x

Iklan

Yulia Windari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Terus Berbakti Meski Usia Tidak Muda Lagi

Pak Muslim Asy'ari seorang pendidik dan ustadz yang ingin mengubah masyarakat menjadi lebih baik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sorot matanya menunjukan kebijaksanaan yang beliau pelajari selama hidupnya. Kerutan di wajahnya mengisyaratkan kerja keras yang telah beliau lakukan untuk mencapai “kesuksesannya”. Dan matanya berbinar ketika harus menceritakan pengalaman hidupnya yang bisa dibilang benar-benar dimulai dari nol. Cibiran dan cemoohan sering beliau dapatkan ketika masih muda. Bahkan dari keluarganya sendiri.

Namanya adalah Bapak Muslim Asyari. Beliau adalah seorang pensiunan PNS yang sangat peduli terhadap pendidikan agama di desanya. Waktu-waktu senggang beliau selepas pensiun tidak dihabiskan dengan berdiam diri di rumah. Tidak pernah lupa untuk sholat berjamaah di masjid. Mengisi pengajian-pengajian yang diadakan di desa maupun di kecamatan. Mendidik anak-anak muda untuk belajar Al-quran, dan juga menjadi seorang ayah dan kakek yang baik. Beliau adalah seorang pendidik dan juga seorang ustadz yang sangat dihormati di desa kami. Desa Budiharja Kabuaten Ciamis.

Jalan hidupnya bisa dibilang sangat terjal dan berliku. Dilahirkan di Ciamis 64 tahun yang lalu, Pak Muslim adalah anak satu-satunya dari seorang ibu yang merupakan istri kedua. Menjadi seorang anak dari istri kedua merupakan bahan cemoohan dan sindiran  bukan hanya dari masyarakat sekitar namun terutama dari keluarga istri pertama. Hal tersebut beliau menjelaskan memang sangat berat. Namun beliau mencoba untuk tidak memikirkan hal tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selepas ayahnya tiada, Pak Muslim yang waktu itu sudah selesai SMA mulai mencari pekerjaan. Berbagai macam pekerjaan sudah beliau lakoni baik dari tukang cuci piring di rumah makan yang imbalannya hanya berupa nasi bungkus supaya beliau bertahan hidup,  pekerjaan konstruksi, sampai menjadi kondektur Angkutan Kota.  

Selama menjalani pekerjaan tersebut, Pak Muslim mampu menyisihkan uangnya agar bisa kuliah. Maka ketika uangnya cukup beliau mendaftarkan dirinya untuk berkuliah di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Namun ketika sudah berkuliah pun, Pak Muslim harus tetap bekerja bukan hanya untuk membayar SPP namun juga untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Beliau menceritakan bahwa ketika selesai kuliah beliau menjadi kondektur Angkutan Kota di Bandung supaya tetap bisa kuliah dan mendapatkan uang jajan.

Selesai menyelesaikan kuliah Pak Muslim kembali ke Ciamis untuk mencoba peruntungan untuk ikut Tes CPNS di Departemen Agama di Ciamis (Sekarang Kementrian Agama).  Waktu itu tahun 1983, beliau menjelaskan, beliau berhasil menjadi abdi negara seperti yang dicita-citakan. Selama masa pengabdian beliau sebagai abdi negara di Departemen Agama, beliau adalah seorang pengawas sekolah-sekolah di bawah naungan Departemen Agama seperti Madrasah Ibtidiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Dan dari pengalaman menjadi pengawas tersebut kecintaannya terhadap pendidikan agama mulai tumbuh.

Di samping sebagai PNS di kementrian Agama, Pak Muslim juga dikenal di lingkungan sekitarnya sebagai seorang ustadz yang dihormati, banyak orang yang datang ke rumah beliau untuk mendapatkan saran baik tentang agama maupun tentang masalah-masalah lainnya.  Lingkungan tersebut adalah lingkungan tempat dimana beliau lahir dan  besar. Lingkungan di mana waktu beliau masih kecil suka menyindir dan mencemooh beliau.

Namun beliau tidak mempermasalahkan hal tersebut. Kecintaan terhadap desa kelahirannya dan juga ingin membangun desa tempat kelahiran beliau menjadi hal yang utama. Beliau bercerita bahwa cita-citanya adalah membuat desa kelahirannya peduli terhadap pendidikan, khususnya pendidikan Agama. Karena beliau berpendapat bahwa agama merupakan dasar dari segala sesuatu. Ketika masyarakat mulai mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan mereka, maka semua hal dalam hidup seperti karir maupun keluarga akan menyusul.

Selepas pensiun pada 2012 lalu, Pak Muslim masih tetap seseorang yang sangat peduli terhadap pendidikan agama di desanya. Beliau menjadi pengasuh yayasan pada Madrasah Diniyah di Desa Budiharja (Sekolah setaraf SD namun hanya mengajarkan pelajaran Agama).  Beliau juga menjadi pioneer dalam membangun sebuah masjid di desa kami. Juga beliau masih aktif dalam memberikan pengajian baik di desa kami maupun di desa lain di Kabupaten Ciamis.

Kini beliau masih bercita-cita untuk mendirikan pondok pesantren di desanya. Pondok pesantren yang bukan hanya mengajarkan ilmu agama namun juga ilmu-ilmu maupun skill di luar agama yang dibutuhkan pada zaman ini. Beliau berpendapat bahwa daripada anak-anak muda di desanya menghabiskan waktu dengan melakukan hal yang tidak penting bahkan negatif selepas pulang sekolah, lebih baik anak-anak tersebut dididik bukan hanya memiliki perilaku yang baik namun juga memiliki pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan sekarang. Itulah cita-cita pak Muslim yang masih belum tercapai.

Dengan usianya yang semakin senja, Pak Muslim Asy’ari tidak terlihat berkurang semangatnya dalam memajukan pendidikan agama di desanya. Beliau menganggap bahwa ada kepuasan emosional jika ada perubahan ke arah yang lebih baik di masyarakat terhadap sesuatu yang beliau perjuangkan sejak dulu. Beliau juga berpendapat bahwa berbakti pada tempat kelahiran adalah hal wajib, dan hal tersebut sama dengan proses menuntut ilmu, dan dalam Islam, beliau tekankan, menuntut ilmu itu wajib dari sejak lahir sampai liang kubur.       

 

 

 

                

Ikuti tulisan menarik Yulia Windari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler