x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perusahaan dan Perubahan Iklim

Perusahaan adalah sumber dan perantara emisi gars rumah kaca yang utama. Tanpa perubahan mendasar pada perusahaan, mustahil perubahan iklim dapat dikelola

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aktivitas Perusahaan sebagai Sumber Emisi

Melibatkan perusahaan dalam pengelolaan perubahan iklim adalah sebuah keniscayaan.  Tak mungkin perubahan iklim antropogenik dikelola sumber dan dampaknya dengan mengabaikan perusahaan.  Mengapa? Karena perusahaan adalah sumber emisi utama melalui pembangkitan energi, pemanfaatan untuk industri, dan transportasi. Setelah ketiga sumber besar tersebut, barulah emisi kemudian datang dari  pemanfaatan oleh rumah tangga.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Richard Heede menulis artikel bertajuk Tracing Anthropogenic Carbon Dioxide and Methane Emissions to Fossil Fuel and Cement Producers, 1854–2010 yang terbit di jurnal Climate Change No 122 (2014).  Di artikel tersebut bisa dibaca dengan jelas bahwa sekitar 2/3 emisi dunia ternyata dihasilkan oleh 100 perusahaan saja. Yaitu, sesuai dengan judul artikel Heede, perusahaan-perusahaan minyak, batubara dan semen. Pada tahun 2010, ketika total emisi karbon dioksida dan metana diketahui berjumlah 36 miliar ton, 28 miliar ton di antaranya dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan itu.  Di lima besar, berturut-turut adalah Chevron, ExxonMobil, Saudi Aramco, BP dan Gazprom.

 

Di Indonesia, sumber emisi penting juga adalah aktivitas yang terkait dengan pemanfaatan lahan atau biasa dikenal dengan Land Use, Land Use Change and Forestry (LuLucF). Ini menyangkut perusahaan perkebunan (terutama kelapa sawit) dan kehutanan (Hutan Tanaman Industri, HTI).  Ketika suatu ekosistem didominasi oleh pohon, maka ekosistem itu merupakan penyimpan karbon dioksida (carbon sink).  Ketika pohon-pohon kemudian ditebangi untuk pembukaan lahan, maka fungsi tersebut berkurang dan karbon terlepas ke atmosfer.  Jadi, pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan HTI yang marak terjadi sejak beberapa dekade lalu telah membuat emisi yang besar.

 

Hal ini diperparah oleh kebakaran hutan.  Perkebunan kelapa sawit dan HTI banyak dibuka di atas lahan gambut.  Gambut adalah penyimpan air yang luar biasa besar, ketika hutannya terjaga.  Ketika pohon-pohonnya ditebang, lalu dibuat kanal-kanal, maka gambut mengering.  Pembukaan hutan dengan cara paling murah—dan difasilitasi oleh pembolehan dalam UU No. 32/2009 dan sejumlah regulasi di tingkat provinsi dan kabupaten—adalah dengan cara membakar (slash and burn).  Selain itu, dengan membakar pula rabuk untuk lahan tersebut diperoleh.  Hal ini kemudian menimbulkan siklus kebakaran hutan setiap tahunnya.  Dan, ketika El Nino terjadi, apalagi Super El Nino, maka kebakaran hutan menjadi sangat parah, seperti di tahun 1997-1998, 2006 dan 2015.  Sektor perkebunan dan kehutanan di Indonesia telah banyak sekali melepaskan emisi ke atmosfer.  Dan, hal inilah yang di antaranya membuat banyak pihak kemudian marah kepada perusahaan-perusahaan yang diduga terlibat dalam pembakaran hutan.         

 

Dengan latar belakang seperti itu, kita juga mengetahui secara persis bahwa kebanyakan perusahaan di Indonesia masih jauh sekali dari memadai dalam hal pengelolaan perubahan iklim, terutama mitigasi emisi. Belum banyak yang tahu persis sumber dan jumlah emisinya, karena belum melakukan audit emisi. Sehingga, kalau mereka menyatakan bahwa mereka melakukan upaya mitigasi emisi berupa efisiensi energi, efikasi dan offset masihlah jauh dari maksimal. 

 

Tentu, ada pula perusahaan-perusahaan progresif di Indonesia yang telah melakukan audit, sehingga tahu persis sumber dan besaran emisinya, serta dapat melakukan tindakan mitigasi yang sesuai dengan kondisinya.  Di antara perusahaan-perusahaan yang demikian adalah mereka yang telah mendapatkan sertifikat dari Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO).  Dalam standar yang ditetapkan oleh RSPO terdapat kewajiban untuk mengetahui melakukan tindakan-tindakan mitigasi yang sesuai dengan sumber dan besaran emisi.  Hal mana juga sebetulnya dibutuhkan untuk perusahaan-perusahaan dari sektor industri yang emisinya besar.  Sayangnya, hingga kini baru industri kelapa sawit yang melakukannya, sementara upaya mitigasi dari perusahaan minyak, batubara dan semen belumlah terkait dengan perolehan sertifikasi tertentu.    

 

Adaptasi Perubahan Iklim oleh Perusahaan

Lebih jauh lagi, perusahaan-perusahaan juga belum banyak yang memikirkan sisi adaptasi dari manajemen perubahan iklim. Padahal, perubahan iklim sudah tiba dan beberapa dampaknya sudah nyata. Kalau mitigasi dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan audit emisi, adaptasi harus dimulai dari analisis kerentanan.  Kerentanan itu mencakup kerentanan perusahaan, value chain-nya maupun masyarakat sekitarnya. Lalu, membuat rencana dan eksekusi pengelolaannya. Perusahaan harus tahu persis apa saja dampak dari perubahan iklim yang mengenai dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. 

 

Ada banyak perusahaan di Indonesia yang memanfaatkan minyak kelapa sawit dan pulp dari HTI, dan karena perubahan iklim akan cenderung membuat kekeringan mengehebat di beberapa tempat, maka perusahaan-perusahaan itu penting berhitung soal bagaimana memastikan keberlanjutan pasokannya.  Demikian juga, sumber-sumber bahan baku produksi lainnya yang berasal dari pertanian akan mengalami berbagai perubahan pola akibat perubahan iklim.  Ini berarti perusahaan perlu untuk bekerjasama dengan para pemasoknya untuk beradaptasi. 

 

Namun juga, perusahaan sangat perlu untuk memerhatikan dampak perubahan iklim terhadap masyarakat di sekeliling operasinya.  Mereka di antaranya adalah para pekerja, pekerja dari pemasok, konsumen perusahaan, atau masyarakat yang terkena dampak langsung operasi perusahaan.  Bila kelompok-kelompok ini terganggu pola hidupnya karena perubahan iklim, bisa jadi perubahan pola itu berdampak pada hubungan mereka dengan perusahaan.  Maka menjadi penting bagi perusahaan untuk juga membantu mereka beradaptasi.  Hal ini misalnya sudah ditekankan pada ISO 26000 Guidance on Social Responsibility.       

 

Perubahan yang Diperlukan Perusahaan

Sama dengan beragam upaya untuk internalisasi eksternalitas lainnya, pengelolaan perubahan iklim oleh perusahaan perlu didekati dengan sistem (dis)insentif. Secara umum, sudah banyak dibuktikan di level global bahwa ramah iklim itu menguntungkan secara ekonomi untuk perusahaan (new climate economy).  Yang tampak jelas sebagai low hanging fruits misalnya adalah efisiensi energi.  Semakin efisien energi yang dipergunakan berarti semakin rendah biaya energi per satuan produk yang dihasilkan. Ini berarti biaya total yang semakin murah, dan harga jual yang makin kompetitif.  Demikian juga, ada banyak tempat yang telah menunjukkan bahwa pemanfaatan energi bersih ternyata lebih murah dan handal dibandingkan dengan energi kotor.  Dari dua kemungkinan itu saja, sebetulnya dapat dilihat bahwa perusahaan yang ramah iklim bisa lebih baik kinerja finansialnya dibandingkan rerata perusahaan.  

 

Namun di Indonesia hal ini masih perlu diwujudkan dengan lebih serius. Di antaranya dengan memerbaiki pasar, menghilangkan subsidi terhadap energi kotor, bahkan membebankan pajak dosa terhadap emisi. Juga, penegakan hukum yang serius terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum lingkungan.  Pasar Indonesia sudah lama terdistorsi oleh harga energi fosil yang murah, termasuk yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan.  Hal ini disebabkan karena Pemerintah memberikan subsidi yang sangat besar untuk energi fosil, sementara sangat sedikit memberikan insentif untuk pengembangan energi terbarukan.  Hal ini sebetulnya sama saja dengan yang terjadi di banyak negara lain di dunia. Seharusnya, dalam dunia yang sangat urgen melakukan berbagai tindakan pengelolaan perubahan iklim, energi fosil tidak lagi mendapatkan subsidi, melainkan malah harus dikenai cukai atau sin tax karena telah terbukti menjadi penyebab perubahan iklim yang banyak merugikan.  Sementara, berbagai inisiatif energi bersih harus mendapatkan insentif agar semakin berkembang.  Mungkin sudah waktunya juga menetapkan karbon dioksida sebagai pencemar.  Namun, sebelum sampai ke situ, masa transisi harus diberlakukan untuk memastikan transformasi ke arah energi bersih bisa dijalankan dengan mulus.   

 

Hal-hal tersebut di atas perlu diwujudkan dalam kebijakan perubahan iklim yang komprehensif, terutama terhadap perusahaan-perusahaan yang menjadi sumber dan perantara emisi yang utama di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang paling penting disasar dalam kebijakan tersebut adalah perusahaan energi fosil, otomotif dan transportasi, dan perkebunan/kehutanan.  Selain itu, tentu saja, kebijakan itu perlu menyasar perusahaan-perusahaan yang bisa menyediakan energi bersih dan terbarukan.  Sayangnya, kalau kita melihat beragam dokumen terkait pengelolaan perubahan iklim, (dis)insentif untuk perusahaan-perusahaan belumlah cukup komprehensif.  Bahkan, salah satu perkembangan mutakhir, dalam dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) Indonesia yang dimasukkan ke UNFCCC untuk dirundingkan di COP 21 Paris, strategi ini jauh dari memadai.

 

Selain desakan atau fasilitasi perubahan dari luar oleh Pemerintah dan masyarakat sipil, hal terpenting untuk ditransformasikan dalam perusahaan dari dalam adalah tata kelolanya. Tata kelola perusahaan adalah masalah yang sangat serius apanila kita menginginkan perusahaan bisa berubah demi pengelolaan perubahan iklim yang lebih masuk akal.  Kalau selama ini utamanya perusahaan mengabdi pada tujuan maksimisasi keuntungan (shareholder value maximization) baik dalam model tata kelola agency theory maupun stewardship, perusahaan perlu digeser model tata kelolanya menjadi social stewardship, di mana perusahaan mengabdi pada kepentingan masyarakat luas dan lingkungan.  Hal ini juga sesuai dengan model pembangunan berkelanjutan yang dianut oleh Sustainable Development Goals (SDGs), di mana tujuan ekonomi dianggap sebagai bagian dari tujuan sosial dan tujuan sosial merupakan bagian dari tujuan lingkungan.  Dengan demikian, di masa mendatang, tak ada tempat bagi tujuan ekonomi yang menentang tujuan sosial dan lingkungan.

 

Transformasi tata kelola perusahaan adalah keniscayaan bila kita ingin mengelola perubahan iklim secara baik. Perusahaan-perusahaan progresif harus mengambil peran yang lebih besar untuk memimpin transformasi itu, terutama dengan memberi teladan serta masukan dalam dialog-dialog formulasi kebijakan. Pemerintah harus memaksa dan memfasilitasi transformasi itu lewat beragam kewenangan regulatorinya. Masyarakat sipil juga perlu menolong dan memaksa perusahaan-perusahaan untuk melakukan transformasi itu.  Demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

 

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler