x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Punya Teknologi Digital tak Berarti Sudah Berpikir Digital

Sesungguhnya kita belum mencapai jenjang ‘berpikir digital’ manakala peranti itu menjadi sekedar bagian dari gaya hidup.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
"There is always an opportunity to make a difference."
--Michael Dell

 

Barangkali kita merasa sudah maju karena telah memakai beragam peranti digital, mulai dari smartphone, laptop, hingga menggunakan analitik untuk menjawab persoalan, dan seterusnya. Tapi sesungguhnya kita belum mencapai jenjang ‘berpikir digital’ manakala peranti itu menjadi sekedar bagian dari gaya hidup.

Berpikir digital seyogyanya dimulai dari pemahaman bahwa dunia sekeliling kita ini sudah berubah: beragam peranti digital terkoneksi, begitu pula dengan manusianya. Boleh dikata, kita hidup di dunia yang terintegrasi secara digital, sehingga mau tak mau pendekatan kita terhadap dunia ini harus adaptif. Berbagai jenis data diproduksi, disimpan, dan diambil kembali dengan volume dan kecepatan luar biasa serta keragaman: ada teks, angka, gambar, animasi, video, dan suara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika kita menyadari semua perubahan yang terjadi di sekeliling kita ini dan bagaimana semua itu saling berinteraksi—termasuk bagaimana semua itu memengaruhi diri kita, maka kita tengah memasuki alam berpikir digital. Di alam ini, kita berpikir tentang bagaimana teknologi digital amat memengaruhi dan bahkan ikut membentuk masa depan masyarakat manusia yang jejaknya sudah terlihat sejak sekarang.

Cara kita berbisnis berubah, cara kita belajar berubah, cara kita bekerja berubah, dan bahkan cara kita mengalami sesuatu pun berubah; bahkan pengalaman menjadi bagian yang semakin penting dari hidup manusia. Ada keterampilan baru yang perlu dikuasai, ada kultur baru yang patut dikembangkan. Tantangan pokok yang kita hadapi, sebagai orang yang hidup di zaman digital—sekalipun mungkin kita bukan digital natives, adalah menyesuaikan cara berpikir kita terhadap perubahan.

Teknologi digital telah mengubah dan mentransformasikan banyak hal, juga dalam pendidikan. Kita perlu memahami arah perubahan dan peran apa yang dapat kita jalani—kita perlu mentransformasikan peran kita selama ini. Kita perlu memikirkan bagaimana mengkapitalisasi keterampilan yang kita miliki dan bagaimana kita dapat mengambil peran dalam perubahan, bukan sebagai penonton.

Lantaran pengalaman mengambil bagian yang kian penting, maka dalam berbagai bidang kehidupan—bisnis, pendidikan, kesehatan, dsb—berpikir digital dapat dimulai dari luar ke dalam atau outside-in. Sebelum bisnis dirancang, harus dipertimbangkan lebih dulu sudut pandang konsumen. Terdapat begitu banyak unsur yang terkait dengan sudut pandang konsumen, sebutlah keinginan, kebutuhan, hingga kemampuan pelanggan dalam memanfaatkan teknologi digital (sejauh mana kemampuan akses mereka, peranti apa yang kerap digunakan, bagaimana perilaku mereka dalam memanfaatkan teknologi digital), juga nilai apa yang mereka kejar di lingkungan digital yang baru ini.

Tentu saja, dalam konteks ini, nilai tidak semata berarti uang, melainkan juga terpecahkannya persoalan konsumen dan terbukanya peluang baru. Pengalaman konsumen merupakan unsur digital yang vital untuk memperoleh perhatian. Dalam edukasi misalnya, pengalaman dapat dimanifestasikan sebagai kemudahan pengguna dalam memakai fasilitas yang tersedia, visualisasi digital yang menarik, dan penjelasan materi yang mudah dicerna.

Di dunia digital, visualisasi semakin mendapat peran yang berarti. Meskipun kata-kata jelas dan ringkas, gambar dapat bekerja lebih baik untuk menangkap interaksi dinamis dalam menciptakan outcome baru yang seringkali sukar dijelaskan dalam kata-kata. Instagram, Visual.ly, Pinterest, Youtube, dan lainnya menarik minat jutaan orang karena visualisasi informasi dan data.

Bagian yang tak boleh diabaikan ialah pemahaman mengenai perilaku pengguna. Ini terkait dengan koneksi antara informasi, motivasi, keputusan, dan tindakan yang menggerakkan dunia digital. Mengapa konsumen tergerak untuk mengambil keputusan tertentu dan bukan keputusan yang lain? Di era digital, berapa waktu yang dibutuhkan konsumen untuk memutuskan dan bertindak? Sarana apa yang mereka gunakan?

Perubahan yang terjadi sebagai dampak teknologi digital memang luar biasa. Karena itu, dengan memiliki beragama teknologi maju tidaklah berarti cara berpikir kita sudah men-digital. Kepemilikan teknologi digital, kata banyak ahli, hanyalah sepersepuluh dari aturan yang menggerakkan dunia digital. Lebih penting dari itu adalah cara berpikir digital. (blog.building-blocks.com)

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu