x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penerjemah yang Tak Semashur Penulis

Penerjemah berperan besar, tapi jarang yang mashur layaknya penulis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Every language is a world. Without translation, we would inhabit parishes bordering on silence.”

--George Steiner (Kritikus, 1929-...)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berapa banyakkah pembaca yang mengenal nama Bima Sudiarto? Bagi kebanyakan orang nama itu barangkali terdengar asing, meskipun novel yang ia terjemahkan (dan disunting oleh Pray)—Perfume: The Story of a Murderer—naik cetak lima kali dalam empat bulan pertama sejak diterbitkan. Pembaca niscaya lebih akrab dengan penulis aslinya, Patrick Süskind.

Di balik kenikmatan membaca terjemahan karya Khaled Hosseini, Kite Runner, pembaca mungkin juga tak begitu mengenal Berliani Nugrahani. Dialah yang berjasa (bersama penyuntingnya, Pangestuningsih) yang membuat kita sebagai pembaca merasa nyaman mengikuti dongeng yang dituturkan Hosseini.

Begitu pula dengan Meita Lukitawati yang membuat pembaca ikut bersemangat merasakan spirit yang ditularkan Marti Olsen Laney dalam bukunya, The Introvert Advantage. Sebagai innie, kita ikut tergerak oleh penerjemahan yang hidup dengan nuansa emosional yang begitu terasa di tengah upaya Laney menjelaskan tesisnya secara ilmiah-populer.

Tugas menerjemahkan karya berbahasa asing (apapun, bukan hanya Inggris) ke dalam bahasa kita sungguh memakan waktu, pikiran, dan energi. Tentu saja, karena kita sebagai pembaca menghendaki terjemahan yang paling mendekati keinginan penulisnya. Bukan hanya kebenaran material bahwa dalam segi isi, itulah yang dimaksudkan oleh penulisnya, tapi juga nuansa, intensitas emosional, pilihan kosakata, perubahan istilah, dan banyak lagi seginya.

Menerjemahkan fiksi tak kurang peliknya karena faktor nuansa, diksi, intensitas emosional mesti dijaga. Kekeliruan dalam memilih kosakata maupun dalam menempatkannya dalam susunan kalimat mampu mengubah suasana yang diinginkan penulisnya. Sindiran, kemarahan, dan amuk bisa dituangkan dalam kata dan kalimat yang berbeda: bagaimana penerjemah mengalihkannya ke dalam bahasa Indonesia tanpa kehilangan nuansa yang berbeda-beda itu?

Bekerjasama dengan penyunting, penerjemah yang baik, sebagian di antaranya nama-nama tadi, akan tertantang dan berusaha mewujudkan karya terjemahan yang baik. Sayangnya, nama-nama mereka jarang dikenal atau sekurang-kurangnya kalah mashur dibandingkan dengan penulis aslinya. Padahal, melalui penerjemahlah pembaca (yang tidak bisa mengakses edisi aslinya) membaca karya-karya asing.

Pekerjaan menerjemahkan karya asing, dalam hemat saya, tidak ubahnya menggubah ulang dalam Bahasa Indonesia—terutama untuk fiksi. Terdapat kerumitan tersendiri dalam proses penerjemahan karena di dalamnya ada semacam rekonstruksi ulang mengingat perbedaan bahasa, yang notabene perbedaan budaya. Mereka harus mampu menjaga sebuah novel tetap hidup agar tidak menjadikan penerjemahan sebagai seni kegagalan, seperti kata Umberto Eco.

Mengingat tidak ringannya pekerjaan penerjemahan, para penerjemah (beserta penyuntingnya) layak untuk memperoleh apresiasi lebih baik dari sekarang. Bukan saja dalam konteks apresiasi terhadap kualitas karya mereka, tapi juga terkait honor mereka (saya tak cukup tahu, seberapa meningkat honor mereka saat ini dibandingkan peningkatan inflasi ekonomi kita). (sumber ilustrasi: bookarino.wordpress.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler