x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Partai Enggan Jadi Oposisi?

Partai-partai politik menyeberang ke pihak pemerintah semudah membalik telapak tangan. Enggan jadi oposisi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Oposisi dalam jumlah tertentu adalah pertolongan besar bagi seseorang. Layang-layang terbang menentang angin, bukan mengikutinya.”

--Lewis Mumford (Sejarawan, sosiolog, filosof teknologi, 1895-1990)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di zaman Orde Baru, otak kita dicuci dengan pemikiran bahwa oposisi itu buruk dan istilah oposisi tidak sesuai dengan iklim demokrasi Pancasila. Gelombang dampak pemikiran ini masih terasa hingga sekarang—ada yang menyebut diri penyeimbang, ada pula yang mengaku sebagai ‘pendukung kritis’ pemerintah.

Seusai pemilihan umum 2014, situasi politik tanah air begitu panas. Pengelompokan partai mengerucut jadi dua: Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Demokrat menyatakan diri sebagai penyeimbang—ibarat pendulum, bebas bergerak ke kiri atau ke kanan tergantung isunya.

Belum satu tahun pemerintahan Presiden Jokowi berumur, kekisruhan terjadi di KMP. Mula-mula PPP ribut dan salah satu kubu menyeberang ke KIH, lalu Golkar gaduh dan kegaduhannya pun tak kunjung reda hingga sekarang, menyusul kemudian elite PKS sikut-sikutan. Elite Golkar dan PKS berusaha mendekati Jokowi, bahkan Aburizal Bakrie menyatakan dukungan kepada pemerintah. Entah apa pengertiannya ketika ia berujar: “KMP tetap ada sebagai paguyuban.” Lho?

Pendukung KMP ‘mrotol’ satu per satu dan berganti haluan. Mulai dari salah satu kubu PPP yang gonjang-ganjingnya tak kunjung beres, dan kemudian PAN yang kebelet ikut duduk dalam kabinet (akhirnya Sutrisno Bachir, yang notabene orang PAN, kebagian duduk di KEIN, sementara perombakan kabinet yang ditunggu-tunggu tak kunjung terwujud). Elite PKS sempat bersilaturahim dengan Presiden dan berusaha menahan diri untuk tidak tampak menyeberang jalan.

Menyaksikan sepak terjang partai politik ini, sungguh mengherankan (atau malah tidak aneh?) bahwa begitu mudah partai politik berpindah haluan semudah membalik telapak tangan. Garis politik berubah drastis tanpa disertai alasan fundamental mengapa langkah itu harus ditempuh. Barangkali ini karena tak ada perbedaan yang jelas antara cita-cita politik partai-partai ini, atau bahkan cita-cita politik tidak penting.

Rasanya tidak keliru bila rakyat memperoleh kesan bahwa perubahan itu lebih didasari oleh kepentingan jangka pendek, seperti ingin kebagian kursi menteri dalam kabinet maupun, yang semakin terlihat lebih terang, kepentingan bisnis segelintir elitenya. Kepada rakyat tidak diperlihatkan fatsoen berpolitik bahwa menjaga sikap politik itu merupakan kehormatan dan bahwa menjadi oposisi itu merupakan bagian penting dalam menegakkan demokrasi.

Bila tak ada partai politik yang mau berdiri sebagai opisisi, siapa yang akan mengawasi sepak terjang pemerintah? Siapa yang akan mengoreksi bila terjadi penyimpangan oleh pemerintah? Siapa pula yang akan memberi alternatif terhadap pilihan-pilihan kebijakan pemerintah? Bahkan, bila berpikir lebih buruk lagi, lantas apa bedanya dengan masa Orde Baru ketika partai-partai mendukung apa saja kebijakan pemerintah? Apa pula yang dapat diharapkan dari partai-partai apabila yang dipersoalkan hanya isu-isu teknis dan membiarkan yang strategis terabaikan.

Kekaburan sikap politik dan arah perjuangan politik partai-partai membuat rakyat dihadapkan pada pilihan-pilihan serupa yang pragmatis. Bagi partai-partai politik, berada di luar pemerintahan dianggap mengurangi peluang untuk ikut mengambil keputusan penting. Di samping itu, sukar untuk dipungkiri bahwa kedekatan dengan pusat kekuasaan bukan saja menguntungkan secara politik, tapi juga secara ekonomi.

Dua alasan tersebut terakhir itulah agaknya yang membuat partai-partai tidak sanggup bertahan lama jadi ‘oposisi’ pemerintah yang mampu memberikan pilihan strategi kebijakan untuk kebaikan rakyat dan negeri ini. Bagi para elite ini, jadi menteri atau pejabat pemerintahan lainnya terlihat lebih menarik ketimbang menjadi penyedia alternatif bagi kebijakan pemerintahan. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB