x

Sejumlah praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri meluapkan kegembiraan usai upacara wisuda IPDN di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Kamis (6/9). TEMPO/Prima Mulia

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mau Sekolah, 100 Tokoh 'Menghadang'

Selepas lulus dari IPDN, waktu itu masih bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Neger ia ditempatkan bukan di kota. Tapi dikirim ke pelosok Sulawesi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Namanya Basiran. Wajahnya agak tirus. Badannya tinggi. Tapi, tubuhnya tak terlalu gemuk. Bahkan agak kerempeng. Satu yang membuat saya suka ngobrol dengannya adalah selera humornya yang tinggi. Kerap tertawa lepas, bahkan tak segan ngajak. Selalu saja ada gelak tawa kalau mengobrol dengannya. 
 
Saya pertama bertemu dengannya saat ikut meliput kunjungan kerja Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, ke Desa Long Nawang, Kalimantan Utara. Saat itu, Basiran ikut sibuk menyambut kedatangan Menteri Tjahjo. Basiran sendiri  adalah Kepala Biro Umum dan Humas Provinsi Kaltara.
 
Pertemuan kedua terjadi saat saya meliput persiapan Kaltara menyambut pemilihan kepala daerah serentak, Desember 2015. Di sela-sela liputan itulah, Basiran sempat mengajak saya mengobrol ngalor ngidul di ruang kerjanya. Seperti biasa, Basiran selalu melempar joke-joke segarnya. Dan, dalam obrolan di ruang kerjanya itulah, Basiran bercerita awal mula dia jadi birokrat. Basiran sendiri lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) angkatan kedua. Bisa dikatakan, Basiran adalah alumni sekolah birokrat yang masuk kategori senior. 
 
Selepas lulus dari IPDN, waktu itu masih bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), ia ditempatkan bukan di kota. Tapi dikirim ke pelosok Sulawesi. Kala itu, pemerintahan Soeharto punya program pengentasan daerah tertinggal atau biasa dikenal dengan program Inpres Desa Tertinggal. Ia masih ingat, Menteri Dalam Negerinya ketika itu adalah Yogie S Memet. 
 
"Pertama tugas langsung dapat perintah Presiden Soeharto. Mendagrinya ketika itu Pak Yogie S Memet. Ya ketika itu, Mendagri ingin mendukung Inpres Desa Tertinggal. Dikirimlah kita ke daerah," katanya.
 
Ia dikirim ke sebuah kecamatan di Sulawesi. Kecamatan yang jadi tempat tugas pertamanya, sangat minim fasilitas. Bahkan listrik pun tak ada. Basiran pun masih ingat kendaraan dinas pertamanya yang ia pakai di sana. Katanya, saat mulai bertugas, pihak kecamatan meminjamkan dia sebuah motor Honda Win.
 
"Motor Win, saya ingat. Tapi itu mas, motor itu seringnya menyusahkan saya, sering mogok. Dan, kalau mau menyalakan, harus berbusa dulu paha saya baru nyala," kata Basiran.
 
Ada 20 desa kata dia, yang jadi sasaran Inpres Desa Tertinggal yang jadi pantauannya. Dia bertugas sebagai pendamping. Dengan motor Win yang sering mogok itu, ia keliling dari desa ke desa. Tapi katanya, banyak desa yang ternyata susah dijangkau pakai motor. 
 
"Sering saya tinggalkan motor pinggir hutan, lalu jalan kaki menuju desa tempat program Inpres Desa Tertinggal.  Keliling kita tanpa kenal hujan dan malam. Semangat 45 pokoknya," ujar Basiran.
 
Infrastruktur jalan menuju desa-desa yang jadi sasaran program, lanjut Basiran, sangat buruk. Tidak ada jembatan permanen yang jadi penghubung jalan saat melintas sungai. Jembatan rata-rata terbuat dari batang pohon kelapa. Medan tugasnya pun bukan mudah untuk di jangkau. Antar desa banyak yang dipisahkan bukit atau gunung kecil. Melintas hutan jadi menu sehari-sehari. 
 
"Ngeri, di atas gunung,  kiri kanan hutan. Saya kadang pulang malam, melewati hutan," katanya.
 
Ia masih ingat, bila lapar mendera, terpaksa meminta makanan atau buah-buahan ke petani di kebun. 
 
"Apa yang dimakan petani itulah yang kita makan," ujarnya.
 
Sampai akhirnya, ia pun dapat kesempatan ikut seleksi untuk sekolah lagi di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta. Basiran waktu itu berpikir, pergi sekolah adalah kesempatannya untuk memperbaiki karir dan keluar dari medan tugas yang berat. Namun ternyata keinginan untuk sekolah tak berjalan mulus. Masyarakat di sana sudah kadung suka dengan cara kerjanya. Bahkan sempat menghalanginya agar tak pergi dari sana. 
 
"Ada 100 tokoh masyarakat datang ke Pak Bupati. Datang mereka, dipanggil saya. Saya katakan mau kuliah ke IIP. Tapi, tokoh-tokoh yang datang minta saya jadi lurah dulu, jangan pergi sekolah," kata Basiran, mengenang kembali kisahnya dulu saat di datangi 100 tokoh. 
 
Untungnya kata Basiran, tokoh-tokoh yang awalnya hendak mencegah dia pergi, akhirnya dapat mengerti. Ia pun di ijinkan untuk sekolah ke Jakarta. 
 
"Itulah kisah saya mas," ujar Basiran. 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler