x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Laut Sabang, Catatan-catatan Seorang Urban - Belum Ada Pasal

Anda telah berada di wilayah pelaksanaan Syariat Islam, Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, mungkin sebaiknya ditambah 'tidak untuk semua pasal'.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Coba tebak, ganjaran apa yang akan ditimpakan pada penyelundup gula impor berpuluh ton berdasar hukum Islam. Dibiarkan saja, itu yang terjadi di Sabang, mungkin malah seluruh Aceh. Percaya atau tidak, itu nyatanya meskipun Sabang yang termasuk Aceh menyebut daerahnya sebagai bumi syariat.  Entah kapan hukum Islam akan berlaku di Aceh, yang jelas, belum sekarang.

Jangankan tegak keadilan sampai mendapati pelaku pelanggaran dihukum setimpal, dari luasnya hukum Islam mengatur segala segi kehidupan, baru empat pasal mendasari keseharian Polisi Syariah bertugas di Sabang. Jangan membayangkan hukuman mati, cambuk seratus kali, potong tangan, atau rajam ditimpakan pada pelanggar hukum di Aceh sekarang, karena belum ada qanun soal itu, meski jelas Aceh menjalankan hukum Islam atau syariat, tercantum bahkan dalam Undang-Undang. Qanun adalah Peraturan Perundangan, sejenis Peraturan Daerah, yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Penegak hukum Islam di Aceh, dalam hal ini Polisi Syariat, hanya ‘bergerak’ berdasar qanun-qanun.

Simak obrolan saya dulu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertanyaan pertama,“Apa ganjaran bagi penyelundup di Aceh sesuai Hukum Islam?”

Jawaban untuk saya, “Belum ada qanunnya itu.”

Saya berargumen, “Bukankah penyelundupan itu merugikan negara?”

Jawabnya, “Iya pastilah.”

Saya memastikan, “Islam kan melarang tindakan yang merugikan negara. Islam mengajarkan nasionalisme.”

Jawaban untuk saya, “O ya, tentu.”

Saya penasaran, “Jadi mengapa tidak ada hukumnya?”

Jawaban yang diulang, “Bukan tidak ada hukumnya. Tapi belum ada qanun, belum ditetapkan DPR Aceh.”

Saya memastikan, “Sabang sudah lama, Pak, ditetapkan menjadi Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas. Barang impor masuk juga sudah sangat sering. Aturannya sekarang, barang-barang ini tidak boleh keluar. Nyatanya, barang cepat habis bahkan yang bukan kebutuhan sehari-hari. Apa ini bukan indikasi ada penyelundupan?”

Jawabnya, “Bisa jadi. Tapi itu bukan tanggung jawab kami.”

Saya mengejar, “Jadi tanggung jawab siapa menurut, Bapak?”

Jawaban untuk saya, “Ya Polisi.”

Saya bertanya lagi, “Bapak kan, Polisi?”

Jawaban diantara senyum lebar, “Iya, tapi saya Polisi Syariat. Itu bukan bidang saya.”

Saya bingung, “Berarti syariat tidak mengatur soal penyelundupan?”

Jawaban perbaikan,”Bukan begitu. Belum ada qanunnya, ya tidak bisa kami asal tangkap orang tanpa dasar.”

Saya mendesak, “Apa menjaga tatanan masyarakat tidak melanggar kebenaran bukan tanggung jawab Polisi Syariat?”

Jawaban kemudian, “Iya, benar. Tapi kami juga bergerak sesuai aturan yang sudah ditetapkan. Dan Aceh baru ada beberapa qanun mengatur hal-hal tertentu.”

Saya bertanya lagi, “Syariat kan sudah ada di Quran dan hadits, atau kalau tidak hukum Kesultanan Aceh lama sangat bisa diadopsi. Mengapa harus membuat lagi dan menunggu ditetapkan qanun masa sekarang?”

Jawab lawan bicara saya lagi, “Nah, yang itu jangan tanya saya, kami ini sekedar melaksanakan.”

Itu penggalan tanya jawab saya dengan Tengku Adi Zulfikar, Ketua Polisi Syariat Kota Sabang, demikian ia menuliskan datanya di buku kecil catatan saya, suatu siang awal Juli pertengahan 2013, di kantornya. Saya mencoba mencari tahu mengapa penyelundupan merajalela di Sabang yang bumi syariah waktu itu. Nyatanya, sampai hari inipun penyelundupan barang impor masih banyak di Sabang dan belum satu qanunpun menghukum penyelundup. Setahu saya, dan dibenarkan Tengku Zulfikar, penyelundupan memang belum pernah ditindak di Sabang atau Aceh, berdasar hukum Islam, karena memang pasal itu belum ditetapkan di Aceh, sementara Polisi Syariat tunduk pada qanun-qanun yang ada.  

Menurut Tengku Zulfikar, saat itu hanya empat pelanggaran qanun yang mendasari Polisi Syariah bertindak yaitu adab berpakaian, zina, maisir atau perjudian, dan sakran atau mabuk-mabukan. Pelanggaran pada aturan-aturan itu saja yang dikenai sanksi karena memang hanya qanun itu yang baru dimiliki Aceh sekarang.

Benar memang Undang-Undang Pemerintah Aceh No. 11 Tahun 2006 Pasal 125 ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut pelaksanaan syari’at Islam diatur dengan Qanun, tapi bukankah umur perundangan ini juga sangat cukup untuk pemberlakuan secara menyeluruh? Tahun ini berarti sepuluh tahun Aceh diberi keleluasaan mengatur pelaksanaan hukum Islam di wilayahnya yang dalam Pasal 125 ayat 1 jelas dicantumkan meliputi aqidah, syari’ah, dan akhlak.

Jangankan soal ketetapan kuota barang yang naik turun tahun ketahun sehingga memungkinkan barang impor tertahan atau dapat tersalurkan keluar Sabang, penetapan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas saja saya ragukan ketepatan hukumnya dari sisi akhlak. Jika serius mendirikan tatanan Islam di Aceh, bukankah pelabuhan bebas sudah sangat menyalahi? Pembangunan pelabuhan dan perdagangan bebas mendorong konsumerisme, bahkan pasar gelap, yang tidak sejalan dengan Islam setahu saya, padahal Sabang bukan terpencil, dan terpenuhi kebutuhannya dengan baik tanpa pelabuhan. Kecuali, jika se-Indonesia, hanya satu Sabang yang direncanakan memiliki pelabuhan perdagangan bebas, itu lain cerita.

Tapi sudahlah, lupakan soal penyelundupan di Sabang. Intinya jika ada yang berpendapat Aceh adalah bumi syariat, jawab saja, “Belum, sekarang.” Setelah sepuluh tahun  ditetapkan sebagai wilayah legal yang menjalankan hukum Islam tapi tidak menjalankannya baik, apa saya masih harus percaya cerita konflik panjang di Aceh dulu? 

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler