x

Iklan

pebri tuwanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menanti Lahirnya Merpati

Nilai-nilai merpati yang melengkapi sisi ular politisi adalah suatu harapan untuk kemajuan bangsa. Harapan demi masa depan yang lebih baik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang Sejarawan Inggris pada abad ke-19, Lord Action pernah menyatakan bahwa “Power tends to be corrupt, and absolute power corrupts absolutly”. Pendapat ini menekankan bahwa kekuasaan memang cenderung disalahgunakan, utamanya kekuasaan yang mutlak. Beberapa puluh tahun kemudian, Presiden ke-16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln, mengemukakan pendapatnya terkait kekuasaan dalam politik, “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power”. Ya, memang hampir semua orang tahan terhadap kesengsaraan, tetapi jika ingin menguji karakternya maka berilah ia kekuasaan. Sebenarnya apabila dicermati lebih dalam, baik Abraham Lincoln maupun Lord Action, keduanya percaya bahwa kekuasaan itu adalah suatu ujian, apakah seorang pemimpin itu mampu menjaga amanah yang diembannya atau justru sebaliknya, menyalahgunakan amanah tersebut untuk kepentingan-kepentingan yang tidak sepatutnya. Meskipun pendapat ini sudah dikemukaan berpuluh-puluh tahun yang lalu, tetapi pada kenyataannya masih relevan untuk diterjemahkan dalam dinamika politik yang berjalan di negri ini.

            Berjalan jauh ke depan, mengutip riset Serena Chen yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psychology, 2001, tentang hubungan antara kuasa dan tanggung jawab sosial. Michael menulis individu pemegang kuasa yang mementingkan egonya tak akan membantu rekannya meski telah ditugasi membantu. Sebaliknya, mereka yang melepaskan egonya atas kekuasaan, tetap membantu temannya. Ini artinya untuk menyalahgunakan kuasanya, bergantung pada motif dan ego setiap individu. Pendapat ini lebih menekankan pada bagaimana seorang individu yang mampu mengontrol dirinya tidak akan menyalahgunakan kekuasaan yang diembannya. Dari serangkaian pendapat diatas setidaknya mampu memberi gambaran kepada kita, bahwa ego dari setiap pemimpin memainkan peran yang krusial terutama ketika memilki suatu kekuasaan/ power.

            Lalu bagaimana dengan Indonesia?  Sejauh ini yang terlihat adalah oknum-oknum yang ketika muncul peluang, terlebih saat ada tekanan, mereka yang tak punya sistem kendali diri akan mudah terjatuh dalam penyalahgunaan kekuasaan. Dampak yang paling dirasakan ketika terjadi penyalahgunaan kekuasaan tentu adalah kinerja yang dihasilkannya. Terlalu disibukkan oleh agenda-agenda pribadi atau kelompok tertentu hingga mengabaikan apa yang jadi tanggung jawab utamanya. Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen) bahkan menilai kinerja DPR periode 2014-2019 pada tahun ini sebagai yang terburuk sepanjang sejarah. Tidak hanya asal bicara, pendapat ini didasarkan pada seringnya anggota dewan tersandung masalah etika. Teraktual tentu tengok saja drama politik yang berjalan di penghujung tahun 2015 terkait peristiwa ‘papa minta saham’. Dinamika yang berjalan di Sidang MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) yang seharusnya menjaga marwah kehormatan dewan justru tidak menyentuh substansi permasalahan karena pertanyaan-pertanyaan justru memojokkan saksi. Bukan hanya masalah etika, dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2015 DPR masih menyisakan utang RUU sebanyak 37 RUU itu artinya DPR hanya berhasil menyelesaikan sekitar 7,5% dari RUU tahun ini. Sementara pembahasan RUU belum terlaksana, pada bulan Juli lalu DPR malah menambah tiga pembahasan yang akan dimasukan ke Prolegnas 2015. Bukan hanya itu, tanpa perlu berkaca atas kinerjanya selama ini, DPR masih mengusulkan pembangunan gedung yang konon menyerap anggaran hingga Rp. 1,6 triliun. Bukan hanya DPR, tapi kasus pejabat pemerintah yang tersangkut kasus korupsi juga tidak ada habisnya. Mulai dari para mantan menteri, gubernur, hingga walikota di beberapa daerah terus menunjukkan eksistensinya di ranah korupsi negri ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Terus terang saja rakyat pasti merasa dikhianati dan kecewa oleh mereka yang mengaku sebagai wakil rakyat atau pemimpin tetapi justru menyalahgunakan kekuasaannya. Apa yang diharap-harapkan dari pesta demokrasi lima tahunan pada kenyataannya tidak membawa ke arah progress yang baik, justru sebaliknya mengalami kemunduran. Bahayanya hari demi hari perilaku tidak beretika para pejabat selalu saja muncul, kesalahan-kesalahan ini terus diulang-ulang hingga lama-lama masyarakat sudah bosan dan memakluminya, lebih dari itu etika buruk ini berangsur-angsur  menjadi budaya. Lihat saja para pejabat yang biasanya dikritik mahasiswa biasanya menggunakan kalimat pelarian untuk melakukan pembenaran, bahwa sudah biasa mahasiswa dengan semangat dan idealismenya tinggi sehingga menuntut macam-macam, seolah-olah karena mahasiswa belum pernah pegang jabatan jadi belum tahu gimana rasanya cari uang. Akhirnya kalau sudah seperti ini masa depan negri yang akan dipertaruhkan karena generasi mudanya yang kebingungan dalam mencari panutan. Generasi muda yang saat ini melihat seniornya duduk sebagai pejabat akan melihat bahwa praktik-praktik kotor penyalahgunaan wewenang adalah hal yang wajar, bukan tidak mungkin besok ketika menjabat akan meniru, dengan dalih pembenaran bahwa praktik kotor tersebut sudah membudaya dan penyalahgunaan wewenang adalah hal yang sudah biasa terjadi di negri ini.

Pada kenyataannya memang praktik penyalahgunaan wewenang adalah sesuatu yang lazim ditemui dalam demokrasi yang rapuh. Dikatakan rapuh karena dalam praktiknya penegakan hukum terbilang lemah sehingga tidak mampu menjalankan pengawasan dan penindakan atas penyalahgunaan wewenang. Disisi lain praktik demokrasi liberal yang berjalan menuntut biaya politik yang mahal, sehingga hanya orang-orang tertentu dengan sumber daya ekonomi yang kuat yang mampu memperoleh kekuasaan. Lalu dalam rangka mengembalikan biaya politik yang mahal, maka para kader parpol akan melacak berbagai sumber-sumber keuangan yang ada untuk dijadikan sapi perah.

Seorang filsuf Jerman yang dikenal sebagai pemikir paling berpengaruh dalam zaman pencerahan, Immanuel Kant (1724-1804), pernah berkata “Jadilah cerdik seperti ular dalam berpolitik dan tulus seperti merpati”. Pada kenyataannya memang banyak para pemimpin negri ini yang dalam bermanuver terlihat cerdik, luwes, mematikan, serta selalu berkelak-kelok untuk mengecoh dengan licik layaknya ular.  Semua hal itu memang penting dimiliki oleh seorang politisi dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Sayangnya kelebihan itu justru terkadang bermuara pada penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Mereka yang menyalahgunakan wewenang perlu satu keahlian tertentu yakni berbohong. Dalam teori psikologi, berbohong adalah suatu hal yang lebih sulit dilakukan dibanding bicara benar. Hal ini karena ketika berbohong mengharuskan otak manusia untuk berfikir lalu mengkontruksi cerita-cerita tertentu agar terkesan seperti benar adanya. Untuk melakukan keahlian ini tentunya diperlukan kecerdikan dan keluwesan yang dimiliki oleh politisi dengan sifat ularnya. 

Namun, jangan lupa Kant juga menegaskan bahwa dalam berpolitik diperlukan ketulusan seperti merpati. Merpati adalah burung yang mampu terbang puluhan kilometer lalu kembali ke tempat asalnya. Merpati juga dikenal sebagai burung yang hidup damai dalam suatu kelompok dan saling tolong menolong. Ketulusan inilah yang sebenarnya dinantikan oleh rakyat, tetapi dilupakan oleh pemimpin negri ini. Contoh sepele tentang ketulusan ini adalah ketulusan dalam hal ‘maaf-memaafkan’.

