x

Perahu nelayan tertambat di dermaga akibat air laut yang surut di Pantai Dadap, Kosambi, Tangerang, Banten, 11 Agustus 2014. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat.

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demi Tugas, Nyawa Pun Hampir Melayang

Namanya Abdul Wahab. Dia saat ini menjadi salah satu pejabat di Provinsi Sulawesi Barat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Namanya Abdul Wahab. Dia saat ini menjadi salah satu pejabat di Provinsi Sulawesi Barat. Saat datang ke Jakarta untuk urusan dinas, saya bertemu dengannya. Saya dikenalkan padanya oleh Pak Acho Maddaremmeng, kawan satu angkatannya di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Pak Acho sendiri adalah Kepala Bagian Humas di Kementerian Dalam Negeri. 
 
Saya sendiri, sering meliput di kementerian yang sekarang dipimpin Tjahjo Kumolo. Kementerian Dalam Negeri bisa dikatakan pos utama liputan saya. Di salah satu pojok ruangan di kementerian itulah, Pak Acho mengenakan saya dengan Wahab, kawan satu angkatannya. 
 
Dan, ditemani Pak Acho, sembari mereguk kopi hitam, saya berbincang ngalor ngidul dengan Wahab. Saya memanggilnya Pak Wahab. Dalam bincang-bincang santai itulah, Pak Wahab bercerita tentang penggal kisah hidupnya yang tak pernah ia lupakan. Sebuah kisah hidup dramatis. 
 
Pak Wahab bercerita, dulu selepas dirinya lulus dari Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) yang sekarang bernama IPDN, ia ditempatkan di sebuah kecamatan yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Di Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Kepuluan Pangkajene, tepatnya ia ditugaskan. 
 
Dari Makassar ke kecamatan Liukang Tangaya, kata Pak Wahab, bukan perjalanan yang bisa ditempuh dengan tenang. Ketika itu, menuju ke kecamatan tempatnya mengabdi, mesti mengarungi lautan. Dan, belum ada perahu semacam kapal laut milik Pelni yang melayari rute Makassar ke Kecamatan Liukang Tangaya, Kepulauan Pangkajene. 
 
"Pakai perahu tradisional, Mas. Bila tak ada angin kencang mungkin 6 jam-an kita bisa sampai ke sana," kata Pak Wahab. 
 
Praktis karena harus naik perahu kayu ala nelayan tradisional, perjalanan tak senyaman pakai kapal laut atau speedboat. Suatu ketika, ketika ia hendak menuju kecamatannya bertugas, angin bertiup kencang. Padahal ketika itu, ia sedang di atas perahu kayu. Tidak bisa dihindari, angin kencang pun membuat perahunya terombang-ambing. Ombak lautan seperti murka, tingginya hampir 10 meter. 
 
Perahu kayu yang ditumpanginya pun terseret amuk gelombang. Ia sudah pasrah. Dalam pikirannya yang terbayang wajah-wajah orang yang sangat dicintainya. Maut terasa dekat. Hanya doa yang tersekat dalam tenggorokan, memohon Tuhan memberi kesempatan hidup. 
 
"Tuhan mendengar doa saya. Saya terdampar di sebuah pulau. Akhirnya nelayan menolong saya, sampai akhirnya saya tiba di kecamatan tempat saya bertugas," tuturnya.
 
Terdampar di pulau, di amuk badai, tak hanya terjadi sekali. Bahkan yang paling dramatis, ketika ia kembali melakukan perjalanan dari Makassar ke Kecamatan Liukang Tangaya. Ketika itu, ia masih mengandalkan perahu kayu nelayan untuk mengarungi lautan. 
 
Dan yang dikhawatirkan terjadi. Badai datang. Angin bertiup kencang. Langit gelap. Setelah itu, perahu dilempar ke sana kemari oleh ombak yang terasa seperti murka. 
 
"Tiang layar perahu patah. Perahu terasa bocor. Saya pun udah pasrah, masuk saja ke dalam sebuah kotak kayu. Saya tak bisa berpikir apa-apa lagi, selain yang terbayang, mungkin saya tak akan selamat lagi," kenang Pak Wahab, mengingat kembali masa pengabdiannya di Kecamatan Liukang Tangaya yang penuh perjuangan. 
 
Tiga hari, kata Pak Wahab, ia terombang-ambing di lautan. Di dera lapar, juga rasa cemas. Antara hidup dan mati, ia terus berharap, semoga Tuhan masih tetap bermurah hati, memberinya kesempatan menikmati sisa hidup. 
 
"Dan syukur Alhamdulillah, saya selamat. Ternyata ketika sadar, ditolong sebuah kapal, saya sudah terdampar di perbatasan Lombok - Bali," kata dia. 
 
Akhirnya, ia pun bisa menginjakkan kaki di Bali. Dari Pulau Dewata, ia naik pesawat menuju Makassar. Saat tiba di Bandara Hasanuddin, ia bertemu dengan sesama alumni STPDN, bahkan kawan satu angkatannya, Acho Maddaremmeng. Acho sendiri ketika bertemu sangat kaget melihat kawan satu angkatannya datang kondisi lusuh. Pada Acho kawan satu angkatannya, ia kembali menceritakan kisahnya terombang ambing di lautan tiga hari lamanya hingga terdampar di perbatasan Bali-Lombok.
 
"Saya hampir mati, terdampar di perbatasan Bali-Lombok," kata Wahab. 
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB