Pada puncak Hari Pers Nasional 2016 atau biasa disingkat HPN yang digelar di Nusa Tenggara Barat (NTB), saya beruntung dapat hadir. Acara tersebut di hadiri oleh Presiden Joko Widodo. Dan yang menarik, acara puncak HPN 2016 di NTB, digelar bukan di hotel atau di ruangan tertutup. Tapi, acara puncak HPN di tempat terbuka. Acara di gelar di tepi pantai Kuta, Lombok yang ada di kawasan Mandalika.
Pagi-pagi saya dan beberapa wartawan sudah meluncur ke tempat acara. Biasanya, kalau acara dihadiri Presiden, penjagaan akan ketat. Sialnya lagi, saya dan beberapa wartawan yang satu rombongan, belum dapat kartu ID yang dikeluarkan panitia HPN. Memang ngehek panitia HPN.
Maka, karena belum dapat kartu ID, kami dengan diantar Kepala Bagian Humas Kementerian Dalam Negeri, Acho Madderemmeng meluncur pagi-pagi sekali dari hotel tempat menginap selama di NTB. Bahkan saat mobil yang akan bawa kami ke Mandalika meluncur keluar hotel, kabut tipis masih menyelimuti. Jalanan juga masih sepi. Belum begitu banyak kendaraan yang lalu lalang.
Hanya kurang dari setengah jam, kami sudah tiba di Mandalika. Karena acara masih lama, dan Presiden juga belum datang, Pak Acho mengajak kami ke sebuah cafe yang ada di dalam komplek Sekar Kuning bungalow. Suasana cafe di Sekar Kuning masih sepi. Hanya ada satu pasangan turis bule sedang ngopi di sudut cafe.
Setelah dapat tempat duduk, kami pun memesan minuman. Saya pesan secangkir kopi untuk segarkan tubuh yang lumayan masih lelah. Apalagi tadi harus bangun pagi-pagi.
Makin menuju siang, suasana di dekat tempat perayaan HPN kian ramai. Tamu-tamu undangan mulai berdatangan. Para polisi pun sibuk mengatur lalu lalang kendaraan yang melintas di sekitar tempat acara HPN. Tentara pun banyak berjaga, bersenjata lengkap di setiap sudut. Maklum yang datang adalah Presiden.
Tamu-tamu penting pun mulai berdatangan, mulai dari bos media, ketua partai, hingga menteri. Sampai menjelang pukul sepuluh pagi, suasana makin hiruk pikuk. Duduk satu meja dengan saya, beberapa wartawan, antara lain Dita dari Koran Sindo, Ima wartawan Media Indonesia, Ken Girsang reporter JPNN.com, dan Nadlir dari Viva.co.id.
Saat sedang asyik-asyiknya menikmati kopi, tiba-tiba Nadlir berteriak. " Eh Dit, bosmu datang itu," kata Nadlir sambil mengarahkan telunjuknya ke sebuah mobil Alphard yang berhenti di pinggir jalan tepat di depan pintu masuk yang mengarah ke tempat acara HPN.
Dita pun kaget, dan langsung berdiri. Ia celingak celinguk coba memastikan apa benar bosnya datang ke acara HPN. Ternyata benar, dilihatnya sosok Hary Tanoesoedibjo pemilik Koran Sindo, keluar berbaju batik di iringi beberapa orang. Dita pun terlihat panik.
"Aduh bosku datang. Pasti disuruh wawancara," katanya dengan muka panik.
Namun Dita kebingungan. Ia tak pegang kartu ID. Tapi untungnya Pak Acho sigap. Ia pun meminjamkan kartu ID atas nama Kartika, staf protokol Mendagri. Tak menunggu lama, Dita langsung menyambar kartu ID tersebut, dan setengah berlari ia bergegas menyusul bos besarnya yang nampak sudah memasuki tenda tempat acara HPN dilangsungkan.
Tidak beberapa lama Dita sudah kembali. Wajahnya berkeringat, maklum udara pantai mulai menyengat. Setelah itu ia langsung duduk di kursi. Katanya, ia gagal mewawancarai bos besarnya. Namun setelah itu, ia kembali bergegas menuju tempat acara. Dan, tak nongol-nongol lagi. Sepertinya dia sudah bisa berhasil masuk dengan kartu ID 'palsunya'.
Kami pun kembali melanjutkan acara ngopi. Karena udara makin terasa menyengat, saya pun kembali pesan minuman. Kali ini, segelas teh manis yang saya pesan. Saya pikir, ini mungkin bisa mengusir sengatan hawa pantai.
Saat sedang asyik-asyiknya mengopi dan ngemil kentang goreng, tiba-tiha dari arah jalan, tampak satu sosok yang tak asing lagi. Seorang pria tinggi besar, brewokan dan berkemeja putih, nampak memasuki halaman cafe. Dia Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem yang juga pemilik Media Indonesia, koran tempatnya Ima bekerja. Ima pun terlihat belingsatan. Wartawati berjilbab dan berparas cantik itu pun sama paniknya dengan Dita. Ia tak menyangka, bos besarnya datang ke acara HPN. Dan itu alamat, ia harus mewawancarainya. Bisa dikatakan, bos besarnya adalah narasumber wajib yang tak boleh luput untuk diwawancarai. Bila lewat, tanpa satu patah kata pun ucapan Paloh dikutip, boleh jadi redaktur di kantor akan mencak-mencak. Ya, itulah susahnya kalau bos pun jadi narasumber.
Mandalika, Lombok, Selasa, 9 Februari 2016
Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.