Memulai dari Netral, Bukan Nol
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBertemu dengan orang yang selama ini digambarkan ‘negatif’, tak ada cerita ‘positif’-nya sama sekali, apa yang idealnya dilakukan?
Bertemu dengan orang yang selama ini digambarkan ‘negatif’, bahkan tak sekalipun kita pernah mendengar hal ‘positif’ tentang orang tersebut, apa yang idealnya kita lakukan?.
Setidaknya ada 3 situasi yang bisa terjadi. Pertama, Kita akan menyiapkan segala macam jurus untuk mengantisipasi munculnya dampak negatif ketika berinteraksi dengan orang tersebut. Kedua, Apa yang kita dengar, kita jadikan pertimbangan untuk menghadapinya. Namun, tidak menggunakannya sebagai pegangan atau pedoman. Dan ketiga, berusaha netral, dan menahan diri untuk menghakimi dan mengambil kesimpulan terlalu dini, sampai mengalami sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi langsung.
Secara pribadi, saya sendiri sudah pernah mengalami semua situasi diatas. Saya yakin, demikian juga dengan anda. Diantara ketiganya, yang saya rasakan cukup manjur dan membantu saya belajar untuk berpikir positif dan tidak mudah menilai ataupun menghakimi orang lain, adalah situasi yang ketiga, yaitu memulai dengan sikap ‘netral’. Netral bukan berarti “nol” atau kosong. Netral adalah posisi paling awal, yang menjadi pijakan untuk menentukan langkah berikutnya. Sebaliknya, “Nol” bagi saya adalah sebuah kondisi yang belum bisa menjadi pijakan bagi langkah selanjutnya.
Dengan bersikap netral, pada dasarnya kita memberikan ruang yang ‘adil’ bagi diri kita untuk lebih dalam memahami orang. Ia juga memungkinkan kita untuk mengetahui secara berimbang dan tidak berat sebelah tentang hal-hal positif dan negatif tentangnya. Idealnya, pada langkah berikutnya, kita memilih untuk fokus pada sisi-sisi positif, dan bukan sebaliknya.
Karena, jika kita memilih fokus pada sisi negatif, secara naluriah cara kita merespon akan berkecenderungan untuk memperlakukan orang lain dengan tingkah laku yang tidak konstruktif. Jika ini terjadi, kita akan mengalami kesulitan yang ‘sangat’ untuk bisa mendengar dan memahami pikiran-pikiran, ide dan pandangan-nya. Apapun yang berasal dari mulutnya akan tampak ‘abu-abu’ dan bahkan ‘gelap’ di mata kita.
Apa yang nampak dari sikap, perilaku dan tindakan kita terhadap orang lain adalah refleksi dari bagaimana kita mem-framing orang lain di dalam pikiran kita. Memang, tak jarang kita sendiri tidak ‘konsisten’, dan bahkan ‘manipulatif’ dengan apa yang kita ‘pikirkan’. Sehingga yang nampak dalam sikap, perilaku dan tindakan kita sama sekali berbeda 180 derajat dengan isi pikiran kita. Namun, se-manipulatif apapun sikap, perilaku dan tindakan yang kita tampilkan, pada saatnya, ‘otentisitas’siapa diri kita sebenarnya akan terungkap dan muncul ke permukaan.
Menjadi diri sendiri tentunya pilihan yang sangat masuk akal untuk dijalanin. Karenanya, kita akan terbiasa jujur terhadap diri sendiri dan orang lain. Memudahkan orang lain melihat sisi-sisi positif dari diri kita, dan juga membantu kita bisa fokus dalam melihat sisi-sisi positif orang lain.
Jika hal tersebut kita lakukan, kita tidak akan pernah takut dan khwatir berkomunikasi dan bekerjasama dengan siapapun. Seburuk apapun ‘cerita’ dan ‘gambaran’ orang yang akan kita ajak berkomunikasi dan bekerjasama, kita akan selalu yakin bisa menemukan hikmah dan manfaatnya. #gusrowi
Coach & Capacity Building Specialist
0 Pengikut
Mengenali Bahasa Penaklukkan
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBFleksibel Kan Membawamu Ke Tujuanmu
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler