x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Konteks Bahasa dan Identitas Indonesia

Identitas bisa digeser dengan mendorong pergantian bahasa. Ini sebuah teori ilmiah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Swiss, Jerman, Skandinavia, Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Italia, Spanyol, Yunani, Arab, Cina, dan Jepang, sementara Indonesia diperkirakan ada diantara Arab dan Cina, adalah urutan. Menurut Antropolog Edward T. Hall dan ilmuwan lintas disiplin ilmu sosial (sejarah, budaya, bahasa, dan komunikasi), L Robert Kohls, demikianlah jenjang konteks budaya bangsa-bangsa dari terendah sampai tertinggi. Konteks budaya ditandai konteks komunikasi, yang gampang dikenali dari konteks bahasa. Maksudnya, bangsa berkonteks budaya tinggi adalah para pemakai bahasa konteks tinggi. Indonesia salah satunya.

Komunikasi konteks tinggi yang terbangun dari bahasa konteks tinggi sangat khas. Komunikasi konteks tinggi cenderung implisit, tersembunyi, atau tidak langsung. Pesan utama jarang tersampaikan dalam rangkaian kata yang terucap, malah sering terpapar dalam lambang seperti raut wajah, nada bicara, gerak bola mata, gerak anggota tubuh, dan sebagainya. Pernyataan verbal bisa berbeda dan bahkan bertentangan dengan pesan nonverbalnya. Maka, anggota budaya konteks tinggi lebih terampil membaca lingkungan karena terbiasa benar membaca perilaku nonverbal. Demikianlah aslinya bangsa kita.

Contoh komunikasi konteks tinggi adalah komunikasi antar saudara kembar dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek atau kata-kata singkat. Sering saudara kembar mudah saling memahami satu sama lain, bisa merasakan yang tengah dialami atau diderita kembarannya, karena model komunikasi mereka konteks tinggi, yang memakai bahasa konteks tinggi. Sifat komunikasi konteks tinggi tahan lama, lamban berubah, dan mengikat anggota atau kelompok yang menggunakannya. Secara ilmiah, itulah Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Proses pernikahan bisa menjadi contoh mudah menurut saya. Kebanyakan orang Indonesia menganggap pernikahan adalah persatuan dua keluarga tercermin tahap prosesnya yang acap melibatkan keluarga-keluarga. Indonesia punya banyak budaya pelibatan keluarga besar dalam pengambilan keputusan, misalnya pernikahan, yang sedianya bukan seremonial. Lamaranpun, adalah pertemuan dua keluarga besar yang belum saling tahu akan bersatu atau tidakkah mereka, dulunya, meskipun semakin lama ini bergeser menjadi sekedar perayaan.

Jauh berbeda dengan budaya negara-negara Barat, yang hasil penelitian Hall dan Kohls adalah pelaku budaya konteks rendah. Pernikahan utuh ditentukan tanya jawab, “Whould you marry me?” antara dua individu saja, yang meski ada pertemuan dua keluarga berikutnya, sekedar seremoni bahkan tidak seintim di Indonesia, menurut saya.  

Budaya konteks rendah berarti pemakai bahasa konteks rendah. Bahasa konteks rendah memiliki lebih banyak pilihan kata karena diperlukan dalam tiap ekspresi. ‘They say what they mean, they mean what they say’ tulis dua ilmuwan tadi berkesimpulan tentang  bahasa-bahasa dari barat. Budaya konteks rendah ditandai komunikasi konteks rendah, yang memakai bahasa konteks rendah, dengan ciri khas pesan verbal, eksplisit (langsung tampak), gaya bicara langsung, lugas, dan berterus terang.

Sebagai ilustrasi, kalau orang Indonesia mengatakan “Ya” belum tentu berarti menerima atau setuju. Melainkan “Saya mengerti”, “Saya tahu”, bahkan “Saya tidak setuju”. Jawaban “besok” atau “Insya Allah” bukan berarti orang yang mengucapkan akan melakukan apa yang diminta, melainkan “Bagaimana nanti” atau “Saya tidak akan melakukannya”. Contoh lain, ketika orang Indonesia diajak makan ketika bertamu, mereka akan menjawab “Aduh, sudah tadi” atau “Terima kasih, masih kenyang”. Sementara perutnya keroncongan, dalam hati berharap tuan rumah mengajaknya lagi dan lagi, hingga akhirnya, apa boleh buat, ia makan juga. Contoh lain, kembali lagi ke rangkaian pernikahan dalam acara meminang atau lamaran, biasanya calon mempelai wanita tidak akan menjawab pertanyaan bapaknya, “Bagaimana, lamaran si Mas diterima apa enggak?” dengan eksplisit. Boleh jadi calon mempelai wanita akan diam seribu bahasa, atau malah menitikkan air mata. Kita tidak usah ngotot menuntut jawaban verbal. Cukup kita menyimpulkan si putri menerima lamaran calon suaminya dengan bahagia.

Sebenarnya, meskipun umumnya orang Timur, termasuk Indonesia, cenderung berkomunikasi konteks tinggi, tidak berarti seluruh peduduk Indonesia berkomunikasi konteks tinggi. Beberapa sub budaya atau suku atau kelompok masyarakat, misalnya beberapa kelas menengah perkotaan, pengacara, dan politisi, menunjukkan komunikasi konteks rendah yang lumayan. Namun secara umum, komunikasi kita termasuk komunikasi konteks tinggi, menurut Hall dan Kohls, era penelitian mereka dilakukan.

Hari ini, apa teori urutan bangsa berbudaya konteks rendah ke tinggi, yang menempatkan Indonesia di golongan tinggi, masih relevan? Silahkan dinilai. Pergeseran konteks budaya dapat dibentuk dari pengikisan atau pembatasan bahasa asli, seperti bahasa nasional dan bahasa daerah, kesimpulan saya. Atau penggeseran budaya yang identitas itu, bisa dilakukan dengan sebuah sistem yang terus mengikis atau mengurangi pemakaian bahasa asli, menurut saya. Sepakat? Bagaimana hari ini? Apa Indonesia masih Indonesia?

 

Sumber : Deddy Mulyana MA, Ph.D : Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar

Sumber foto : www.telegraph.co.uk

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler