x

Iklan

Nanda Ruli Maulidiyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sejajar Kaki Zidane

Wow, tres bien. Meskipun ia memuji menggunakan bahasa Prancis tetapi ia lancar berbahasa Indonesia, dan aku pun mulai tertarik untuk belajar bahasa Prancis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kriiingggg…. Suara jam beker kamarku berbunyi. Aku kesiangan hari ini, tadi setelah shalat subuh aku tidur lagi, jadinya kesiangan deh.

            'Hanif, jadi dari tadi kamu belum bangun? Tanya ibu.

            'Iya, Bu, maaf Hanif ngantuk sekali’’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Setelah berpamitan pada ibu, aku langsung berangkat sekolah, kebiasaanku berangkat sekolah dengan berjalan kaki, jarak antara rumahku tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh, sekitar 4 km. Alhamdulillah untung saja aku tidak terlambat, meskipun 5 menit lagi aku sudah pasti tak boleh masuk kelas. Ketika pulang sekolah, tiba-tiba aku teringat ayahku, sejak berumur 7 tahun aku tak pernah lagi bisa menatap wajah ayahku. Ibu juga tak pernah memberitahu kenapa ayahku tak pernah pulang sejak ia diberangkatkan ke Prancis 11 tahun lalu dalam kerjasama Indonesia dengan Prancis dalam bidang militer.Sejak duduk di bangku SMP aku membantu ibu, bekerja sebagai petugas yang membersihkan pesawat di bandara karena aku tak tega membiarkan ibu menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Dulu, ketika masih ada ayah ibu tak boleh bekerja, ayah ingin ibu mengurus anak-anaknya di rumah, tapi ketika ayah tiba-tiba menghilang ibu membuka toko kecil untuk menghidupi aku dan adik perempuanku.

            Ayahku adalah seorang tentara, dan aku sangat merindukannya. Aku tak tahu kapan aku bisa bertemu dengannya, apakah aku harus pergi ke negeri Napoleon Bonaparte itu, Indonesia dan Prancis sangatlah jauh, bahkan untuk pergi ke negeri tetangga saja aku tak berani membayangkan. Sebuah perubahan besar terjadi tepat di usiaku yang ke 18, aku bertemu dengan seorang turis ketika aku sedang membersihkan pesawat, dan parahnya ketika aku sedang bermain bola di dalam pesawat. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu, tapi itulah campur tangan tuhan yang mengantarku pergi ke Prancis. Ia pergi ke Indonesia karena ditugaskan untuk mencari bakat-bakat sepak bola U-19 yang akan TC di klub Paris Saint Germain, Prancis dan orang yang pertama kali ia temukan adalah aku, katanya.

Wow, tres bien. Meskipun ia memuji menggunakan bahasa Prancis tetapi ia lancar berbahasa Indonesia, dan aku pun mulai tertarik untuk belajar bahasa Prancis. Sejak pertemuan itu, aku menjadi sahabat turis yang bernama messieurs Jack Blanc itu, dengan sabar ia mau mengajariku bahasa Prancis. Setiap hari sabtu malam aku datang ke tempatnya untuk belajar bahasa Prancis dan Kata pertama yang ku dengar adalah Bonjour yang artinya bisa selamat pagi, selamat siang dan selamat sore. Bon artinya selamat dan jour artinya hari, jadi bonjour bisa dipakai untuk ucapan selama seharian. Alhamdulillah, aku adalah orang yang sangat beruntung, karena tanpa seleksi aku bisa TC di Prancis, mudah-mudahan saja aku bisa bertemu ayahku dan bertemu Zinadine Zidane, pemain sepak bola asal Prancis yang kuidolakan sejak lama. Yah, impianku memang ingin menjadi pemain sepak bola professional yang bisa go internasional.

            ‘’ Hanif, kamu yakin akan berangkat ke Prancis nak?’’

            ‘’ Iya ibu, Hanif ingin meraih impian Hanif  bu, aku mohon ibu mau mendo’akan dan memberikan restu untuk Hanif’’.

            ‘’ Berhati-hatilah, jaga dirimu baik-baik nak, berjanjilah pada ibu bahwa kamu akan kembali’’ ibu  memelukku sambil menangis.

            Aku berjanji pada ibu bahwa aku akan kembali, mungkin ibu trauma karena ayahku pergi ke Prancis dan tak kunjung kembali hingga sekarang. Dengan berat hati ibu melepas putra kecilnya yang kini tumbuh menjadi remaja yang berjuang meraih impiannya dan berjuang menemukan ayahnya. Sampai detik ini pun ibu tak pernah tahu penyebab menghilangnya ayahku, makanya beliau tak pernah memberitahuku. Hari ini adalah hari keberangkatanku bersama 9 anak Indonesia lainnya yang berangkat ke Prancis, Setelah sampai di bandara internasional Charles de Gaulle, kami langsung menuju camp dan beristirahat. Keesokan harinya kami mendapat pelatihan yang sangat luar biasa, dan tanpa kami sadari ternyata setiap hari permainan kami dipantau oleh seorang Zinedine Zidane yang pada hari terakhir kami TC di klub Paris Saint Germain, tiba-tiba Ia datang dan sorak sorai kami menyambutnya.

            Woooooo,,, suara kami menyambutnya.‘’ Merci beacoup’’ kata Zinadine Zidane. Tiba-tiba ia memangilku maju ke depan dan mengajakku adu juggling dengan berbahasa Inggris karena para peserta berasal dari seluruh penjuru dunia.

            ‘’ Hanif  Fahreza Akbar from Indonesia come forward ’’. Aku maju ke depan dan juggling bersamanya, ia minta kami berdua difoto, saat itu kakiku bisa berdiri tegak sejajar dengan kaki Zidane. Setelah meet and greet dengan Zinedine Zidane, kami diajak jalan-jalan berkeliling beberapa kota yang ada di Prancis.Di dalam bus ia mengajakku sedikit berbicara bahasa Prancis. Meskipun sudah tau namaku ia mengajakku berkenalan lagi.

            ‘’ Je suis Zidane, et vous’’?

‘’ Je’ mapelle Hanif , Je suis Indonesien’’. ‘’ Aaa, Oui.

 Di luar dugaanku rombongan kami sempat berhenti di sebuah masjid yang ada di Prancis, Ketika yang lain menikmati kemegahan masjid, Zinadine Zidane mengajakku menemui imam besar masjid tersebut, Zidane menganggap Imam besar itu adalah orang yang menginspirasinya,ia adalah Pak Imam dari Indonesia. Entah mungkin karena ikatan batin antara ayah dan anak, aku merasa dekat dengan beliau. Ia bertanya padaku.

            ‘’ Siapa namamu nak?’’ ‘’ Hanif Pak’’. Mungkin mendengar nama Hanif Pak Imam ingat dengan putranya di Indonesia.

            ‘’Hanif siapa nak’’?

            ‘’ Hanif Fahreza Akbar Pak’’. Ia langsung memelukku dan bertanya segala tentang identitasku, akhirnya beliau tahu kalau aku adalah anaknya. Ternyata ayah tak kembali ke Indonesia karena ketika tugas ayah sempat kecelakaan dan patah kaki, beliau tak mau pulang karena tak mau membebani ibu dan kami, anak-anaknya. Ayah menjadi imam besar di salah satu masjid di Prancis, dan baru satu tahun ini kakinya pulih kembali, mendapat bantuan pengobatan dari pemerintah Prancis dan duta besar Indonesia. Aku memberi tahu kalau sikap ayah kurang bijak, mungkin kali ini Allah menjawab do’a ayah yang ingin kembali ke Indonesia bertemu keluarganya kembali dan melepas jabatannya sebagai imam besar masjid ke seseorang yang dianggapnya pantas. Perjalanan kali ini bukan hanya perjalanan biasa tapi juga perjalanan hati untuk meraih impian. Terima kasih tuhan, terima kasih Allah. 

Ikuti tulisan menarik Nanda Ruli Maulidiyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB