x

Iklan

indri permatasari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

A Copy of My Mind, di Balik Cinta dan Rakus Kuasa

A Copy of My Mind adalah film terbaru Joko anwar yang sudah melanglang di festival internasional.film yang layak tonton dengan tema sedehana yang tak biasa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Flm ini sudah menjadi incaran sejak pertama kali saya melihat trailernya di bioskop. Saya memang sudah lama menantikan film Indonesia yang tidak melulu menggunakan eropa dan luar negeri lainnya sebagai settingnya atau kota-kota cantik di belahan dunia lainnya sebagai judul yang disandangnya. Entahlah, semua film Indonesia jadi kurang menarik bagi saya ketika mereka seolah latah seperti itu, walaupun akhirnya saya juga nonton Surat Dari Praha karena latar belakang ceritanya mengenai eksil di tahun enam puluh limaan.

 

Baiklah, sebelum melebar saya mau balik ke cerita awal. Akhirnya A Copy of My Mind yang sudah saya tunggu sejak lama tayang juga di bioskop Indonesia. Film besutan sutradara Joko Anwar ini memang sudah lebih dulu melanglang di festival film dunia seperti Toronto International Film Festival. Hal itu pulalah yang semakin membulatkan tekad saya menonton, semangat yang jarang saya miliki untuk film negeri sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Apa boleh dikata, bioskop langganan yang dekat dengan tempat tinggal saya ternyata malah tidak menayangkan A Copy of My Mind, terpaksalah saya berpindah ke bioskop yang jaraknya lumayan. Tapi syukurlah, ekspektasi saya terbayar lunas dalam film berdurasi 115 menit ini.

 

***

Garis besar kisahnya sederhana saja. Ada perempuan perantau yang bekerja di salon kecantikan bernama Sari (Tara Basro). Kegemarannya nonton film dan membeli DVD bajakan membuatnya bertemu dengan Alek (Chicco Jerikho) yang berprofesi sebagai penerjemah amatir untuk subtitle cakram film bajakan. momen itulah yang mengantarkan mereka untuk jatuh cinta sebagaimana manusia biasa. Sari dan Alek tak pernah muluk-muluk dalam melakoni hidup, hingga suatu hari, sebuah ketidaksengajaan atau boleh dikata kesembronoan akibat polosnya Sari mengantarkan mereka dalam intrik yang melibatkan para petinggi dan politisi busuk dengan konsekuensi yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

 

Sialnya, plot yang sangat bersahaja ini digarap oleh Joko Anwar dengan sangat brilian. Joko berhasil membuat sebuah film yang jujur, realistis dan sangat dekat dengan kehidupan manusia urban kebanyakan. Film ini seperti sebuah cermin besar yang dipasang di depan muka. Jakarta sebagai setting lokasi diterjemahkan dengan apik sebagai kota yang semrawut, jahanam, tapi juga membawa harmoni yang melankolis. Jakarta yang sarat beban karena djadikan tumpuan jutaan orang untuk mengadu nasib seakan menunggu waktunya untuk meledak.

 

Gambaran pasar tradisional yang riuh dan interaksi penjual pembeli yang gaduh tapi akrab, kemacetan lalu lintas lengkap dengan galaknya suara klakson juga perkampungan padat yang kumuh. Seolah menjadi ironi yang cantik karena di belakang ketidaklayakan itu berjejer gedung-gedung pencakar langit yang mentereng, bercahaya dan angkuh. Belum lagi saat kamera berpindah menyorot kompleks pertokoan DVD bajakan, saya jadi senyum-senyum sendiri karena tiba-tiba otak nakal ini berpikir kenapa kita bisa meributkan pakaian halal atau tidak sementara pembajakan yang -dimana semua orang tahu- adalah sebuah kejahatan dibiarkan tumbuh subur seolah itu adalah hal yang legal dan halal tentunya.

 

Well, okay saya juga tidak menampik kalau pernah jadi penikmat barang bajakan tersebut, sehingga saya bisa menertawakan diri sendiri ketika Alek berujar “Lo, kalo mau yang bagus cari yang ori lah, Bajakan lo protes”

 

***

Kalau setting lokasi ada di Jakarta, maka untuk setting waktu Joko Anwar memilih periode pemilihan presiden tahun 2014. Hingar bingar kampanye dan segala perselisihan diantara pendukung digambarkan dengan apa adanya, panas, riuh, intrik kotor dan provokatif. Sh*t … bahkan pertikaian antar pendukung capres hampir dua tahun lalu itu masih terasa baranya hingga sekarang. Ah Indonesiaku..kenapa begini sekarang.

 

Hmm, apalagi yang harus saya bilang ya, film ini paket komplit. Semua kru bekerja dengan baik pada porsinya. Naskah yang logis dengan dialog-dialog sederhana yang mampu memancing emosi, penyutradaraan gemilang, pengambilan gambar yang sederhana tanpa melibatkan efek-efek pencahayaan dan angle-angle ala hollywood, dan tak kalah penting acting mumpuni mampu membangun chemistry yang kuat,saya kasih dua jempol untuk Chicco dan Tara yang benar-benar natural dan total dalam melakoni perannya, benar-benar riil layaknya insan yang sedang menyecap manisnya cinta, uhuk.

***

 

Bukan Joko Anwar kalau tidak bermain satir, senyum saya mengembang ketika menatap speaker masjid dan mushola yang seakan berlomba mengumandangkan adzan. Bukannya bangun dan melaksanakan ibadah, namun seruan ini lebih dimaknai sebagai penanda waktu untuk bangun dan antri mandi agar tak telat ke tempat kerja, atau saat adegan bu Mirna yang notabene orang jahat itu mengutarakan maksudnya berhaji, atau saat tokoh jahat yang diperankan Ario Bayu sedang bercerita tentang anaknya dengan penuh kasih sayang…ahh paradoks yang manis.

 

Akhirnya, kemarin saya bisa bersyukur karena tidak mengulang pengalaman buruk saat nonton Deadpool, dimana banyak anak-anak kecil yang menemani orang tuanya nonton. A Copy of My Mind benar-benar bisa saya nikmati tanpa kehadiran bocah-bocah di dalam sinema. Mungkin ini akibat pengaruh poster film yang secara eksplisit menggambarkan kemesraan Sari dan Alek, atau mungkin saja para orang tua di  Indonesia lebih takut anaknya terpapar scene percintaan daripada scene kekerasan yang mengumbar darah sepanjang durasi, entahlah. Oh ya, lupa, baru kali ini saya sayang sama LSF karena gunting sensornya tidak setajam biasanya , hahahaha, yeayy.

 

Jadi buat anda yang kebetulan suka nonton dan belum melihat film ini, buruan deh ke bioskop, mumpung masih tayang dan mumpung filmnya  belum didemo karena dianggap mendesahkan eh meresahkan masyarakat. Jangan terlalu alergi dengan posternya, film ini tak sekedar film cinta, ada makna lebih di dalamnya. Tragedy yang bisa menimpa siapa saja, tragedy yang berujung ketidakpastian, karena kita ‘hanya’ rakyat, tak mampu berbuat banyak ketika dihadapkan dengan para kerah putih keparat. 

Hidup memang tidak melulu sesuai dengan keinginan kita, maka sudah selayaknyalah kita untuk bisa berimprovisasi, mengubah neraka menjadi surga, mengubah tangis menjadi tawa. Tak mengapa meski itu hanya sementara.

gambar : www.jakarta.coconuts.co

Ikuti tulisan menarik indri permatasari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler