x

Iklan

Anazkia Aja

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bukan Relakan Aku Jadi Relawan

Bukan relakan aku jadi relawan, tapi relakah aku menjadi relawan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Kanaz, Miftah nanya. Apa boleh pakai sandal ke acara Jambore Relawan? Soalnya dia nggak punya sepatu.” Saya mendapatkan pesan tersebut pada 28 November 2015 pukul 00.46 dini hari dari Mbak Atiek di Cirebon. Sepertinya, Mbak Atiek dan teman-teman sedang bersiap untuk berangat ke acara Jambore Relawan (jamrel) yang waktu itu dilaksanakan di Bekasi pada 28-29 November 2015. Tentang sandal yang ditanyakan, Mbak Atiek menanyakan untuk Miftah, salah satu peserta yang akan mengikuti Jambore Relawan.

“Nggak apa-apa pakai sandal, Mbak.”

Namanya, Miftahudin. Berasal dari Tegalgubug, Cirebon. Saya tak mengenali orang ini sebelumnya, sehinggalah suatu hari Mbak Atiek bercerita kalau Miftah ini ingin mengikuti Jambore Relawan. Miftah, ingin mengikuti Jambore Relawan, tapi ia tak mendapatkan undangan. Kata Mbak Atiek, ia sedikit memaksa karena ingin berkenalan dengan banyak teman. Cerita Mbak Atiek menguras emosi saya. "Orang ini harus datang" tekad saya. Menggunakan jatah kuota dari Blogger Hibah Buku, Miftah akhirnya datang pada acara Jambore Relawan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sabtu pagi 28 November 2015, saya menuju Rumah Belajar HOS Tjokroaminoto bersama dengan teman-teman relawan perempuan yang datang dari berbagai kota. Pembagian penginapan saat itu, teman-teman relawan perempuan yang datang dari luar kota menginap di Rumba Ilalang, sementara teman-teman relawan lelaki yang berasal dari luar kota menginap di Rumba Hos Tjokroaminoto. Sampai di Rumba HOS, saya langsung mencari beberapa teman yang saya kenal dari luar kota. Agung dan Lendra, relawan Mahanani sedang mengobrol di bawah pohon chery ( chery-cheryan :D) saya langsung mendekati mereka dan bersalaman, lantas kami bercerita apa saja yang terlintas di kepala.

Saya meninggalkan Agung dan Lendra, menuju teras Rumba HOS mencari Mbak Atiek dan rombongan dari Cirebon. Mbak Atik sedang duduk melingkar bersama dengan teman-temannya juga ada Miftah di sana. Kami berkenalan satu sama lain. Ada Pak Adi dari Palangkaraya, beliau adalah polisi hutan yang bertugas menjaga kelebatan hutan Borneo. Selain menjaga hutan, Pak Adi juga mengajar anak-anak di perkampungan sekitar. Ah, ya! Jadi ingat kalau malam sebelumnya saya mengenal Rama dan Kak Ati dari Sulawesi. Ada juga Kak Dayu dari Buku Untuk Papua, Ijal, Udin dan kawan-kawan dari Cilegon dan Serang, pasukan rusuh dari Banten. Ada juga Fitri dan Fikri dari Halaman Belakang. Dan banyak lagi teman-teman relawan yang saya belum berkenalan dikarenakan sok sibuk sendiri jadi tidak banyak interaksi.

Dua hari mengikuti kegiatan Jamrel, mengetuk-ngetuk nurani saya ketika bertemu dan berbincang dengan teman-teman dari luar daerah. Bagaimana Miftah berjuang mendirikan Rumah Baca keliling, padahal kalau diukur secara finansial, penghasilan Miftah tentunya tak seberapa. Saya menulis tentang Miftah di sini. Ada juga Pak Adi, yang katanya kadang merasa sudah cukup tua mengajari anak-anak, tapi tetap semangat dan cerita-cerita keren lainnya dari banyak teman.

Teman-teman peduli literasi

“Merekam Jejak Relawan” itu menjadi tema besar dalam acara Jamrel bulan lalu. Tema itu dibuat dengan harapan teman-teman relawan dari berbagai daerah mau mendokumentasikan kegiatan-kegiatannya dalam tulisan. Jadilah dalam dua hari itu peserta disuguhi oleh para pemateri tentang dunia tulis menulis dari berbagai latar belakang. Ada bang Fuadi, penulis buku Negeri Lima Menara. Mas Farhan, artis yang sekarang sibuk dengan dunia sosial. Mbak Indah Juli dari blogger, Mas Yosep dari Tempo dan ada satu lagi saya lupa namanya dari salah satu penerbit. Meski beberapa peserta merasa jenuh dengan materi-materi yang disuguhkan, tapi mereka mengakui senang berada di acara Jamrel. ‘Senang bertemu dengan banyak teman, karena banyak cerita yang kami dapat.” Yang berkata demikian tidak hanya satu dua teman, tapi banyak teman.

Menjadi bagian dari panitia Jamrel dengan banyak cerita di belakangnya, memberikan banyak pengajaran kepada saya. Tentang sikap kerelawanan juga kesetiakawanan dalam tim.

“Kanaz, kemarin itu harusnya bukan ‘relakan aku jadi relawan, tapi relakah aku menjadi relawan.” Kata Lendra keesokan harinya ketika kami mengemas buku di Utan Kayu.

“Maksudnya apa, Len?” saya sedikit bingung dengan kalimat yang diucapkannya.

“Itu, kemarin kata pemateri pas terakhir ada kalimat ‘relakan aku jadi relawan’ itu seperti meminta orang lain mengikhlaskan kita menjadi relawan. Padahal, seharusnya kalimat itu menjadi pertanyaan untuk diri sendiri, ‘relakah aku menjadi relawan’ karena kitalah yang paling tahu sejauh mana hati kita melibatkan diri dalam dunia relawan.” Lendra menjelaskan kebingungan saya. Dan saya hanya ber ooo panjang.

“Kanaz, kemarin sandal Miftah dipakai orang waktu shalat di masjid, tapi alhamdulillah ketemu. Nah, pas dia mau pulang sandalnya nggak ada, mungkin ada yang pakai.” Lendra menceritakan tentang Miftah.

“Hah? Beneran? Terus Miftah pulangnya gimana?”

“Nyeker, Kak.”

Dan benar adanya ketika saya menanyakan kepada Miftah. Perjalanan Bekasi-Cirebon, dia tak memakai alas kaki. Lantas saya teringat pesan whatsapp pagi-pagi dari Mbak Atiek mengenai sandal, Miftah memang memakai sandal jepit berwarna hijau karena dia tidak mempunyai sepatu.

“Nyeker, Kak. Malah seneng, biasa aja.” Kata Miftah tertawa-tawa ketika saya menanyakan perihal sandalnya di chat bbm.

Ah! Tiba-tiba saya acap memikirkan kalimat, “Bukan relakan aku jadi relawan, tapi relakah aku menjadi relawan?”

 

 

 

Rombongan Cirebon

Ikuti tulisan menarik Anazkia Aja lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB