x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Haruskah Konflik Dihindari?

Konflik bukan dihindari tapi dikelola agar tidak memperburuk kinerja organisasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"You never want conflict. But sometimes conflict is inevitable."
--Richard Seymour (Atlet)
 
 

Konflik adalah bagian dari kehidupan—dalam skala apapun, kita pernah mengalaminya. Di dalam rumah, hidup bertetangga, hingga di tempat kerja. Dan di tempat kerjalah, Anda mungkin kerap merasakan gesekan: dengan teman satu tim, pengawas, manajer, pemasok, maupun dengan karyawan bagian lain.

Apakah konflik harus dihindari? Apakah sebuah tim harus selalu harmonis?

Rasanya sukar bagi tim manapun untuk selalu harmonis tanpa gesekan. Beda kepala, beda pandangan. Banyak orang lantas berpendapat bahwa konflik itu buruk. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa konflik itu disfungsional, artinya menggerogoti fungsi-fungsi yang mestinya berjalan dalam suatu organisasi. Gara-gara konflik antara manajer dan staf senior, kerjasama di dalam tim lantas terganggu; sebagian anggota tim berpihak pada manajer, yang lainnya berkubu pada staf senior.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang ada benarnya bahwa konflik itu buruk, sepanjang konflik itu berkaitan dengan urusan pribadi atau terbawa-bawa hingga wilayah hubungan interpersonal. Misalnya saja, seorang manajer tersinggung lantaran merasa dihina oleh manajer lain dalam suatu rapat, dan persinggungan ini berbuntut pada memburuknya kerjasama di antara tim-tim yang mereka pimpin. Sinergi tidak akan terbentuk dan pada gilirannya ini berdampak negatif bagi organisasi.

Namun begitu, haruskah kemudian konflik dihindari? Bila konflik dihindari dan bukan dikelola, kondisinya justru akan bertambah buruk. Sebutlah di antaranya komunikasi semakin tidak lancar, kerjasama tim kian menurun, produktivitas berkurang, kualitas produk dan jasa merosot, pelanggan dirugikan, dan brand value melemah—yang berakibat pelanggan mencari merek pengganti.

Konflik dapat menjadi konstruktif bila dikelola dengan baik, antara lain tidak terbawa ke wilayah personal. Misalnya saja, ketika sebuah tim hendak merumuskan strategi penjualan, masing-masing anggota menyodorkan alternatif dengan penuh semangat. Konflik yang berlangsung pada tataran ide dan pikiran akan mempertajam usulan-usulan yang diajukan. Strategi yang diputuskan boleh jadi hasil perpaduan beberapa gagasan, tapi bisa pula penajaman dan pengayaan satu atau dua usulan. Konflik, dalam konteks ini, memperbaiki kualitas keputusan mengenai strategi yang hendak dijalankan.

Konflik yang konstruktif membuka kemungkinan bagi siapapun untuk secara leluasa menyampaikan pikirannya tanpa dicekam rasa takut bahwa pertentangan pendapat itu akan terbawa ke hubungan interpersonal. Organisasi yang membangun kultur konflik yang positif akan mendorong karyawannya untuk melahirkan gagasan yang kreatif. Karyawan akan merasa mendapat tempat untuk menjernihkan suatu persoalan dan memperkaya gagasan. Dalam konteks ini, menyampaikan visi secara jelas merupakan cara yang ampuh untuk menemukan jalan keluar dari perbedaan.

Toleransi terhadap konflik berpotensi bagus bagi organisasi untuk menciptakan lingkungan yang terbuka bagi evaluasi diri. Perubahan demi perbaikan dapat dilakukan. Rapat yang cenderung diisi pandangan yang seirama biasanya tidak mampu menghasilkan keputusan yang bagus. Melalui pertarungan gagasan, ketajaman pandangan seseorang diasah. Konflik juga menghalangi terselenggaranya rapat hanya sebagai formalitas untuk pengambilan keputusan.

Bagi manajer yang konservatif, konflik itu tidak mengenakkan sebab mengganggu atau malah menantang status quo. Mereka umumnya tidak suka kelaziman yang sudah berjalan dipertanyakan. Celakanya, manajer tipe ini kerap membawa perbedaan pandangan atas suatu persoalan ke ranah pribadi. Bila ini terjadi, konflik menjadi disfungsional.

Sebaliknya, manajer yang terbuka akan mempersilakan perdebatan berlangsung hingga tiba saatnya suatu keputusan mesti diambil. Di saat itulah, semua orang mesti mematuhinya. Keputusan yang diambil dengan cara seperti ini niscaya akan lebih kreatif dan manjur dalam menyelesaikan suatu isu. Dukungan atas keputusan itu pun akan relatif lebih mudah diperoleh karena banyak pihak merasa ikut berkontribusi dalam mengambil keputusan.

Pendeknya, kita tidak perlu mencari konflik dengan orang lain, tapi kita juga tidak perlu takut menghadapi konflik apabila itu terjadi. Konflik bukan dihindari, tapi dikelola. (sumber foto: conflictdynamics.org) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler