Jikalau kulihat dalam tanah, ihwal sekalian insan
Tiada dapat kubedakan rakyat dan Sultan
Fana jua sekalian
Dengar, Tuhan berfirman
Kullu man ‘alayha fanin
Siapa di atas bumi, ia lenyap jua
Pasal pertama menggugah manusia tentang muasal, dari tiada menuju tiada, dan ada hanya atas kehendak Tuhan. Kesadaran dari mana dan akan kemana manusia sebagai ciptaan, sepertinya harus menjadi ‘nyawa’ tiap langkah, tiap umat, tak terkecuali pemimpin negara, Sang Sultan. Bila para pemimpin insyaf pasti tiba masa mahkamah raya yang Tuhan sebagai hakimnya, negeri akan jaya, karena kesadaran ada pertanggungjawaban kelak, membawa pemimpin jauh dari menyimpang. Memimpin bukan hadiah, sepenuhnya titipan Tuhan. Malah, tanggung jawab bertambah besar sesuai tuntunan bahwa tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya, besar atau kecil skala.
Subhan Allah (Maha Suci Tuhan)
Apa jadinya segala manusia
Yang dalam tanah jadi duli sia-sia
Tanah, itu tubuhnya kemudian
Segala, yang dulu ada padanya, terlalu mulia
Sajak kedua masih di pasal pertama, yang saya sadur, menuturkan sama, tentang akhir manusia di alam dunia. Bait ini seperti memastikan para pemimpin, Sultan-sultan, tahu benar tujuan seluruh usia, termasuk masa memimpin suatu bangsa, yang bagian perjalanan. Sebagai hamba, sama dengan lainnya, Sultan akan mempertanggungjawabkan titipan-titipan kepada Sang Pemilik Segala, Tuhan.
Pasal kedua, ketiga, dan keempat, memuat hal-hal senada tentang hakekat manusia. Seperti, manusia ciptaan Tuhan dan akan kembali pada Tuhan, dunia adalah persinggahan yang sekejap tapi menentukan keabadian kelak, sampai tentang pilu dan pedihnya manusia melepas nafas penghabisan saat ajal, saat pindah alam naungan. Meski di awal dan pembuka, pasal-pasal ini landasan. Pasal satu sampai pasal empat adalah pijakan dasar yang seperti mutlak dipahami seorang pemimpin, termasuk seorang Sultan.
Lima, enam, tujuh, delapan, dan sembilan, adalah pasal-pasal yang menjadi ‘nafas’ kitab karena memuat ‘adl atau keadilan. Pemimpin adil adalah khalifah, berjulukan wakil Tuhan. Pemimpin adil laksana hadiah untuk semesta karena pemimpin adil akan sanggup menjaga sejahtera dunia. Pemahaman pemimpin adil panjang dijabarkan, termasuk menyari kitab-kitab terkemuka, seperti Ihya Ulumuddin tulisan Imam Ghazali, Siyasah Namah karya Nizam Al-Mulk, Asrar Namah tulisan Fariduddin Attar, atau Jami’ Al-Tawarikh-nya Sultan Humayun.
Pasal lima mengungkap hifz, fahm, fikr, salaam, dan nur. Ini atribut seorang Sultan. Hifz berarti ‘simpan’, maknanya seorang pemimpin bisa adil jika sanggup menyimpan, atau memiliki ingatan cemerlang. Kesimpulan saya, artinya pemimpin besar hanya mungkin mengambil tindakan adil jika ia mengingat dengan baik, mengingat ilmu, mengingat ajaran-ajaran lurus, mengingat perjalanan bangsa, dan tentu mengingat tujuan di tiap detak kehidupan.
Fahm sama dengan ‘paham’ dalam Bahasa Indonesia, berarti pengetahuan mendalam. Sultan wajib memiliki pemahaman menyeluruh atas permasalahan-permasalahan, terutama tentang negerinya. Hanya pemimpin dengan pemahaman utuh mampu membuat keputusan adil dan tepat bagi bangsa dan negara. Fikr adalah pemikiran, maksudnya daya pikir tajam, karena pemimpin mutlak memikirkan langkah bangsa, lengkap berbagai konsekuensi, yang tidak berhenti di masanya. Fikr sekaligus bermakna pemimpin itu pencetus misi, menurut saya.
Salaam adalah kesejahteraan, yang maksudnya seorang pemimpin seperti Sultan harus utama memperjuangkan kesejahteraan bangsa. Ini seperti cita-cita sepanjang jalan, terutama selama mengemban peran Sultan. Terakhir, nur berarti cahaya karena pemimpin adil laksana matahari yang tidak membedakan pancaran bagi segenap alam. Pemimpin adil akan penuh mencintai seluruh negerinya, tanpa kecuali, tanpa syarat, bukan untuk golongan-golongan.
Tiap Sultan bisa mengasah lima tadi waktu ke waktu asal landasan kalbunya bersih, yang terukur dari budi. Jika tubuh manusia sebuah negeri, maka budi sang pemimpin. Budi adalah raja, budi yang ‘memeritah’, budi ialah penggerak peri perbuatan. Baik budi, baik pula manusianya, busuk budi, buruk juga individunya. Lima tadi ditambah budi menjadi semacam standar minimal seorang pemimpin adil, yang idaman. Pasal lima mempertegas dengan petuah :
Dengar olehmu, hai, budiman
Budi itu pohon ihsan (ihsan=kebaikan)
Orang berbudi kayalah
Yang tak berbudi, papalah
Jika kau dapat arti alam ini
Tapi budi kurang padamu di sini
Sia-sia jua adamu
Dan sekali pula, sia-sialah namamu
Jika yang kau kehendaki kaya
Mintalah budi pada Cahaya
Mengapa adil penting dalam diri seorang pemimpin dibahas di pasal enam, salah satunya dengan mengutip kalimat kalam, ‘Sungguh, Tuhan menyuruh berlaku adil, berbuat baik, banyak memberi, dan melarang perbuatan keji, jahat, atau memberontak’. Adil nyatanya kewajiban tiap manusia, orang-perorang, bukan pemimpin saja. Jika kita, masing-masing, harus adil, lebih-lebih seorang pemimpin.
Cuplikan kisah-kisah pemimpin adil merangkai kemudian di pasal tujuh. Para Sultan mulia dan pemimpin-pemimpin umat yang agung diuraikan cara hidup juga perjalanan kepemimpinannya, seperti Umar Bin Khattab dan Harun Ar-Rasyid. Pasal delapan, seperti ingin meneladankan keadilan, ditulislah riwayat raja yang termasyhur adil, meskipun bukan seorang Sultan, Raja Nushirvan.
Ternama dijuluki ‘The Just’, Nushirvan adalah maharaja Persia yang dicintai rakyat karena kukuh membela hak-hak bangsa. Raja Nushirvan mendidik rakyat dengan mendirikan banyak tempat kajian ilmu bagi siapa saja yang hendak ‘menimba’ secara cuma-cuma. Raja Nushirvan juga terkenal menyayangi mereka yang kekurangan harta dengan menerapkan pajak rendah.
Bab keadilan diakhiri pasal sembilan, yang kebalikan dua pasal sebelumnya, berisi contoh-contoh penyelewengan hingga kecaman bagi pemimpin-pemimpin durhaka.
(Bersambung)
Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.