Lihatlah saat gonjang-ganjing kasus ‘papa minta saham’ hingga kini tidak ada itikad baik untuk meminta maaf atas perbuatan tersebut. Kalaupun ada, itu pun hanya sebatas permintaan maaf atas kegaduhan politik yang ditimbulkannya, sehingga permintaan maaf ini hanya sebatas sensasional belaka. Jangan pula mencontoh permintaan maaf dari maskapai penerbangan yang terlambat jadwal penerbangannya, karena permintaan maaf yang normatif seperti ini justru cenderung mengulang-ulang kembali kesalahannya. Kita butuh pemimpin yang sehat dalam maaf-memaafkan dimana berani mengakui secara jujur kesalahannya lalu meminta maaf untuk selanjutnya benar-benar tidak akan mengulanginya lagi.

 Lebih dari itu alangkah indahnya negri ini apabila dipimpin oleh dia yang bersedia memaafkan orang lain padahal dia yang sebenarnya telah disakiti. Tentu tidak mudah mencari pemimpin utamanya politisi yang berjiwa sehat seperti ini. Contoh pemimpin yang seperti ini adalah, Nelson Mandela, dimana dunia dibuat terpesona oleh kebesaran hati pemimpin yang telah dipenjara selama 27 tahun ini. Saat keluar dari penjara lalu ditanya apakah masih menyimpan dendam dan amarah atas penghinaan, kekerasan, serta penganiayaan yang dilakukan oleh lawan politiknya, Mandela dengan bijak menjawab “Memang ada rasa marah bahkan takut, karena kehilangan kebebasan sekian lama, tetapi jika saya melangkahkan kaki keluar dari penjara dan tetap menyimpan dendam, itu berarti saya masih terpenjara oleh mereka. Karena saya ingin bebas seutuhnya maka saya tinggalkan rasa marah itu di belakang, dan saya memaafkan semua yang terjadi.”

Mari resapi kembali pengaruh dari jawaban Mandela ini. Kisah ini telah mengilhami dunia untuk mengahapuskan diskriminasi ras yang terjadi khususnya di Afrika Selatan hingga meluas ke berbagai penjuru dunia. Melalui jiwa besarnya ini dunia menjadi terbuka matanya dan justru mereka yang telah menyakiti Mandela merasa malu atas perbuatannya. Lebih dari itu kondisi perpolitikan di Afrika Selatan juga sedikit demi sedikit lebih stabil, bahkan negara ini terbilang lebih maju apabila dibanding negara-negara Afrika lainnya. Bayangkan saja seandainya Mandela memilih untuk kembali menyulut api permasalahan dengan menyerukan pembalasan dendam atas derita rakyat Afrika Selatan maka masalah diskriminasi ras yang terjadi tidak akan pernah selesai atau malah akan menjadi semakin runcing. Kepemimpinan seperti ini yang dibutuhkan dalam kancah perpolitikan Indonesia seandainya memang ingin mendobrak kebobrokan moral para politisi kita. Kita butuh pemimpin yang cerdik dan luwes layaknya ular, tetapi juga harus diimbangi dengan ketulusan hati  layaknya merpati. Sebagai bangsa yang terkenal akan kearfian lokalnya tentu seharusnya sangat mudah untuk menemukan para merpati-merpati baru. Apabila para politisi senior kita tidak mampu meberi contoh ketulusan ala merpati, maka mari kita mulai dari diri kita sendiri, bagaimana cara kita menjadi pemimpin atas diri kita sendiri lalu menerjemahkannya di lingkungan masing-masing.

Pada hakikatnya essensi dari manusia adalah tindakannya. Pada akhirnya, perbuatan manusialah yang mengubah diri dan lingkungan hidupnya, bukan sekedar kata-kata atau pikirannya. Ya, keinginan dan pemikiran saja tidak akan merubah apapun dari negri ini, kecuali diwujudkan dalam suatu tindakan konkret. Tidak sedikit di manusia-manusia di negri ini yang menguasai pengetahuan filosofis, historis, normatif mengenai apa yang salah dan benar. Namun, selama tidak memiliki kontrol diri yang diterjemahkan dalam bertingkah laku, bertindak, dan turun melaksanakan gagasan-gagasan tersebut maka sama sekali tidak akan ada perubahan. Lebih baik tahu sedikit mengenai apa yang benar dan salah, tetapi dijalankan dalam setiap tindakannya.  Bersama dengan pemimpin yang berjiwa besar serta keyakinan kuat dan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari pasti kita akan mampu membangun masa depan bangsa menjadi lebih cerah.

(tulisan ini sebelumnya telah dikirim untuk buku "Bicara Harapan" sebuah proyek buku digital mengenai harapan di tahun 2016)

Ikuti tulisan menarik pebri tuwanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler