x

Iklan

Ronggo Warsito

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Guru Bukan Politisi, Apa kabar PGRI?

Tali kekang yang membelenggu guru mulai terbuka ketika memasuki era Refomasi. Setiap guru bebas menentukan pilihan politiknya masing-masing.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti kita maklumi, selama Orde Baru guru kerap terseret dalam arus politisasi. Saat itu, organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) getol memobilisasi guru agar sepenuhnya memberi dukungan suara pada satu partai yang memihak pemerintah, yaitu -Golongan Karya atau Golkar, dalam setiap perhelatan akbar pemilihan umum. Dalam kurun waktu sekitar tiga dasawarsa kekuasaan Orde Baru, guru merupakan objek bangsa yang terjepit oleh ketentuan monoloyalitas partai Golkar. Politisasi itu berdampak buruk pada dunia pendidikan.

Tali kekang yang membelenggu guru mulai terbuka ketika memasuki era Refomasi. Setiap guru bebas menentukan pilihan politiknya masing-masing. Kalangan guru pun mulai berani menggebrak dengan serangkaian protes. Seolah tak mau kalah dengan aktivis mahasiswa dan buruh yang kerap berunjuk rasa. Beberapa kali guru honorer berunjuk rasa mempersoalkan eksistensi mereka. Beberapa kali pula terjadi aksi protes menyangkut nasib guru.

Namun, satu hal yang patut dicatat. Politisasi guru sesungguhnya belum berakhir. Misalnya, ketika terjadi desentralisasi politik atau sejak otonomi daerah, politisasi guru justru berada dalam fase kian serius. Terlebih otonomi daerah dilengkapi dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Lagi-lagi, guru terjebak dalam lingkara politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sulit dimungkiri, dalam tiap masa guru selalu jadi objek politik. Maklum saja, keberadaan mereka memang menggiurkan politisi. Selain kemampuan berkomunikasi dan memiliki murid yang sebagian di antaranya juga merupakan pemilih pemula, komunitas guru cenderung homogen. Di luar itu, tentu saja jumlah guru jadi perhatian tersendiri. Saat ini saja, misalnya, jumlah guru terhitung 3 juta orang. Jumlah sebanyak itu potensial untuk dijadikan modal perubahan sosial dan politik.

Upaya pemanfaatan guru biasanya dilakukan lewat elit-elit organisasi guru yang berkolaborasi dengan tim sukses calon kepala daerah. Bunga yang dijual adalah janji untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Politisasi ini bisa memicu situasi yang kontraproduktif atau menjadi arus balik: guruberadaptasi dengan aksi yang tak relevan dengan dunia pendidikan. Guru nampak lihai menuntut materi, tapi lupa meningkatkan kualitas. Guru menjelma menjadi kelompok penekan yang mementingkan urusan sendiri, sementara kontribusinya bagi kemajuan ilmu pengetahuan tidak seberapa.

Dalam kondisi ini, keberadaan organisasi atau asosiasi profesi guru patut dipertanyakan. Jangan sampai wadah bagi guru itu hanya sibuk dengan acara seremonial, tidak menjembatani apalagi memperjuangkan kebutuhan guru sebagai pendidik.Jangan sampai pula, guru aktif dalam organisasinya sekadar untuk batu loncatan mencari jabatan atau pendapatan lebih tinggi. Guru tak boleh diam ketika korpsnya menghadapi kesulitan.

Guru perlu mengkritik pemerintah. Namun, kritik itu harus konstruktif dan disertai dengan rasa tanggung jawab. Artinya, guru harus turut berperan aktif bersama pemerintah mencari solusi atas setiap permasalahan bagi para pendidik. Sudah bukan saatnya lagi organisasi guru memilih jalan populis yang mengakomodir kepentingan pengurusnya saja. Organisasi guru harus memberikan manfaat nyata bagi anggotanya.

Sebagai warga negara, guru memiliki hak untuk berpolitik. Hanya, mesti disadari bahwa tugas utama guru adalah mendidik, dan bukan berpolitik. Sebagaimana diamanatkan Pasal 1 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru dianggap profesional yang bertugas mendidik, mengajar membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Jika ingin memajukan pendidikan nasional, maka kuncinya: guru harus fokus menjalankan peran sebagai pendidik. Memang, guru bukanlah satu-satunya kunci keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Namun, menimbang pentingnya posisi guru dalam dunia pendidikan memaksa para pelaku profesi ini untuk berkualitas atau mumpuni. Guru harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik seperti yang diamanatkan Pasal 8 Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Di sinilah peran asosiasi profesi dibutuhkan. Pasal 41 ayat 2UU Nomor 14 Tahun 2005 menyatakan, organisasi profesi guru berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. Dus, jangan main-main jadi guru! ***

Ikuti tulisan menarik Ronggo Warsito lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu