x

Pengunjung mall panik ketika petugas kepolisian menyisir tempat kejadian perkara ledakan bom di mall Alam Sutera, Tangerang, Banten, 28 Oktober 2015. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bom Alam Sutera, Pelajaran Berharga Bagi Suami dan Istri

Hari Rabu, 28 Oktober 2015, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, publik digegerkan dengan meledaknya bom di Mall Alam Sutera, Tangerang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari Rabu, 28 Oktober 2015, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, publik digegerkan dengan meledaknya bom di Mall Alam Sutera, Tangerang. Pertanyaan pun menyeruak di benak khalayak. Siapa pelakunya? Jaringan teroris-kah? Kelompok pendukung ISIS-kah? Atau siapa?

Untungnya, polisi bergerak cepat. Sehingga pertanyaan yang mampir di benak publik, terjawab. Menurut Pak Kapolda, Inspektur Jenderal Tito Karnavian, pelakunya tunggal. Nama pelaku, Leopard Wisnu Kumala. Dia seorang ahli IT, atau programer, di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi.

Nah, mengenai motifnya ini yang menarik. Mengutip pernyataan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Mohammad Iqbal, Mas Leopard ini, sedang terlilit utang Rp 20 juta. Tak hanya utang yang melilit, tapi juga masalah lain yang membuat Mas Leopard pusing. Masalah lain itu adalah rengekan sang istri yang minta dibelikan mobil seperti yang dipunyai saudara-saudaranya. Mungkin, istri Mas Leopard ini malu, saudaranya punya roda empat, tapi dia baru roda dua. Belum lagi, masalah cicilan rumah serta kartu kredit. Maka sempurna sudah masalah yang dirasakan Mas Leopard. Entah setan aliran mana yang membisiki Mas Leopard, hingga ia kemudian cari ilmu rakit bom yang digunakannya untuk meneror pihak Mall Alam Sutera. Mbah Google jadi andalan Mas Leopard untuk menimba ilmu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Tersangka belajar dari google," begitu kata Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Polisi Tito Karnavian saat jumpa pers di Mapolda Metro Jaya, Kamis, 29 Oktober 2015 yang banyak diliput media tersebut.

Menurut Pak Kapolda yang mantan kumandan Densus 88 itu, kasus bom Alam Sutera ini cukup unik, karena baru pertama kali terjadi di Indonesia. Mas Leopard, beraksi seorang diri, sama sekali tak terkait dengan jaringan teroris yang berafiliasi dengan Al Qaeda, Jamaah Islamiyah atau yang lagi ngetren kelompok ISIS. Bahkan Pak Kapolda punya julukan bagi aksi Mas Leopard, yaitu Lone Wolf. Julukan yang lumayan 'keren' tapi menyeramkan perbuatannya.

Yang mengagetkan, Mas Leopard ini, sudah empat kali meneror pihak Mall Alam Sutera. Via email, Mas Leopard lancarkan ancaman ke Mall Sutera. Awalnya tak ditanggapi, tapi kemudian pada 9 Juli 2015, pihak Alam Sutera mentransfer uang dalam bentuk bitcoin atau uang digital, sebesar 0,25 bitcoin. Padahal yang diminta Mas Leopard sebanyak 100 bitcoin. Satu bitcoin sendiri, merujuk keterangan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Krishna Murti, bila dirupiahkan nilainya sebesar Rp 3,2 juta. Jadi, kalau dapat 100 bitcoin saja, Mas Leopard bisa mengantongi 300 jutaan.

Tapi entah karena pelit, pihak Mall Alam Sutera hanya memberinya 0,25 bitcoin, atau kalau ditukar dalam rupiah, nilanya hanya 750 ribuan. Jauh dari ekspetasi. Ya, pada akhirnya aksi Mas Leopard ini, seperti peribahasa, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Sepandai dan pintarnya meneror, akhirnya tertangkap juga. Sekali mencoba aman, dua kali belum ketahuan, tiga kali masih tak terlacak, empat kali baru kena batunya. Mas Leopard, akhirnya mesti hidup di balik jeruji.

Terlepas dari semua itu, saya kira, kasus bom yang terjadi di Mall Alam Sutera, harus jadi pelajaran bagi para suami dan istri. Bahkan ini bahan pelajaran berharga, agar tak ada lagi suami seperti Mas Leopard. Ada beberapa catatan menarik yang bisa di ulas dari kasus Mas Leopard dengan bom Alam Suteranya. Pertama, Mas Leopard ini, sangat kuat indikasinya sebagai anggota Ikatan Suami Takut Istri. Bahkan, Mas Leopard bukan sekedar anggota biasa, tapi anggota yang punya militansi paling wahid. Ia begitu menghayati perannya sebagai suami yang takut istri, hingga berbuat nekad, demi memanjakan istri tercinta. Walau kemudian tindakannya itu sangat salah. Ya, ini bisa dikatakan juga sebagai bentuk paling sahih dari kisah love is blind. Cinta itu dapat membutakan. Demi cinta, bom diledakan.

Catatan kedua, ini juga bahan pelajaran berharga bagi para suami. Suami, harus bisa tegas, tak selalu menuruti kemauan sang istri. Suami sebagai kepala keluarga harus bisa mengukur seberapa besar kemampuannya memanjakan sang istri, baik lahir maupun bathin. Ini penting, agar tak terjadi kondisi, besar pasak daripada tiang.

Catatan ketiga, kasus Mas Leopard, pastinya harus jadi bahan intropeksi para istri. Para istri dimohon jangan meneror para suami dengan permintaan yang tak sesuai kemampuan. Karena itu saya sarankan, para istri rajin menonton siraman rohani seperti acara Aa dan Mamah Dedeh, agar bisa meresapi pesan hidup sederhana. Jangan kemudian gandrung nonton sinetron yang banyak mencontohkan hidup konsumtif.

Dan, please jangan ngeyel minta kendaraan roda empat, saat penghasilan suami belum sebanding. Selain itu memang, punya mobil di Jakarta dan sekitarnya bukan pilihan yang tepat. Ada beberapa alasan kenapa itu bukan pilihan tepat. Pertama beli mobil itu, bukan seperti beli sepeda. Butuh duit yang tak sedikit. Untuk DP-nya saja, jumlahnya tak sedikit. Dan ditengah ekonomi yang melesu, beli mobil mau itu cash atau kredit, bisa jadi beban yang bikin ruwet pikiran. Mending kalau hanya pusing, itu masih ditolerir. Tapi, bagaimana jika jalan pintas yang diambil, seperti yang dilakukan Mas Leopard, ini yang berbahaya.

Kedua, dari sisi efektivitas berkendaraan pun, mengendarai mobil di jalanan ibukota dan sekitarnya, jelas tak efektif dan efesien. Kemacetan, membuat mobil, bukan moda transportasi ideal. Bahkan, mengendarai mobil hanya akan membuat biaya hidup makin bertambah. Konsumsi bensin pasti bakal berlipat. Padahal, harga bensin terus naik. Apalagi bila pakai Pertamax, ongkos bensin bagi mobil lebih berlipat lagi. Belum lagi biaya service, atau biaya tak terduga, jika mobil tiba-tiba diseruduk angkot atau diserempet ojek. Di tambah, tarif tol juga terus merangkak naik. Pun pajak kendaraan roda empat. Jadi kesimpulannya, pilihan memiliki mobil di Jakarta, bukan pilihan tepat.

Saran saya, sebaiknya bersakit-sakit dahulu, punya mobil kemudian. Terapkan strategi cerdas, misalnya pakai dulu layanan Go-Jek dan sejenisnya untuk menghemat biaya transportasi. Dengan begitu, punya sisa dana yang bisa ditabung. Silahkan tabung itu untuk DP kredit mobil, atau beli cash mobil second. Itu lebih realistis, ketimbang ngeyel 'meneror' suami dibelikan mobil segera.

Namun, saya yakin, masih banyak istri-istri di republik ini yang baik hati, tak ngeyel dan ngotot ingin dibelikan mobil. Masih banyak di negeri ini, istri yang sedia hidup sederhana, sakit-sakit dahulu, senang-senang kemudian. Cerita Mas Leopard dan Istrinya, mungkin hanya kasuistis. Semoga tak ada Mas Leopard-Leopard lainnya di republik ini, demi mobil untuk istri tercinta, bom pun diledakan. Semoga...

Kamis, 29 Oktober 2015

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler