Perusahaan ketika melakukan investasi yang dicari adalah keuntungan. Berbagai macam cara dilakukan untuk memperoleh keuntungan tersebut. Selain keuntungan, perusahaan harus tetap survive untuk menjaga stabilitas operasional dan menambah keuntungan yang dituju. Dalam operasionalnya, perusahaan pasti memiliki pesaing dan musuh. Pesaing adalah perusahaan lain yang juga mengelola lahan dan hutan lainnya, sementara musuh adalah perusahaan baru yang ingin berinvestasi di lahan tersebut namun belum mendapatkan ijin. Kebakaran yang terjadi adalah sebuah sabotase (prediksi).

Selain faktor yang disebutkan diatas, politik birokrasi yaitu salah satu penyumbang terjadinya kebakaran yang lebih hebat. Para pengambil kebijakan sangat sibuk dengan rakor yang sering dan berkepanjangan, kemudian ketat administrasi yang pada akhirnya lamban mengambil keputusan, ditambah lagi kalau keputusan tersebut kurang tepat.

Desentralisasi kewenangan pengelolaan kawasan, lahan dan hutan adalah pintu kesewenang-wenangan daerah dalam memberikan ijin, dan hal demikian menjadi bara mencekam pekatnya asap mematikan yang sedang terjadi. Kepentingan kepala daerah akan hal itu sangat besar hanya untuk mengisi pundi-pundi pribadi dengan modus income daerah, padahal yang tersembunyi lebih dahsyat dari pada yang terlihat dalam praktek pemberian ijin. Ijin bisa dikatakan dikomersilkan hanya karena nafsu keserakahan.   

#JurusAlaJKW-JK

Apa yang sebenarnya ada dalam benak pemerintah ketika menghadapi kebakaran yang muncul lalu tidak cepat mengambil tindakan? Apakah pemerintah menunggu dulu kebakaran yang lebih hebat? Atau terlalu sibuk dengan seabrek masalah di negeri ini? Kelaziman akan problematika selama ini adalah pemerintah lebih kepada penanggulangan pasca kejadian ketimbang mencegah yang lebih besar dengan pendeteksian dini.

Dari kejadian saat ini, pemerintah sudah berbuat, walaupun korban jiwa terus berjatuhan. Artinya apa yang telah diperbuat oleh pemerintah belum cukup maksimal baik dari segi anggaran, peralatan, kepekaan, maupun kehati-hatian yang berlebihan.  Walaupun demikian, hasilnya beberapa perusahaan dan ratusan orang sudah ditetapkan jadi tersangka dan dicabut ijin operasionalnya.

Dalam aspek hukum, Mabes Polri sedang bekerja tinggal menunggu bagaimana perkembangannya dan endingnya seperti apa dan menuntut keterbukaan. Bukan tidak mungkin intervensi terhadap proses hukum yang berjalan akan terjadi karena kekuatan modal bisa mengendalikan kekuasaan dan politik. Kecurigaan itu menjadi dasar untuk dilakukannya pengawalan oleh masyarakat terhadap proses hukum yang tengah berjalan.

Sementara dari aspek administrasi perijinan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sudah mencabut beberapa ijin perusahaan sebagai sanksi keras terhadap merekay nag terbukti sengaja atau lalai melakukan pembakaran. Namun, Menteri LHK harus jujur, berani dan terbuka kepada publik perusahaan siapa saja yang terlibat dalam kebakaran terjadi, karena dikhawatirkan Menteri Siti Nurbaya mendapat tekanan-tekanan politik dari yang merasa dirugikan atas sanksi tersebut melalui tangan-tangan gaib.    

Selain upaya-upaya diatas, pengerahan pasukan dan armada untuk memadamkan kobaran api masih terus dilakukan. Pemerintah tidak kehilangan akal untuk segera memadamkan api.

#JKW,KapanItuBencanaNasional?

Dari pemberitaan selama ini, sudah banyak korban berjatuhan akibat kebakaran yang melahirkan kepulan asap. Namun, sayangnya kenapa pemerintah tidak menetapkan kebakaran lahan dan hutan saat ini sebagai bencana nasional. Apakah pemerintah harus menunggu korban jiwa yang lebih besar baru sadar menetapkan sebagai bencana? Atau pemerintah terlalu enteng? Padahal yang harus dipikirkan adalah korban yang terus berjatuhan, karena apapun itu, binatang saja yang jadi korban, sejatinya kita memiliki rasa simpati dan kepedulian yang sangat, apalagi manusia yang telah banyak meninggal dan terserang Inspeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Salah satu syarat mutlak suatu bencana baru bisa ditetapkan sebagai bencana nasional yakni jika daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) sudah tidak mampu berbuat untuk menangani bencana tersebut, hal itu sebagaimana pernyataan resmi Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian Sosial, Andi Zaenal Abidin Dulung, kepada Tempo pada, Jumat, 18 Desember 2014, dilansir dalam http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/20/173629816/ini-syarat-bencana-dikatakan-bencana-nasional.

Jika melihat fakta dilapangan, jangankan pemerintah daerah, pemerintah pusat saja kelihatan sedikit kewalahan menangani bencana asap ini, hal itu terbukti dengan dimintanya bantuan kepada negara lain untuk membantu pemadaman api. Artinya, keadaan saat ini sudah memenuhi standar untuk ditetapkannya bencana kebakaran dan asap sebagai bencana nasional. Pertanyaannya adalah apakah pemerintah menjaga image dimata dunia sehingga Presiden Jokowi (JKW) malu atau tidak rela menetapkannya sebagai bencana nasional.

#ApakahKorbanBelumCukup?

Korban jiwa terus berjatuhan baik ISPA maupun meninggal dunia. Berbagai media nasional dan lokal rata-rata merilis korban terus bertambah seperti dalam pemberitaan http://news.liputan6.com/read/2335095/kabut-asap-riau-bikin-pernapasan-61017-jiwa-terganggu,  http://www.riausatu.com/read-6-8764-2015-10-21-kabut-asap-kian-menjadi-jumlah-korban-dekati-angka-80000-jiwa.html, http://suarapemred.co.id/korban-dampak-kabut-asap-di-kalbar-terlupakan/http://www.beritametro.co.id/nasional/asap-sudah-merenggut-10-nyawa-ratusan-ribu-terserang-ispa, dan http://www.sipayo.com/2015/10/akibat-asap-425-ribu-jiwa-terkena-ispa-di-7-provinsi.html.

Akibat kabut asap yang sangat pekat, bukan saja masyarakat kita yang terkena dampak atau menjadi korban. Negara tetangga seperti Malaisya, Singapuran dan Thailand harus rela diselimuti dan disiksa oleh asap. Akhir dari itu semua, Indonesia terpojok dimata negara lain, dan dianggap kurang mampu menanggulanginya. Syukur saja tidak dituduh yang macam-macam.

Siapapun kita, dan dimanapun kita berada, secara tidak langsung semuanya turut merasakan dahsyatnya kepulan asap yang telah membunuh secara perlahan. Yang jauh dari kepulan asap hanya bisa berdoA agar pembunuh tersebut tidak menghampirinya, dan mendoAkan agar yang meninggal dunia tenang disisi-Nya, seraya ikut bersedih dan menanamkan rasa simpati yang besar akan bencana yang dialami oleh saudaranya.

Ikuti tulisan menarik Miftahul Yani Yani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler