x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Napoleon Dari Tanah Rencong

Penovelan Riwayat Hidup Hasan Saleh

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul                     : Napoleon Dari Tanah Rencong

Penulis                 : Akmal Nasery Basral

Tahun Terbit       : 2013

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Peberbit               : Gramedia Pustaka Utama

Tebal                    : xx + 514 halaman

ISBN                     : 978-979-22-9620-0

“Iqbal, lihat peta Perancis ini. Kan tidak besar-besar sekali Perancis itu? Kalau di sana ada Napoleon seroang panglima perang yang jago, lalu apa bedanya dengan Bapak di Aceh?” Ucapan Hasan Saleh kepada anaknya yang dilakukan berulang-ulang ini telah mengilhami penulis untuk memilih judul pe-novel-an riwayat hidup Hasan Saleh. Alasan memilih bentuk novel daripada biografi adalah supaya bisa dilakukan dramatisasi dalam kisah hidup Hasan Saleh. Meski terjadi dramatisasi, namun semua peristiwa, percakapan dan tokoh-tokoh semua diambil dari kisah nyata kehidupan Hasan Saleh. Siapakah Hasan Saleh? Hasan Saleh adalah tokoh dibalik lahirnya Daerah Istimewa Aceh.

Hasan Saleh adalah 4 bersaudara dari 3 ayah yang berbeda. Selain Ibrahim Saleh, saudara seayahnya, Hasan Saleh memiliki abang bernama Ismail Syekh dan adik Yakob Aly yang berlainan ayah. Mereka berempat dibesarkan oleh seorang ibu yang sangat kuat di Kampung Pulo Kameng (Pulau Kambing). Sebenarnya mereka bukan asli orang Pulo Kameng. Kakek Hasan bernama Teungku Chick di Daluenglah yang pertama pindah ke Pulo Kameng.

Hasan kecil adalah anak yang periang dan lucu. Dalam bercakap sering dia menjawab dengan jawaban-jawaban yang tak terduga sama sekali. Sifat periangnya ini terus terbawa hingga dewasa. Bahkan cara mendekati calon istrinya Cut Asiapun Hasan melakukannya dengan cara yang mengundang senyum. Supaya bisa kenal dengan keluarga Asiah, Hasan sengaja menjatuhkan kelapa yang diunduhnya ke halaman rumah Asiah.

Berbeda dengan Ibrahim, abangnya, pada mulanya Hasan tak berminat menjadi tentara. Ibrahim bahkan terlibat pembunuhan seorang kontroler Belanda di Seulimun. Dari sejak kecil Hasan diarahkan untuk meneruskan profesi kakeknya sebagai seorang teungku. Itulah sebabnya Ismail (Bang Ma’e) menyekolahkannya ke sekolah agama. Hanya karena coba-coba saat Jepang membuka lowongan calon perwira, Hasan akhirnya menjadi tentara. Meski sudah menjadi tentara, dan sering dipanggil Teungku Peudeung Panyang, Hasan masih mengajar di Sekolah Rakyat Islam.

Karier militernya dimulai sebagai Wakil Komandan Peleton 1 berpangkat Sersan di Kompi III yang ditempatkan di Meureudu. Karier militer Hasan terus menanjak di jaman pendudukan Jepang. Setelah naik menjadi Komandan Peleton III, dia diangkat menjadi wakil Komandan Kompi dan ditempatkan di Lamno untuk menjaga gudang perang pasukan Jepang (hal. 117).

Keterlibatan Hasan dalam militer tak lepas dari pergolakan Aceh yang menentang Belanda. Ulama Aceh mendirikan Persaudaraan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang dipimpin oleh Teungku Daud Beureueh.

Mengapa orang Aceh membenci Belanda tetapi bisa menerima Jepang? Jawabannya adalah karena: (1) perseteruan antara uleebalang dengan kaum ulama telah terjadi sejak lama dan Belanda lebih memihak kepada para uleebalang, (2) Belanda mengkafirkan rakyat karena menyebarkan agama selain Islam, sedangkan Jepang tidak, (3) Jepang adalah sesama orang Asia dan punya semangat untuk membantu bangsa Asia lainnya untuk lepas dari penjajahan (hal. 138).

Saat Jepang kalah perang, para ulama Aceh mendukung berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Teungku Daud Beureueh menyerukan Maklumat Ulama Seluruh Aceh” supaya seluruh rakyat mendukung “Maha Pemimpin Sukarno (hal. 144). Dukungan yang besar itu bahkan telah mengubah cara berpakaian orang Aceh. Jika dulunya bersarung, kini mereka lebih suka memakai celana panjang dan baju pantalon dan berpeci. Ucapan assalammu’alaikum diganti dengan seruan pekik “Merdeka” (hal. 144). Di saat yang sama para uleebalang malah mendukung Belanda. Teuku Keumangan dan Teuku Daud Cumbok membentuk pasukan untuk melawan para ulama. Maka pecahlah perang antara pasukan Teuku Daud Cumbok dengan laskar rakyat yang didukung ulama. Pada awalnya pasukan Daud Cumbok memenangkan perang dan membumihanguskan Metareuem. Namun akhirnya pasukan Republiken berhasil mengalahkannya.

Dalam rangka menghambat pergerakan pasukan NICA, banyak tentara dari Aceh diperbantukan ke Medan Area (Resimen Istimewa Medan Area - RIMA). Salah satu tentara tersebut adalah Hasan Saleh yang memimpin Batalion III. Dalam rangka tugas menghambat pasukan NICA, Hasan Saleh hampir tebunuh di Jembatan Stabat. Dia dihujani peluru oleh pesawat Belanda saat mengendarai sepeda motor BSA. Namun dia selamat. Pada akhirnya Pangkalan Brandan jatuh ke tangan NICA. Tambang minyak ini dibumi-hanguskan oleh tentara Belanda.

Pada tanggal 5 Juni 1947, Sukarno datang ke Kutaraja. Sukarno bertemu dengan Daud Beureueh yang saat itu menjadi Gubernur Militer, didampingi dua deklarator Makmulamt Ulama Seluruh Aceh, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri dan Teungku Hasan Krueng Kalee. Daud Beureueh menyodorkan surat jaminan kepada Sukarno untuk ditandatangani, bahwa perjuangan kemerdekaan adalah untuk menegakkan agama Allah. Sukarno menolak secara halus untuk menandatangani surat tersebut, tetapi menjanjikan bahwa rakyat Aceh boleh mengatur dirinya sendiri sesuai syariat Islam (hal. 227). Kesetiaan Aceh terbukti saat Sukarno-Hatta ditahan Belanda. Aceh tetap menyatakan sebagai wilayah Republik Indonesia. Perjuangan mereka akhirnya terwujud dengan dibentuknya Provinsi Otonomi Aceh pada tanggal 1 Januari 1950. Namun pada tanggal 14 Agustus 1950, Acting President Mr. Assaat membubarkan provinsi ini. Dan saat Wakil Presiden Muhammad Hatta akhirnya ke Aceh untuk menjelaskan bahwa syariat Islam tidak sesuai dengan NKRI, Daud Beureueh menyatakan:

… maka dengan ini, atas nama seluruh rakyat Aceh, saya serahkan mandate sepenuhnya kepada Bung Hatta untuk membubarkan Provinsi otonomi Aceh kapan saja, bahkan mala mini juga! Tetapi jika itu terjadi, kami akan membangun negara dengan cara kami sendiri!” (hal. 238)

Inilah titik awal keretakan hubungan Aceh dengan NKRI. Jika Sukarno mengibaratkan pusat pemerintahan di Yogyakarta (waktu itu) adalah paying, maka Aceh adalah tangkainya, maka pidato Daud Beureueh ini bagai paying lepas dari tangkainya. Pada saat itu Hasan Saleh adalah Komandan Balation Aceh Besar merangkap Komandan Garnisun Kota.

Sebelum peleburan Provinsi Otonomi Aceh terjadi, Hasan Saleh berangkat ke Sulawesi Selatan bersama dengan pasukannya, yaitu Batalion 110 Seulawah Jantan. Kedatangan Hasan Saleh ke Sulawesi Selatan adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan Kahar Muzakkar. Alih-alih berperang dengan pasukan Kahar Muzakkar, Hasan Saleh malah dipercaya oleh Kahar Muzakkar sebagai pihak untuk bernegosiasi dengan pihak RI. Hasan Saleh berhasil memadamkan pemberontakan kahar Muzakar secara damai.

Selanjutnya Batalion 110 Seulawah Jantan ditugaskan ke Maluku untuk menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan. Hasan Saleh merasa bahwa persenjataan pasukannya tidak memadai untuk berperang. Dia melakukan lobi supaya tentaranya mendapatkan persenjataan yang cukup dan statusnya batalionnya tetap berada di Wilayah Teritorium I (Sumatra Timur dan Aceh). Lobinya berhasil sehingga setelah selesai tugas, Batalion 110 dikembalikan ke Medan.

Saat kembali ke Medan, kondisi Aceh sudah mulai bergolak. Persiapan Aceh untuk mengobarkan perang dengan Republik sudah tak bisa dibendung. Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin langsung oleh Daud Beureueh yang kecewa dengan Republik. Hasan Salehpun ikut mendukung pemberontakan ini. Saat persiapan akhir, ternyata Hasbalah dan 9 perwira lainnya yang tinggal di Medan tidak jadi ikut mendukung. Hanya pasukan Ibrahim Saleh yang saat itu ada di Sidikalang yang siap membawa pasukannya kembali ke Aceh. Pemberontakan tidak berjalan baik karena pasukan Daud Beureueh kalah jumlah dan kalah amunisi. Hasan Saleh mengusulkan perang gerilya dengan sebutan Komando Pantai Tiro. Awalnya strategi ini ditentang oleh Daud Beureueh, namun akhirnya strategi ini disetujui dan Hasan Saleh diangkat menjadi Pelaksana Tugas Panglima (hal. 394).

Hasan Saleh merasa bahwa peperangan tak bisa dilanjutkan. Apalagi dukungan dari Hasan Tiro, seorang mahasiswa Aceh yang ada di Amerika Serikat ternyata tidak cukup besar. Melalui pembicaraan damai dengan kawannya saat sekolah perwira Jepang, yaitu Syamaun Gaharu yang menjadi Komandan Resimen TNI di Aceh diikrarkan perdamaian Ikrar Lam Teh yang berisi: (1) Menjunjung tinggi kehormatan Agama Islam, (2) Menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan rakyat Aceh, (3) Menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan daerah Aceh. Ikrar Lam Teh inilah yang menjadi titik balik perdamaian di Aceh.

Hasan Saleh melakukan pembicaraan penghentian peperangan. Ide penghentian perang ini membuat Hasan Saleh berseberangan dengan Daud Beureueh. Hasan Saleh melakukan pembicaraan dengan Perdana Menteri Juanda, KSAD Jenderal Nasution dan wakil perdana menteri Mr. Hardi. Akhirnya Mr. Hardi datang ke Kutaraja untuk melakukan perundingan. Mr Hardi bertemu dengan Dewan Revolusi Aceh, yaitu Ayah Gani sebagai ketua Dewan Revolusi, Al Mujahid sebagai Wali Negara dan Hasan Saleh sebagai Pelaksana Tugas Panglima. Tuntutan Hasan Saleh hanya satu, yaitu Aceh dijadikan Daerah Istimewa. Meski pada awalnya Mr Hardi sangat keras menolak, tetapi akhirnya Republik Indoneisa mengabulkan permintaan tersebut. Pada tanggal 26 Mei 1959 Pemerintah Republik Indonesia mengakui berdirinya Daerah Istimewa Aceh. Bersama dengan pengakuan tersebut 10.000 pasukan dan pegawai negeri yang terlibat DI/TII mendapat amnesti dan posisinya dikembalikan.

Akmal Nasery Basral sangat berhasil membangun karakter tokoh-tokohnya dalam novelisasi riwayat hidup Hasan Saleh. Terutama tokoh utama, Hasan Saleh yang periang, kadang-kadang kocak tetapi memiliki karakter yang sangat kuat dalam memperjuangkan sesuatu. Hasan Saleh juga digambarkan seorang lelaki yang sangat mencintai istri dan anak-anaknya.

Akmal Nasery Basral secara rendah hati menyampaikan bahwa: “otoritas untuk menguji peristiwa sejarah…sebaiknya tetap di tangan sejarawan yang memiliki kredibilitas teruji dan sudah diakui kepakarannya di dunia akademis,” (hal. xix). Namun demikian tetaplah banyak fakta tentang sejarah Aceh yang bisa ditimba dari novel ini.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler